
Komoditas sawit menjadi salah satu bahasan skala nasional termasuk yang terbaru adalah debat kandidat pada pemilihan presiden 2019.
Salah satu yang “terlupa” untuk disampaikan adalah kaitan sawit dengan konservasi khususnya hutan dan gambut di Indonesia. Sawit merupakan komoditas yang mengalami perkembangan paling agresif, saat ini kementrian pertanian merilis peryataan total sawit di Indonesia tahun 2018 adalah 14,03 juta hektar, data yang berbeda dari GAPKI dengan data 16 juta hektar ditahun 2017. Berdasarkan data kesesuaian dan alokasi di Indonesia terdapat 18,2 juta hektar yang dianggap sesuai dan boleh berdasarkan alokasi lahan untuk sawit, berarti tersisa 2-4 juta hektar tersisa untuk pengembangan. Dengan perkembangan 10% pertahun maka kemudian ekspansi sawit akan mengerus kawasan yang tidak sesuai seperti kawasan hutan dan gambut atau bahkan kawasan pertanian lain yang kemudian di konversi menjadi sawit.
Total perkembangan luasan diperkirakan karena lebih dari 10% pertahun. Ekspansi sawit ini kemudian memberikan dampak yang sangat besar terhadap konservasi, beberapa studi di Kalimantan menyimpulkan bahwa konversi hutan menjadi sawit adalah faktor penyumbang deforestasi.
Kebijakan Sawit di Indonesia
Salah satu hal yang belum clear adalah bagaimana rekomendasi pembangunan sawit yang mengkaitkan dengan kebijakan konservasi. Indonesia sudah menerapkan kebijakan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), pertanyaan-nya adalah apakah ISPO sudah cukup mengadopsi aspek-aspek yang mendukung lingkungan hidup?
Secara umum ISPO mengadopsi aspek konservasi berdasarkan regulasi lain, misalnya perlindungan kawasan lokal berdasarkan regulasi tata ruang dan pengelolaan sumberdaya air. ISPO juga mengadopsi perlindungan biodiversity dengan mengadopsi UU PSDA, tetapi sayangnya dibatasi oleh status kawasan perkebunan sawit yang diluar kawasan kehutanan.
Kebijakan skala lebih besar sebenarnya dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak ekspansi perkebunan sawit tidak dilakukan di kawasan yang masih berhutan, terlepas kawasan tersebut masuk dalam kawasan yang eligible untuk kegiatan perkebunan sawit (pada kawasan APL). Kebijakan sawit seharusnya diarahkan pada dua hal utama yaitu intensifikasi dan kebijakan pengelolaan lebih lanjut.
Intensifikasi
Berdasarkan statistik perkebunan sawit disebutkan produktifitas ditahun 2015 adalah 3,9 ribu kg/ha untuk PBS, 3,8 ribu kg/ha untuk PBN dan 3,12 ribu kg/ha. Sebagai perbandingan nilai ini hanya 40% dari nilai produktifitas di Malaysia.
Downstream Industri Sawit
Kebijakan lain adalah pengembangan industri pengolahan sawit untuk menambahkan nilai jual produk sehingga keuntungan yang didapat dari sektor ini secara langsung akan mengurangi usaha untuk ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan baru.
Kebijakan Sawit dan Kebijakan Energi
Salah satu kebijakan energi yang perlu diteliti dengan sangat hati-hati adalah energi biofuel yang di Indonesia salah satunya adalah dengan kebijakan penambahan prosentase biodisel dengan bahan bakar diesel fossil (dimulai dengan 20% atau B20). Kebijakan ini memerlukan kajian lebih lanjut terkait bagaimana mengatur supply biodiesel dari produk sawit.
Disisi lain sumber energi terbarukan di Indonesia sangat berlimpah, mulai dari hidro, solar, wind, geothermal, wave, dll. Ditengah keberlimpahan energi ini pengembangan energi biofuel seharusnya bukan menjadi pilihan pertama.