Kemacetan, Polusi dan Kebijakan Transportasi Jangka Pendek


Pagi ini saya menjadi bagian dari ketidak pintaran bersama, ketika terjebak macet panjang di Jalan Ciputat Raya menuju Lebak Bulus. Ini termasuk ke tidak pintaran saya untuk memilih kendaraan pribadi (meskipun hanya sepeda motor) dan memilih untuk kerja di kantor ketika WFH seharusnya bisa dilakukan. Saat itu yang saya lihat adalah kumpulan sepeda motor yang mengular dan mobil-mobil pribadi jenis SUV kapasitas 7 orang yang hanya berisikan 1 orang. Sementara itu saya juga melihat angkutan transjakarta yang sama-sama terhenti akibat macet, saya membayangkan harus berdiri 1 jam dari Ciputat ke Lebak Bulus dalam transjakarta.

Kemacetan kali ini dipicu oleh pembangunan shelter Busway yang menutup 2 jalur dari 3 jalur tersedia di Lebak Bulus, tetapi bukan hanya karena itu Jalan Ciputat Raya merupakan salah satu jalan yang mengalami kemacetan pada saat jam sibuk. Buat saya ini adalah buah dari ketidak pintaran kebijakan transportasi yang dibuat dalam jangka pendek. Tahun 90-an saya sudah menyusuri jalan ini sebelum kemacetan itu ada, saat itu jalan masih dilalui oleh beberapa tranportasi publik yang kali ini sudah tidak ada seperti Kopaja dan digantikan oleh TransJakarta yang saya lihat terjebak macet bersama saya.

Seandainya saja kebijakan transportasi dibangun ditahun 1990-an dengan baik tentu akan memberikan dampak yang baik saat ini. Tetapi kebijakan transportasi publik memang selalu menjadi list terbawah dari kebijakan saat itu. Pemerintah lebih memilih memberikan subsidi BBM dibandingkan membangun transportasi publik dengan dana subsidi tersebut. Dana tersebut jika dikonversi menjadi infrastruktur jalan dan transportasi publik secara dini direncanakan dan diimplementasikan, mungkin kemacetan sekarang tidak akan sebesar dulu.

Jakarta dan beberapa wilayah sekitar menjadi sorotan atas kondisi polusi udara yang tinggi, hasil pengamatan melalui website iqair: https://www.iqair.com/air-quality-map/indonesia/jakarta menunjukkan kondisi Jakarta yang tidak sehat secara polusi. Kondisi ini salah satunya adalah karena kontribusi dari emisi sektor tranportasi. Kemacetan memberikan kontribusi tambahan emisi dimana emisi akan meningkat pada kawasan yang mengalami kemacetan. Beberapa kebijakan sesaat seperti WFH bagi staff ASN DKI diambil untuk mengurangi pergerakan, tetapi Kompas, 22 Agustus menuliskan bahwa kebijakan sesaat ini bukan solusi yang berdampak besar.

Diperlukan riset yang lebih detail untuk memberikan solusi mengenai kemacetan dan polusi di Jakarta. Apa yang menjadi sumber polusi terbesar masih harus diteliti, apakah memang hanya dari kendaraan, PLTU atau pengaruh musim panas tanpa hujan.

Terlepas dari keterbatasan riset, maka salah satu yang bisa diusulkan adalah membangun kebijakan transportasi jangka panjang untuk menyediakan moda transportasi publik yang nyaman, terhubung dan terjangkau/murah. Ketika ini tersedia maka tahapan selanjutnya adalah menarik pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke moda transportasi publik. Semua ini memang menjadi PR bersama, sehingga kita sama-sama lepas dari ketidak pintaran bersama.

Leave a comment