Pada tahun 2005 dan dilanjut 2008 sampai 2010 saya bergabung dengan UNDP untuk program MDGs di Papua dan Papua Barat, sebuah program yang totally different dengan zona nyaman saya di bidang perencanaan dan spatial. Sebagai knowledge manager ada banyak hal yang harus saya pelajari dulu, tetapi yang menarik adalah saya terlibat dengan capaian skema grant untuk LSM lokal yang fokus kegiatannya adalah pengentasan kemiskinan dan target MDGs lainnya.
Salah satu pengelaman menarik adalah mendampingi LSM dalam kegiatan hibah, dalam konteks kegiatan LSM yang diprioritaskan adalah lembaga lokal berbasis di masyarakat. Untuk saya pengalaman menarik adalah bagaimana memastikan kapasitas lembaga lokal dalam mengkakses pendanaan, karena sistem hibah tentunya mensyaratkan kelembagaan memiliki kemampuan dalam pengelolaan project dan tentunya pengelolaan keuangan.
Pada fokus pengelolaan project salah satu tools yang digunakan adalah Logical Framework Approach (LFA) yang dapat diartikan sebagai sebah metodologi yang digunakan untuk merancang, melakukan monitiring dan evaluasi project pembangunan international.
The Logical Framework Approach (LFA) is a methodology mainly used for designing, monitoring, and evaluating international development projects. Variations of this tool are known as Goal Oriented Project Planning (GOPP) or Objectives Oriented Project Planning (OOPP).
Memahami LFA sebenarnya tidaklah sulit, tidak memerlukan keahlian khusus, yang diperlukan adalah kemampuan mengidentifikasi hasil, tujuan dan goals serta mengidentifikasi kebutuhan dan kegiatan dalam mencapai-nya. Satu yang cukup kompleks hanyalah mengidentifikasi indikator, alat verifikasi dan asumsi. Berikut adalah tabel yang digunakan.

Pemahaman awal akan komponen yang diisikan akan menjadi kunci keberhasilan dalam menggunakan LFA. Pengalaman yang saya alami ketika melakukan pendampingan grant adalah memberikan definisi yang jelas mengenai apa itu input, output, purpose dan goals. Tantangan lainnya adalah memilih tingkatan output sampai goals karena akan sangat tergantung pada cakupan kegiatan yang dilakukan.
Hal lain yang penting adalah menjelaskan mengenai indikator sebagai sesuatu yang bisa dinilai dan diukur. Selanjutnya pada kesulitan membangun asumsi, yang sebenarnya juga tergantung pada konteks kegiatan.
Salah satu hal paling sulit dalam menyusun design program adalah menterjemahkan konteks lokal kedalam sebuah design project. Diperlukan usaha yang cukup besar dalam menggali konteks lokal. Adapun konteks lokal sangat diperlukan dalam menentukan output sampai goals serta asumsi serta indikator.
Konteks Lokal
Penyederhanaan menjadi kunci dalam memahami konteks lokal. Misalnya bagaimana menterjemahkan bahasa pengelolaan proyek dalam bahasa sederhana.
Saya teringat mendampingi salah satu kelompok masyarakat / community base organization (CBO) yang berbasis di Lani Jaya. Dimana pada awal penyusunan proposal sangat sulit membawa istilah project management. Tetapi dengan menggunakan matriks LFA dan proses FGD yang dilakukan beberapa kali, maka akhirnya dapat terbentuk proposal.
Konteks lokal misalnya dalam menilai beberapa aspek dalam pengembangan indikator:
- Model pengembangan ekonomi misalnya bisa dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang disesuaikan dengan konteks lokal.
- Penyusunan project staff dibuat sesimple mungkin, ada beberapa peran yang harus dilakukan dengan melibatkan lebih dari 1 orang untuk memastikan semua pihak dapat terakomodir.
Salah satu fakta yang menarik adalah dari sisi output organisasi CBO berbasis lokal dapat melakukan kegiatan bahkan jauh lebih baik daripada LSM yang sudah memiliki pengalaman kegiatan lebih lama.
Tools Pengelolaan Project dengan Prince2
Tools lainnya adalah Prince2 yang kompleks, tetapi saya gunakan untuk memahami beberapa hal dalam pengelolaan project. Untuk saya Prince2 dapat dikatakan sebagai tools yang kompleks karena mencakup keseluruhan siklus project atau programme.
PRINCE2 (PRojects IN Controlled Environments) is a structured project management method[1] and practitioner certification programme. PRINCE2 emphasises dividing projects into manageable and controllable stages. It is adopted in many countries worldwide, including the UK, western European countries, and Australia.[2] PRINCE2 training is available in many languages.[3]
PRINCE2 was initially developed as a UK government standard for information systems projects. In July 2013, ownership of the rights to PRINCE2 was transferred from HM Cabinet Office to AXELOS Ltd, a joint venture by the Cabinet Office and Capita, with 49% and 51% stakes respectively.

Prince2 merupakan salah satu tools yang dapat diakses secara free melalui UN Learning course. Beberapa module seperti kajian-kajian awal mengenai bagaimana melakukan start-up sebuah project dalam Prince2 sangat berguna dalam melakukan identifikasi awal dalam menyusun sebuah project.
Manajemen Keuangan
Salah satu tools manajemen keuangan yang belum saya explore adalah MANGO… https://www.mango.org.uk/

Tools ini sangat berguna dalam melakukan pengelolaan di LSM, dengan fokus pada pengelolaan keuangan.
Referensi
- Practical Concepts Incorporated , 1979, The Logical Framework: A manager’s Guide to A Acientific Approacj to Design and Evaluation.
- Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/PRINCE2
- MANGGO: https://www.mango.org.uk/Pool/G_Mango-FM-Essentials-Handbook-2016.pdf