Apa itu pajak karbon/carbon tax?


Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara. Pajak karbon akan diberlakukan mulai 1 Juli 2022 sebesar 11% dan secara bertahap akan di menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Rencana 1 Juli 2022 ini merupakan pengunduran dari rencana pemberlakukan pada tanggal 1 April 2022.

Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap (batasan) yang ditetapkan.

Mengapa pajak karbon diperlukan tidak terlepas dari komitmen Indonesia dalam penurunan emisi. Komitmen ini merupakan bentuk mitigasi atas dampak perubahan iklim dimana dampaknya bisa berupa:

  1. Kerugian yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan.
  2. Penurunan kualitas kesehatan akibat bencana
  3. Kerusakan ekosistem termasuk keanekaragaman hayati
  4. Berujung pada kelangkaan pangan

Regulasi

Regulasi yang menjadi dasar dalam penentuan pajak karbon adalah UU no 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada Pasal 13:

Pokok-Pokok Pengaturan:

  • Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
  • Arah pengenaan pajak karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas,keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
  • Prinsip pajak karbon: prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
  • Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
  • Pemanfaatan penerimaan negara dari Pajak Karbon dilakukan melalui mekanisme APBN. Dapat digunakan antara lain untuk pengendalian perubahan iklim, memberikan bantuansosial kepada rumah tangga miskin yang terdampak pajak karbon, mensubsidi energi terbarukan, dan lain-lain. • Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat diberikan pengurangan pajak karbon.
  • Pemberlakuan Pajak karbon: berlaku pada 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara denganskema cap and tax yang searah dengan implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara

Peraturan Presiden no 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pasal 58:

  • Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.
  • Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  • Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar, PPnBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya pengenaan Pajak Karbon).

Untuk apa dana pajak karbon digunakan:

  1. Pendanaan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim; ini termasuk kegiatan-kegiatan konservasi dan kegiatan untuk mencegah emisi gas rumah kaca.
  2. Riset dan Investasi program inovasi pengurangan emisi, misalnya invenstasi untuk program zero emisi.
  3. Dana pembangunan umum yang membantu proses penurunan emisi dan kegiatan pembangunan rendah emisi.

Pajak karbon akan dilakukan bertahap dimana ruang lingkup awal akan disasar pada kegiatan penghasil emisi terbesar seperti PLTU batubara, kedepannya pada kegiatan penyumbang emisi terbesar yaitu ENERGI dan TRANPORTASI.

sumber: Kemenkeu: https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/2bb41-bahan-bkf-kemenkeu.pdf

Kebijakan Sawit Dalam Konteks Konservasi


DCIM100MEDIADJI_0013.JPG
Hutan di kanan dan sawit di kiri…(  Sumber: Drone foto TNC )

Komoditas sawit menjadi salah satu bahasan skala nasional termasuk yang terbaru adalah debat kandidat pada pemilihan presiden 2019.

Salah satu yang “terlupa” untuk disampaikan adalah kaitan sawit dengan konservasi khususnya hutan dan gambut di Indonesia. Sawit merupakan komoditas yang mengalami perkembangan paling agresif, saat ini kementrian pertanian merilis peryataan total sawit di Indonesia tahun 2018 adalah 14,03 juta hektar, data yang berbeda dari GAPKI dengan data 16 juta hektar ditahun 2017. Berdasarkan data kesesuaian dan alokasi di Indonesia terdapat 18,2 juta hektar yang dianggap sesuai dan boleh berdasarkan alokasi lahan untuk sawit, berarti tersisa 2-4 juta hektar tersisa untuk pengembangan. Dengan perkembangan 10% pertahun maka kemudian ekspansi sawit akan mengerus kawasan yang tidak sesuai seperti kawasan hutan dan gambut atau bahkan kawasan pertanian lain yang kemudian di konversi menjadi sawit.

Total perkembangan luasan diperkirakan karena lebih dari 10% pertahun. Ekspansi sawit ini kemudian memberikan dampak yang sangat besar terhadap konservasi, beberapa studi di Kalimantan menyimpulkan bahwa konversi hutan menjadi sawit adalah faktor penyumbang deforestasi.

Kebijakan Sawit di Indonesia

Salah satu hal yang belum clear adalah bagaimana rekomendasi pembangunan sawit yang mengkaitkan dengan kebijakan konservasi. Indonesia sudah menerapkan kebijakan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), pertanyaan-nya adalah apakah ISPO sudah cukup mengadopsi aspek-aspek yang mendukung lingkungan hidup?

Secara umum ISPO mengadopsi aspek konservasi berdasarkan regulasi lain, misalnya perlindungan kawasan lokal berdasarkan regulasi tata ruang dan pengelolaan sumberdaya air. ISPO juga mengadopsi perlindungan biodiversity dengan mengadopsi UU PSDA, tetapi sayangnya dibatasi oleh status kawasan perkebunan sawit yang diluar kawasan kehutanan.

Kebijakan skala lebih besar sebenarnya dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak ekspansi perkebunan sawit tidak dilakukan di kawasan yang masih berhutan, terlepas kawasan tersebut masuk dalam kawasan yang eligible untuk kegiatan perkebunan sawit (pada kawasan APL). Kebijakan sawit seharusnya diarahkan pada dua hal utama yaitu intensifikasi dan kebijakan pengelolaan lebih lanjut.

Intensifikasi

Berdasarkan statistik perkebunan sawit disebutkan produktifitas ditahun 2015 adalah 3,9 ribu kg/ha untuk PBS, 3,8 ribu kg/ha untuk PBN dan 3,12 ribu kg/ha. Sebagai perbandingan nilai ini hanya 40% dari nilai produktifitas di Malaysia.

Downstream Industri Sawit

Kebijakan lain adalah pengembangan industri pengolahan sawit untuk menambahkan nilai jual produk sehingga keuntungan yang didapat dari sektor ini secara langsung akan mengurangi usaha untuk ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan baru.

Kebijakan Sawit dan Kebijakan Energi

Salah satu kebijakan energi yang perlu diteliti dengan sangat hati-hati adalah energi biofuel yang di Indonesia salah satunya adalah dengan kebijakan penambahan prosentase biodisel dengan bahan bakar diesel fossil (dimulai dengan 20% atau B20). Kebijakan ini memerlukan kajian lebih lanjut terkait bagaimana mengatur supply biodiesel dari produk sawit.

Disisi lain sumber energi terbarukan di Indonesia sangat berlimpah, mulai dari hidro, solar, wind, geothermal, wave, dll. Ditengah keberlimpahan energi ini pengembangan energi biofuel seharusnya bukan menjadi pilihan pertama.