Perencanaan Transportasi dan Pemukiman Harusnya Sejalan


Could you imagine being traffic jam for an hour?

Temen-temen saya yang rumahnya bukan di Jakarta atau bahkan bukan di Indonesia pastinya kaget bahwa kemacetan di Jakarta sudah sangat parah. Butuh 30 menit untuk jarak 1 km menyebabkan kerugian mulai dari penggunaan BBM yang terbuang, kerugian waktu yang secara ekonomi dapat dikonversi menjadi produktifitas ekonomi.

Kajian World Bank (2019) menyebutkan kerugian 65 triliun per tahun, angka ini mendekati APBD DKI sebesar 81 triliun ditahun 2024. Trend kemacetan bukan hanya Jakarta dan Jabodetabek, kota seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar memiliki pola-pola kemacetan yang sama dengan DKI. Kota-kota lain akan menyusul karena minimnya perencanaan yang terintegrasi di Indonesia.

Sebagai planner, saya berpikir apa yang salah dengan perencanaan kota-kota di Indonesia atau pertanyaannya bisa diubah menjadi ‘ápakah kota-kota di Indonesia memang direncanakan atau tumbuh secara organik?“.“Planner yang mengerjakan perencanaan hanya membuat penyesuaian saja dan tidak bisa merekomendasikan pola-pola pengaturan ruang dan pengaturan struktur dari sebuah kota.

Laporan UNHabitat ditahun 2000 (The Role of Urban Transport in Sustainable Human Settlement Development) menyebutkan di point F mengenai kaitan perencanaan pemukiman dengan transportasi dimana salah satunya menyebutkan bahwa perencanaan tata guna lahan misalnya pemukiman atau kegiatan ekonomi perlu secara mendalam memikirkan implikasi kebutuhan transportasi. Kalau saya menengok perencanaan kota di Indonesia misalnya secara acak saya ambil dokumen RDTR wilayah perkotaan, maka hampir semua mencoba meneruskan pola yang sudah ada secara organik dan tidak ada yang mencoba menyebutkan bahwa satu kota memerlukan perombakan zonasi jika memang tujuan efesiensi terkait transportasi dari lokasi pemukiman, pusat bisni, atau sebuah rekomendasi jalur transportasi serta sistem transportasi untuk tujuan efesiensi 10-20 tahun kedepan.

Dalam laporan 24 tahun lalu itu juga disebutkan bahwa strategi yang perlu dikembangkan adalah mengurangi demand kebutuhan transportasi, simple nya adalah bahwa pemukiman dan lokasi-lokasi bisnis, jasa dan kebutuhan publik harus saling mendekati. Sayangnya rekomendasi se-simple ini tidak bisa dilakukan di Jabodetabek, karena kemudian pemukiman dibangun sebagai pusat-pusat pemukiman di pinggiran Jakarta, sementara pusat bisnis tetap berada di pusat kota Jakarta.

Masalah kemacetan tentu bukan hanya Jakarta, kota-kota modern di Asia juga pernah mengalami masalah dengan kemacetan. Tokyo pernah mengalami ditahun 90-an, Beijing di tahun 2010 mengalami kemacetan lebih dari 100 km selama 12 hari. Kota-kota di Amerika sudah mengalami hal ini ditahun 60-an sampai 80-an. Kasus-kasus di atas sebenarnya bisa menjadi pelajaran karena kemudian kota-kota tersebut membangun sistem transportasi dan pemukiman yang sejalan. Misalnya kota-kota di Eropa sangat ketat menjaga pembagian zonasi antara pemukiman dan kegiatan usaha, dimana ketatnya zonasi dibarengi dengan peningkatan jumlah dan kualitas angkutan umum.

Kembali ke kota Jakarta dan Bodetabek maka beberapa rekomendasi bisa dilakukan misalnya mempromisikan penggunaan transportasi umum dengan syarat bahwa transportasi umum menjangkau seluruh kawasan dengan lancar dan aman, kedua adalah membangun pemukiman berbentuk apartment/non tapak yang dilakukan dititik yang dapat ditempuh dengan berjalan ke lokasi transportasi umum, selanjutnya adalah menaikkan pajak kendaraan pribadi dan menggunakan pendanaanya untuk membangun transportasi umum.

Solusi

Masalah kemacetan tentu saja memberikan dampak yang sangat banyak, bukan hanya ekonomi tetapi juga permasalahan lingkungan hidup seperti dampak polusi dan tentunya emisi. Jika digambarkan maka permasalahan dan solusi dapat dilihat dalam bagan berikut:

Terdapat peluang pembelajaran menarin terkait hal ini, dimana saat ini sedang dibangun IKN yang akan menerapkan konsep Smart City. Jika IKN berhasil mengadopsi smart city yang mengakomodir model-model perencanaan terintegrasi antara pemukiman, pusat kegiatan, transportasi dan lingkungan hidup, maka kota-kota lain harus merombak sistem perencanaan pembangunan dan pelaksanaan pembangunan yang memadukan tata ruang dengan transportasi secara utuh. Pada akhirnya semua akan mengarah pada keuntungan ekonomi, dimana biaya kerugian akibat kemacetan seharusnya bisa menjadi biaya untuk pembangunan.

Leave a comment