Threshold atau ambang batas luasan wilayah yang perlu dikonservasi selalu menjadi pertanyaan yang menarik. Ditahun 2001 saya di Papua dan diperkenalkan konsep ecoregion oleh rekan-rekan peneliti dari lembaga WWF-US dimana kajian memperkenalkan konsep threshold dengan skenario 30% per wilayah ecoregion. Konsep ecoregion sendiri mengkaji batas-batas ecosistem dengan menggunakan layer-layer seperti geomorfologi, iklim, tanah dan biology, dan kemudian muncul kawasan seperti kawasan ecoregion highlind forest, moutain forest, dryland forest, mangrove forest, dll. Berapa persen yang perlu dilindungi per -ekoregion? Maka ditentukan skenario perlindungan 30% kawasan, 20% kawasan dan 10% kawasan per ecoregion.
Konsep konservasi berbasis landscape/bentang alam memang berkembang dengan cukup cepat. Salah satu pendorongnya adalah semakin mudahnya melakukan kajian pada skala bentang alam dengan menggunakan GIS. Kaajian-kajian lain berbasis pendekatan lanscape seperti bioregion, watershed/daerah aliran sungai, high conservation value forest sampai high carbon stock, bisa dilakukan dengan menggunakan model-model proximity dengan GIS sebagai tools. Tetapi ini tetap mempertanyakan berapa ambang batas luasan kawasan yang perlu dilindungi.
Saya menemukan satu artikel menarik Conservation Thresholds for Land Use Planners dari The Environment Law Institute yang mencoba menggali ambang batas untuk kepentingan konservasi dalam penataan ruang dengan fokus perencanaan tata guna lahan. Artikel di atas memuat bagaimana aspek konservasi menjadi sangat penting dalam penataan ruang (spatial planning) dan memperhatikan aspek-aspek mulai dari jasa ekosistem, biodiversity dan skala dari dampak dalam skala waktu panjang. Meskipun perhitungan threshold mengenai luasan kawasan yang perlu dikonservasi sangatlah bervariasi yang ditentukan oleh tipe-tipe ekosistem, jenis biodiversity dan aspek lainnya termasuk skala perencanaan.
Threshold atau ambang batas ini dmisalnya ditentukan dengan melihat aspek luasan patch area (wilayah/habitat), proporsi wilayah yang sesusi sepertipada halaman 14 disebutkan bahwa land use planners should strive to conserve at least 20% to 60% of natural habitat in a landscape. Damapak wilayah tepi yang terbuka dimaintai dengan buffer minimal 300 m, buffer sungai dan sumber air lainnya dengan leebar 25 m sampai 100 meter sesuaui dengan fungsi kawasan serta terakhir untuk memperhatikan konektifitas antar landscape dengan membuat kawasan koridor.
Buku diatas sangat menarik karena prinsip-prinsip lingkungan ini memang menjadi keharusan untuk diperhatikan, tentu saja dasar dari semua aspek tersebut penting karena kondisi kerusakan lingkungan hidup, baik jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati satu waktu akan berbalik merugikan manusia.

Darimana angka 30%?
Dalam banyak perencanaan kawasan berbasis konservasi, sering dimasukkan threshold 30 persen kawasan perlu di lindungi. Angka ini banyak digunakan oleh perencana berdasarkan banyak kajian-kajian ilmiah yang menyebutkan pentingnya mempertahankan kawasan ekosistem asli paling tidak 30% dari luas kawasan. Ini berlaku baik untuk perencanaan konservasi jasa ekosistem (penyediaan air, dan sumberdaya alam lain) maupun konservasi keanekaragaman hayati (sebagai habitat penting). Jika angka ini tidak ada maka konsekwensinya adalah kekurangan sumberdaya air, bencana alam dan tentunya kepunahan keanekaragaman hayati. Ini mungkin menjelaskan mengapa Jawa dan Bali mengalami kepunahan harimau, dan terancam kepunahan badak, elang, dll.
Satu riset berjudul: Application of habitat thresholds in conservation: Considerations, limitations, and future directions dari Elsevier mencoba merangkum berbagai dasar penentuan ambang batas ini. Dalam artikel ini salah satunya dilist beberapa negara yang mengadopsi ambang batas kawasan yang perlu dilindungi seperti Amerika, Canada, Australia, dll.

Benar memang bahwa penentuan ambang batas tidak dapat digeneralisir dengan angka 30% tetapi konsekwensi tidak angka minimum adalah HARUS dilakukan kajian detail yang memasukkan keseluruhan aspek jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Jadi dengan tidak menetapkan angka maka perlu dilakukan kajian detail pada skala landscape yang terintegrasi.
Ambil contoh, jika perencanaan tata guna lahan ingin memastikan bahwa Jakarta terpenuhi kebutuhan airnya, maka kajian dapat dimulai dengan menghitung total kebutuhan air di Jakarta. Kemudian kajian melakukan perhitungan DAS-DAS mana saja yang menjadi kontributor bagi asupan air tanah DKI Jakarta, misalnya DAS Ciliwung, Cisadane dan Citarum. Kemudian dibuat kajian modelling pada kawasan 3 DAS tersebut berapa hektar kawasan perlu dilindungi/dibiarkan secara natural untuk memastikan kebutuhan air Jakarta terpenuhi. Selain itu terdapat serapan kawasan lokal dimana kemudian perlu dikalkulasi kembali berapa kawasan perlu menjadi kawasan hijau agar limpasan air terkendali dan tidak terjadi banjir. Data dan informasi hasil kajian ini yang kemudian diberi masukkan ke semua perencana di Jakarta.