Hari Bumi 2025: Membumikan Kebijakan Pembangunan Hijau


@musnanda

Hari Bumi yang dilakukan ke 55 kali ditahun 2025 mengusung tema energi dengan mengambil judul our power our earth dimana highlight utama adalah transisi energi dari energi berbasis fosil menuju energi terbarukan. Tema 2025 tentu saja tidak hanya pada isu energi bersih tetapi juga mengangkat isu-isu lain seperti pelibatan public secara penuh, isu gender seperti keterlibatan perempuan dan mendorong kebijakan-kebijakan yang bermuara pada penyelamatan bumi sebagai rumah bagi semua.

Tema ini tentu saja sangat relevan dengan kebijakan di Indonesia yang kemudian memasukkan aspek ketahanan energi sebagai salah satu target pembangunan selama lima tahun kedepan dibawah pemerintahan baru. Salah satu Kebijakan pemerintah yang baru adalah dengan membentuk Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional melalui Kepres nomor 1 tahun 2025. Publik perlu dilibatkan lebih jauh untuk mendorong ketahan energi dilakukan dengan mengedepankan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang memang punya potensi besar, dimana target pemerintah adalah bauran EBT sebesar 23% dari angka 14% ditahun 2024. Laporan yang disusun IRENA merangkum potensi Indonesia Energy Transition Outlook menyebutkan potensi energi listrik terbarukan sebesar 3000 GW dari energi surya, 60,6 GW energi angin, 75 GW dari energi pembangkit tenaga air, 32,6 GW dari biomass dan potensi geothermal sebesar 28,5 GW.

Tema power yang dihubungkan dengan energi terbarukan jika ditarik lebih makro sebenarnya masuk dalam isu green development atau pembangunan hijau. Isu pembangunan hijau sendiri menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam RPMN 2025-2029 dimana focus Kebijakan antara lain terkait transisi energi bersih, pengembangan ekosistem kendaraan Listrik, pengelolaan lingkungan hidup dan keaneragaman hayati, serta kebijakan lain. Menurut GGGI pembangunan hijau diartikan sebagai sebagai serangkaian pedoman, peraturan, dan praktik yang bertujuan untuk meminimalkan dampak lingkungan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Fokusnya adalah pada pengurangan polusi, konservasi sumber daya alam, dan mendorong penggunaan sumber energi terbarukan. Tahun 2025 sebagai tahun awal dimana pemerintahan nasional dan daerah digawangi oleh pimpinan daerah hasil pemilu 2024 akan menjadi momen yang sejalan untuk menterjemahkan kebijakan pembangunan hijau dari tingkat nasional sampai ke tingkat kabupaten/kota. Dimana saat ini baik Provinsi dan Kabupaten sedang menyusun RPJMD sebagai panduan pembangunan 5 tahun kedepan, salah satu permasalahan utama yang muncul adalah bagaimana membumikan Kebijakan pembangunan hijau dalam Rencana Pembangunan lima tahun kedepan dalam bentuk kebijakan dan penganggaran yang terukur dan menyasar capaian dengan benar. Sampai tahap ini sepertinya pemerintah pusat perlu memberikan arahan-arahan dimana Kebijakan nasional yang berbasis ekonomi hijau menjadi program daerah yang secara ekonomi memberikan peningkatan, melibatkan masyarakat secara aktif serta tentunya menghindari dampak negative kelingkungan hidup.

Kembali pada konteks Hari Bumi 2025 dimana salah satu tantangan utama mencapai target pembangunan hijau adalah belum tersedianya regulasi yang mumpuni dalam mendukung target pembangunan hijau, tantangan lain adalah belum adanya insentif bagi kegiatan-kegiatan pembangunan hijau termasuk kegiatan pemanfaatan EBT. Tantangan lainnya adalah bidang finansial dimana transisi energi memerlukan pendanaan awal yang besar, tetapi menghidupkan visi dan misi pembangunan hijau merupakan inverstasi jangka panjang. Sisi finansial menjadi aspek lain yang memerlukan kebijakan seperti membumikan konsep pembayaran jasa lingkungan hidup (payment for environmental services), pajak karbon, mempromisikan kebijakan offset dan disisi lain memberikan insentif bagi upaya pengembangan energi terbarukan yang dilakukan pihak profit.

Ada yang mengatakan seharusnya Hari Bumi bukan hanya diperingati di 22 April setiap tahunnya tetapi seharusnya dirayakan setiap hari, karena apapun yang kita lakukan saat ini akan berpengaruh pada kondisi Bumi sebagai planet dimana semua kehidupan bergantung.

Banjir Di Jakarta: Mengapa Susah Diatasi?


Banjir di Jakarta dan sekitarnya menjadi sebuah agenda rutin ketika curah hujan tinggi terjadi. Jika menyalahkan cuaca tentu bisa saja tetapi menyalahkan hujan sama dengan menyalahkan matahari kalau kita kepanasan.

Dalam sejarah, banjir di Jakarta sudah tercatat sejak 1699 waktu masih bernama Batavia dimana penyebabbya adalah sungai yang tertutup kayu tebangan. Tercatat di 1714 terjadi banjir yang disebabkan oleh meluapnya Ciliwung, ini terjadi kembali ditahun 1918 yang merendam hampir seluruh kawasan Batavia. Perlu diingat bahwa Batavia saat ini belumlah seluas Jakarta. Solusi yang dibuat jaman kolonial adalah dengan membuat saluran/kanal penyalur atau yang dikenal dengan banjir kanal. Dimana solusi ini mungkin perlu ditambahkan dengan solusi yang lebih baik dimasa sekarang.

peta Batavia
peta pantau banjir DKI: Peta Banjir Jakarta | Pantau Banjir Jakarta

Penyebab dan Solusi

Salah satu penyebab utama banjir di Jakarta adalah fakta bahwa Jakarta dilewati oleh sungai besar seperti Ciliwung, serta sungai lain seperti Kali Pesangrahan, Kali Angke, Kali Krukut, dll. Dari sejarah penyebab banjir di Jakarta:

  1. Meluapnya sungai-sungai yang Ciliwung, Pesangarahan, dll. Ini dipicu oleh curah hujan yang tinggi mulai dari hulu sungai yang ada di Jawa Barat sampai curah hujan di Jabodetabek.
  2. Penyempitan sungai oleh karena endapan, sampah dan pembangunan.
  3. Tidak cukupnya resapan air pada saat hujan lokal di Jakarta. Jakarta kekurangan wilayah tangkapan air yang biasanya berupa taman atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang hanya 34,451 juta meter persegi atau 5,3% dari luas Jakarta dibawah luasan 30% dari luas wilayah kota sesuai UU tata ruang.
  4. Penyebaran pemukiman di wilayah bantaran sungai yang seharusnya menjadi kawasan lindung lokal.
  5. Penurunan muka tanah karena pengambilan air tawar.
  6. Banjir rob karena naiknya air laut (spesifik di Jakarta bagian utara) ini diperparah dengan adanya reklamasi dapat mengubah pola aliran air laut, meningkatkan risiko banjir di wilayah pesisir.

Solusi banjir di Jakarta dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti:

  1. Normalisasi kawasan sungai sungai yang masuk ke Jakarta menjadi keharusan, ini termasuk kedepannya memastikan bahwa sungai dikelola dengan baik, menghindari pembuangan limbah yang menyebabkan daya tampung air oleh sungai berkurang.
  2. Pembenahan wilayah sepada sungai, pemerintah memiliki kewajiban memberikan solusi untuk pemukiman di sepanjang sungai baik dengan relokasi, penggantian. Wilayah yang kosong diubah menjadi Ruang Terbuka Hijau.
  3. Memastikan regulasi dilakukan untuk pembatasan dan pengelolaan pengambilan air tanah skala besar.
  4. Melakukan pembatasan reklamasi atau kajian detail dampak lingkungan reklamasi perlu dilakukan.

Banjir di Jakarta memang menjadi sebuah sejarah yang terus berulang, bukan tidak bisa diatasi tetapi perlu effort dan penerapan kebijakan yang serius jika memang akan diatasi.

Perubahan Peta Garis Pantai di Utara Jawa


Pantai Utara Jawa, khususnya utara Jakarta dan Tangerang mengalami perubahan sesuai dengan adanya pembangunan di pantai utara yang dilakukan dengan pengurukan pantai dan pembuatan pulau buatan.

Pulau Buatan Pantai Indah Kapuk menjadi beberapa wilyah yang mengubah pantai utara Jawa.

Bagaimana kalau dilihat dengan peta ATR BPN

Gambaran lokasi dengan peta ATR BPN: Bhumi ATR BPN

Jika kita menggunakan peta garis pantai BIG maka sudah ada revisi dengan penambahan pulau buatan ini.

Pulau buatan dalam peta online nasional yang dirilis Badan Informasi Geospasial (BIG).

Tetapi ketika menelelusuri kawasan di bagian utara Tangerang, terdapat beberapa hal yang cukup membingungkan. Garis pantai antara data BIG dengan data ATR BPN terdapat perbedaan yang cukup besar.

Garis pantai utara Tangerang

Berdasarkan data BHUMI ATR BPN terdapat bidang tanah terdaptar di luar garis pantai BIG.

Bidang tanah terdaptar diluar garis pantai BIG.

Jika di cross check dengan data Google Maps, maka diwilayah tersebut memang masih merupakan wilayah laut.

Wilayah utara Tangerang dilihat dari Google Maps.

Sebagian wilayah di tanah terdaptar terdapat dipermukaan laut. Di zoom dari BHUMI ATR BPN dengan peta dasar citra satelit, memang bidang terdapat tersebut merupakan laut. Upss.. apakah ini lokasi suku bajau yang kebetulan dekat dengan PIK 2.

Bidang tanah terdapftar di atas laut.

Bencana Lingkungan dan Kesadaran Akan Dampak Perubahan Iklim


Musim penghujan di Indonesia juga berarti munculnya berita mengenai bencana lingkungan hidup, khususnya bencana banjir dan longsor. Yang terbaru adalah bencana banjir dan longsor di Tanah Karo dengan korban 16 orang dan tujuh lainnya masih hilang. Masih di Sumatera Utara, banjir dan longsor terjadi di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Langkat, Sumut. Banjir juga terjadi di Bandung yang disebabkan oleh meluapnya Citarum karena curah hujan dengan intensitas tinggi.

Bencana lingkungan bisa disebut sebagai symptom dimana akar permasalahannya perlu diuraikan secara detail untuk dapat diobati. Salah satu yang perlu dilihat lebih detail adalah bencana sebagai akibat dari perubahan iklim. Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) menyebutkan bagaimana perubahan iklim menyebabkan perubahan siklus hidrologi dan meningkatkan intensitas badai. Perubahan iklim mempengaruhi perubahan cuaca dan iklim yang dapat menyebabkan kekeringan, penggurunanm kebakaran lahan, pulusi dan banjir.

Climate change is affecting the hydrological cycle and increasing the frequency and intensity of storms. These lead to death, loss of livelihoods and displacement and place a huge burden on society. -UNEP

OXFAM merilis bahwa dalam 30 tahun terakhir kejadian bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim mencapai tiga kali lipat, lebih cepat terjadi dan dampaknya ke 20 juta jiwa dengan kerigian diperkirakan mencapai 300 milyar dolar sampai tahun 2030.

Sayangnya aspek perubahan iklim dan bencana belum menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Ada banyak kebijakan pembangunan yang masih mengabaikan aspek perubahan iklim dan lebih mengutamakan aspek ekonomi. Meskipun saat ini kebijakan pembangunan di Indonesia mulai mengedepankan aspek keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan, tetapi trickle down effect dari kebijakan ini belum sampai di sub nasional.

Lembaga PBB bidang kebencanaan (UNDRR) menyebutkan bahwa perlunya kegiatan aksi perubahan iklim dan pengurangan resiko dampak bencana perlu dijalankan secara lebih baik. Apa yang kemudian menjadi rekomendasi UNDRR dalam mengatasi kebencanaan akibat perubahan iklim:

  1. Memperkuat komitmen politik
  2. Memperluas pengelolaan resiko bencana dan perubahan iklim
  3. Memperkuat masyarakat dan mobilisasi masyarakat untuk memastikan semua terlibat.
  4. Melakukan investasi infrastruktur yang berkelanjutan dan tahan akan bencana
  5. Mempromosikan mekanisme keuangan dan investasi yang inovatif
  6. Memastikan adanya perubahan kebiasaan melalui sains, bukti nyata dan komunikasi yang efektif.

Tampaknya kesadara akan hubungan antara perubahan iklim dan bencana di Indonesia masih harus digaungkan secara lebih luas. Jika menganggap bencana alam hidrologis seperti banjir dan longsor merupakan bagian dari siklus tahunan perlu diberikan masukkan lain yang lebih luas.

Bromo