Mencegah Hilangnya Hutan Tropis Yang Tak Tergantikan


Hutan tropis memiliki nilai penting yang dalam berbagai aspek, mulai dari ekologi, ekonomi, sosial budaya. Nilai ekologi dapat diukur dari keanekaragaman hayati didalam hutan yang kemudian dapat dinilai berdasarkan kekayaan genetik untuk obat-obatan, pertanian dan industri. Nilai ekologi juga dapat dilihat dalam aspek jasa ekosistem dimana hutan tropis menjadi penyedia pengaturan air, kesuburan lahan, penyerbukan dan tentunya jasa ekosistem terkait iklim.

Berdasarkan data dari Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP), Indonesia masuk dalam lima besar negara dengan kekayaan keanekaagaman hayati di dunia dimana hutan tropis Indonesia menyimpan 55% spesies endemis tanaman, 13% jenis mamalia dunia dengan 515 jenis merupakan endemik, 16 % jenis flora dunia, dan 10% spesies fauna lain yang masuk kelas amfibi, burung, ikan, hewan vertebrata dan invertebrata lainnya. Kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia sebenarnya masih belum semuanya diketahui, Kompas merilis yang terbaru di 2024 saja kajian BRIN mengungkap 98 taksa baru di Indonesia. Secara rinci 98 taksa atau kelompok dari jenis organisme yang diidentifikasi tersebut, meliputi, 43 spesies baru, 1 subspesies baru, 1 varietas baru, dan 53 rekaman baru dari kelompok flora, fauna, dan mikroorganisme. Untuk spesies baru, paling banyak ditemukan dari spesies fauna sebanyak 26 spesies, kemudian flora sebanyak 11 spesies dan mikroorganisme sebanyak 6 spesies. Dapat dibayangkan kerugian yang didapat jika hutan tropis Indonesia terdeforestasi tanpa dilakukan kajian penilaian yang lengkap dan menyeluruh.

Hutan tropis memiliki nilai lebih dibandingan dengan jenis hutan lain di dunia, dimana riset menunjukkan bahwa hutan hujan tropis Amazon memiliki kekayaan biodiversity lebih dari 2 jali lipat dibandingkan dengan dataran rendah sepanjang pantai Atlantic Forest dan beberapa kali jauh lebih tinggi dari hutan savanna di Brazil (Borma et al, 2022). Kekayaan biodiversity ini berbanding lurus dengan fungsi jasa ekosistem yang ada dalam hutan, dimana semakin kompleks struktur, komposisi dan fungsi ekosistem di dalam hutan, maka peran hutan tersebut akan semakin kaya secara ekosistem dan biodiversity.
Sementara itu untuk melihat nilai ekonomi dari hutan tropis dapat dilihat dari hasil hutan secara langsung, baik dari hasil kayu maupun produk non kayu seperti madu, rotan, resin (damar) dan tanaman obat. Nilai ekonomi hutan juga bisa didapatkan dari kegiatan wisata yang dapat menarik wisatawan baik local maupun internasional. Aspek ekonomi yang belum tergarap secara utuh adalah aspek finansial terkait perubahan iklim dimana menjaga hutan tropis dan stok karbon nya dapat menghasilkan pendanaan. Nilai ekonomi akan terkait dengan nilai budaya, misalnya hutan menjadi tempat bagi masyarakat adat yang menggantungkan penghidupannya di hutan dan menjadikan hutan sebagai tempat penting bagi budaya secara turun temurun.

Mempertajam argumentasi bahwa hutan tropis memiliki nilai penting tentu saja salah satu yang bisa dilakukan adalah menjabarkan kuantifikasi dari nilai hutan dalam bentuk nilai mata uang. Ada beberapa riset yang sudah dilakukan untuk menghitung nilai dari hutan tropis di dunia, The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) ditahun 2010 mengeluarkan riset yang mencoba mengkompilasi riset yang menghitung nilai dari hutan alam dimana kajian menyebutkan di Kamerun hutan alam dalam luasan satu hektar per tahun memiliki nilai ekonomi kayu sebesar 560 US$, 61 US$ untuk nilai kayu bakar, dan 41-70 US$ untuk nilai ekonomi non timber. Nilai ini masih dapat ditambah dengan nilai 842-2.265 US$ nilai ekonomi terkait perubahan iklim, ditambahkan dengan nilai jasa ekosistem air dari hutan di Kamerun dikalkulasikan 24 US$ per hektar per tahun. Sebuah riset di Leuser, Indonesia menyebutkan ekosistem Leuser memberikan kontribusi senilai 2,42 milyar dollar US untuk wilayah hutan seluas 25.000 km2. Nilai jasa ekosistem air dapat ditambahkan dengan fungsi hutan sebagai penyerap air dimana riset di Hawai menyebutkan 40.000 hektar hutan memberikan nilai ekonomi tidak langsung sebesar 1,42 -2,63 juta dollar. Menarik juga riset mengenai peran hutan dalam membantu proses penyerbukan terkait tanaman kopi di Sulawesi, kehilangan hutan 1 hektar akan menyebabkan penurunan produksi kopi dengan nilai 47 uero per tahun.

Salah satu bentuk penilaian lain dari hutan adalah mengenai komitmen pendanaan konservasi hutan, riset yang dilakukan di UK dan Italy menyebutkan satu keluarga rela memberikan 46 dollar Amerika per hektar untuk konservasi hutan di Amazon. Akan sangat menarik jika misalnya riset-riset tersebut dapat dilakukan di Indonesia, misalnya bagaimana menghitung kontribusi ekonomi taman nasional Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang memberikan kontribusi penyediaan air bersih bagi industri minuman yang mengambil air dari sana, misalnya menghitung nilai ekonomi dari produsen air kemasan, air minum olahan dan produk air lainnya yang mengambil jasa lingkungan air dari keberadaan hutan di dua taman nasional tersebut.

Bagaimana dengan kondisi hutan tropis di Indonesia, dengan menggunakan baseline data KLHK sejak tahun 1990 maka deforestasi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa periode waktu; pada perode 1990-1996 terjadi deforestasi seluas 1,9 juta hektar, pada periode 1996-2000 sebesar 3,5 juta hektar, rentang waktu dimana deforestasi besar juga terjadi ditahun 2014-2015 dengan luasan 1 juta hektar. Angka deforestasi menurut KLHK menurun dimana pada tahun 2022-2023 adalaj 133.833 hektar dan angka net deforestasi adalah 121.103 hektar. Berdasarkan laporan KLHK deforestasi terbesar adalah kelas tutupan hutan sekunder dimana luasan terbesar ada di hutan produksi tetap dan APL yang nilainya diangka 50 ribu hektar. Melihat trend deforestasi dari tahun ketahun beberapa penyebab utama deforestasi adalah konversi lahan bertutupan hutan menjadi perkebunan yang didominasi perkebunan sawit. Riset dengan menggunakan kurun waktu 2001-2016 menunjukkan deforestasi di Indonesia berasal dari Perkebunan sawit 23%, hutan tanaman 14%, pertanian skala kecil 15% dan perkebunan lain berskala besar 7%, sisanya adalah menjadi kegiatan lain (Austin et al 2019).

Belakangan pemerintah mengeluarkan wacana untuk mencadangkan kawasan hutan seluas 20,6 juta hektar untuk lahan cadangan pangan dan energi. Wacana ini menyebutkan bahwa terdapat potensi penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan produk-produk pangan seperti padi gogo serta perkebunan untuk energi. Terlepas dari pentingnya aspek ketahanan pangan dan energi di Indonesia, upaya menjaga sisa hutan tropis di Indonesia menjadi prioritas utama jika kita tidak ingin kehilangan semua kekayaan biodiversity tersebut. Telah dilakukan banyak penelitian mengenai kerugian konversi hutan tropis artikel terbaru oleh Marsh et al (2024) menyebutkan bahwa konversi hutan tropis menyebabkan kehilangan biodiversity dan sekaligus merusak jasa lingkungan seperti rantai makanan, penyimpanan karbon dan peran pengatur air/siklus hidrologi. Riset menunjukkan bahwa kehilangan tutupan hutan menyebabkan hilangnya habitat dan mengubah kondisi iklim mikro yang ada didalam hutan. Studi yang membandingkan beberapa tipe penggunaan hutan menyebutkan bahwa semakin besar bukan tutupan hutan termasuk tutupan kanopi pohon maka dampak terhadap kehilangan biodiversity serta tergangunya fungsi ekosistem akan semakin besar. Dampak dari kegiatan yang tidak menebang pohon, kegiatan logging serta kegiatan penebangan besar-besar untuk digantikan tanaman sejenis akan berbeda dan semakin besar untuk jenis pembukaan hutan untuk perkebunan atau tanaman sejenis lainnya.

Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tetapi tanpa melakukan kajian serta kegiatan yang memperhatikan aspek biodiversity dan jasa ekosistem maka kehilangan hutan tropis primer tidak akan bisa mengembalikan kekayaan biodiversity tropis yang ada (Gibson et al. 2011). Kegiatan manusia sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan tropis di Indonesia bentuk-bentuk penggunaan yang dipicu oleh kegiatan manusia dapat memicu kehilangan biodiversity dan jasa lingkungan dua kali Barlow et al. 2016).

Kajian-kajian tersebut menguatkan bahwa peran manusia dalam menjaga hutan sangat penting untuk menjaga fungsi hutan sebagai penyedia hasil-hasil hutan, jasa lingkungan, peran menjaga kualitas udara dan dampak perubahan iklim, karena itu dituntut kebijakan oleh manusia sebagai makhluk antropogenis membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik.

Hutan Kalimantan dan ancaman deforestasinya.