Mungkin hanya sebagian Orang yang tahu bahwa 5 Oktober ini adalah hari Cinta Puspa Dan Satwa Nasional, sayapun demikian jika tidak melihat di doodle Google. Puspa dan Satwa atau Flora dan Fauna sebenarnya isu-isu yang terabaikan dalam banyak kasus pembangunan di Indonesia.
Kasuari dari Papua
Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Hayati Global di 201 negara di seluruh dunia. Menurut publikasi, Indonesia peringkat kedua sebagai negara dengan keanekaragaman hayati paling tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, Indonesia memiliki 1.723 jenis burung, 383 amfibi, 4.813 spesies ikan, 729 mamalia, 773 spesies reptil, dan 19.232 spesies tumbuhan vascular. Status saat ini mungkin bisa berubah karena dalam prakteknya masih banyak kekayaan biodiversity kita yang belum terpetakan.
Disisi lain hutan kita sebagai rumah bagi kekayaan keanekaragaman hayati terus berkurang, meskipun trend penurunan hutan primer di Indonesia terus berkurang tetapi upaya perlindungan tutupan hutan sebagai habitat satwa belumlah disandingkan dengan kekayaan biodiversity yang ada di dalamnya. Misalnya apakah kebijakan food estate dilakukan dengan melakukan kajian-kajian berbasis ilmiah dalam penentuan lokasi, sehingga habitat satwa yang unik dan dilindungi dapat terjaga? Apakah perluasan perkebunan sawit dilakukan dengan memperhatikan kondisi hutan yang menjadi habitat gajah, harimau, atau orangutan?
Pelepas liaran burung kakatua di Papua Barat Daya
Secara kebijakan tentunya kita melihat adanya kebijakan nasional dalam penyusunan IBSAP yang sudah dilakukan sejak tahun 1993. IBSAP adalah singkatan dari Indonesian Biodiversity Strategy & Action Plan (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia). Dokumen ini adalah panduan utama untuk pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia yang berfungsi untuk mengoptimalkan pemanfaatan berkelanjutan, memperkuat tata kelola, dan mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan. Permasalahan selama ini adalah IBSAP menjadi dokumen yang belum di mainstreaming dalam pembangunan secara detail. Pada tingkat sub-nasional, masih selalu ada anggapan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati adalah tupoksi pusat, dalam hal ini Kemenhut dengan BKSDAE sebagai unitnya.
Bukan hanya kebijakan vertikal ke daerah, bagaimana IBSAP kemudian diadopsi oleh Lembaga/Kementrian tingkat nasional masih belum clear. Apakah ATR/BPN memperhatikan IBSAP pada saat pemberian ijin HGU perkebunan sawit? Apakah bisa dipastikan bahwa HGU tidak diberikan di wilayah habitat gajah, orangutan atau pada wilayah yang hutannya memiliki tanaman endemik asli Indonesia yang sudah langka?
Sudah seharusnya cinta puspa dan satwa bisa dimulai dari kebijakan, dari pemimpin-pemimpin negeri ini. Kalau di daerah-daerah masih banyak perburuan satwa atau pencemaran lautan, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melindungi habitat satwa tersebut.
Hutan tropis memiliki nilai penting yang dalam berbagai aspek, mulai dari ekologi, ekonomi, sosial budaya. Nilai ekologi dapat diukur dari keanekaragaman hayati didalam hutan yang kemudian dapat dinilai berdasarkan kekayaan genetik untuk obat-obatan, pertanian dan industri. Nilai ekologi juga dapat dilihat dalam aspek jasa ekosistem dimana hutan tropis menjadi penyedia pengaturan air, kesuburan lahan, penyerbukan dan tentunya jasa ekosistem terkait iklim.
Berdasarkan data dari Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP), Indonesia masuk dalam lima besar negara dengan kekayaan keanekaagaman hayati di dunia dimana hutan tropis Indonesia menyimpan 55% spesies endemis tanaman, 13% jenis mamalia dunia dengan 515 jenis merupakan endemik, 16 % jenis flora dunia, dan 10% spesies fauna lain yang masuk kelas amfibi, burung, ikan, hewan vertebrata dan invertebrata lainnya. Kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia sebenarnya masih belum semuanya diketahui, Kompas merilis yang terbaru di 2024 saja kajian BRIN mengungkap 98 taksa baru di Indonesia. Secara rinci 98 taksa atau kelompok dari jenis organisme yang diidentifikasi tersebut, meliputi, 43 spesies baru, 1 subspesies baru, 1 varietas baru, dan 53 rekaman baru dari kelompok flora, fauna, dan mikroorganisme. Untuk spesies baru, paling banyak ditemukan dari spesies fauna sebanyak 26 spesies, kemudian flora sebanyak 11 spesies dan mikroorganisme sebanyak 6 spesies. Dapat dibayangkan kerugian yang didapat jika hutan tropis Indonesia terdeforestasi tanpa dilakukan kajian penilaian yang lengkap dan menyeluruh.
Hutan tropis memiliki nilai lebih dibandingan dengan jenis hutan lain di dunia, dimana riset menunjukkan bahwa hutan hujan tropis Amazon memiliki kekayaan biodiversity lebih dari 2 jali lipat dibandingkan dengan dataran rendah sepanjang pantai Atlantic Forest dan beberapa kali jauh lebih tinggi dari hutan savanna di Brazil (Borma et al, 2022). Kekayaan biodiversity ini berbanding lurus dengan fungsi jasa ekosistem yang ada dalam hutan, dimana semakin kompleks struktur, komposisi dan fungsi ekosistem di dalam hutan, maka peran hutan tersebut akan semakin kaya secara ekosistem dan biodiversity. Sementara itu untuk melihat nilai ekonomi dari hutan tropis dapat dilihat dari hasil hutan secara langsung, baik dari hasil kayu maupun produk non kayu seperti madu, rotan, resin (damar) dan tanaman obat. Nilai ekonomi hutan juga bisa didapatkan dari kegiatan wisata yang dapat menarik wisatawan baik local maupun internasional. Aspek ekonomi yang belum tergarap secara utuh adalah aspek finansial terkait perubahan iklim dimana menjaga hutan tropis dan stok karbon nya dapat menghasilkan pendanaan. Nilai ekonomi akan terkait dengan nilai budaya, misalnya hutan menjadi tempat bagi masyarakat adat yang menggantungkan penghidupannya di hutan dan menjadikan hutan sebagai tempat penting bagi budaya secara turun temurun.
Mempertajam argumentasi bahwa hutan tropis memiliki nilai penting tentu saja salah satu yang bisa dilakukan adalah menjabarkan kuantifikasi dari nilai hutan dalam bentuk nilai mata uang. Ada beberapa riset yang sudah dilakukan untuk menghitung nilai dari hutan tropis di dunia, The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) ditahun 2010 mengeluarkan riset yang mencoba mengkompilasi riset yang menghitung nilai dari hutan alam dimana kajian menyebutkan di Kamerun hutan alam dalam luasan satu hektar per tahun memiliki nilai ekonomi kayu sebesar 560 US$, 61 US$ untuk nilai kayu bakar, dan 41-70 US$ untuk nilai ekonomi non timber. Nilai ini masih dapat ditambah dengan nilai 842-2.265 US$ nilai ekonomi terkait perubahan iklim, ditambahkan dengan nilai jasa ekosistem air dari hutan di Kamerun dikalkulasikan 24 US$ per hektar per tahun. Sebuah riset di Leuser, Indonesia menyebutkan ekosistem Leuser memberikan kontribusi senilai 2,42 milyar dollar US untuk wilayah hutan seluas 25.000 km2. Nilai jasa ekosistem air dapat ditambahkan dengan fungsi hutan sebagai penyerap air dimana riset di Hawai menyebutkan 40.000 hektar hutan memberikan nilai ekonomi tidak langsung sebesar 1,42 -2,63 juta dollar. Menarik juga riset mengenai peran hutan dalam membantu proses penyerbukan terkait tanaman kopi di Sulawesi, kehilangan hutan 1 hektar akan menyebabkan penurunan produksi kopi dengan nilai 47 uero per tahun.
Salah satu bentuk penilaian lain dari hutan adalah mengenai komitmen pendanaan konservasi hutan, riset yang dilakukan di UK dan Italy menyebutkan satu keluarga rela memberikan 46 dollar Amerika per hektar untuk konservasi hutan di Amazon. Akan sangat menarik jika misalnya riset-riset tersebut dapat dilakukan di Indonesia, misalnya bagaimana menghitung kontribusi ekonomi taman nasional Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang memberikan kontribusi penyediaan air bersih bagi industri minuman yang mengambil air dari sana, misalnya menghitung nilai ekonomi dari produsen air kemasan, air minum olahan dan produk air lainnya yang mengambil jasa lingkungan air dari keberadaan hutan di dua taman nasional tersebut.
Bagaimana dengan kondisi hutan tropis di Indonesia, dengan menggunakan baseline data KLHK sejak tahun 1990 maka deforestasi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa periode waktu; pada perode 1990-1996 terjadi deforestasi seluas 1,9 juta hektar, pada periode 1996-2000 sebesar 3,5 juta hektar, rentang waktu dimana deforestasi besar juga terjadi ditahun 2014-2015 dengan luasan 1 juta hektar. Angka deforestasi menurut KLHK menurun dimana pada tahun 2022-2023 adalaj 133.833 hektar dan angka net deforestasi adalah 121.103 hektar. Berdasarkan laporan KLHK deforestasi terbesar adalah kelas tutupan hutan sekunder dimana luasan terbesar ada di hutan produksi tetap dan APL yang nilainya diangka 50 ribu hektar. Melihat trend deforestasi dari tahun ketahun beberapa penyebab utama deforestasi adalah konversi lahan bertutupan hutan menjadi perkebunan yang didominasi perkebunan sawit. Riset dengan menggunakan kurun waktu 2001-2016 menunjukkan deforestasi di Indonesia berasal dari Perkebunan sawit 23%, hutan tanaman 14%, pertanian skala kecil 15% dan perkebunan lain berskala besar 7%, sisanya adalah menjadi kegiatan lain (Austin et al 2019).
Belakangan pemerintah mengeluarkan wacana untuk mencadangkan kawasan hutan seluas 20,6 juta hektar untuk lahan cadangan pangan dan energi. Wacana ini menyebutkan bahwa terdapat potensi penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan produk-produk pangan seperti padi gogo serta perkebunan untuk energi. Terlepas dari pentingnya aspek ketahanan pangan dan energi di Indonesia, upaya menjaga sisa hutan tropis di Indonesia menjadi prioritas utama jika kita tidak ingin kehilangan semua kekayaan biodiversity tersebut. Telah dilakukan banyak penelitian mengenai kerugian konversi hutan tropis artikel terbaru oleh Marsh et al (2024) menyebutkan bahwa konversi hutan tropis menyebabkan kehilangan biodiversity dan sekaligus merusak jasa lingkungan seperti rantai makanan, penyimpanan karbon dan peran pengatur air/siklus hidrologi. Riset menunjukkan bahwa kehilangan tutupan hutan menyebabkan hilangnya habitat dan mengubah kondisi iklim mikro yang ada didalam hutan. Studi yang membandingkan beberapa tipe penggunaan hutan menyebutkan bahwa semakin besar bukan tutupan hutan termasuk tutupan kanopi pohon maka dampak terhadap kehilangan biodiversity serta tergangunya fungsi ekosistem akan semakin besar. Dampak dari kegiatan yang tidak menebang pohon, kegiatan logging serta kegiatan penebangan besar-besar untuk digantikan tanaman sejenis akan berbeda dan semakin besar untuk jenis pembukaan hutan untuk perkebunan atau tanaman sejenis lainnya.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tetapi tanpa melakukan kajian serta kegiatan yang memperhatikan aspek biodiversity dan jasa ekosistem maka kehilangan hutan tropis primer tidak akan bisa mengembalikan kekayaan biodiversity tropis yang ada (Gibson et al. 2011). Kegiatan manusia sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan tropis di Indonesia bentuk-bentuk penggunaan yang dipicu oleh kegiatan manusia dapat memicu kehilangan biodiversity dan jasa lingkungan dua kali Barlow et al. 2016).
Kajian-kajian tersebut menguatkan bahwa peran manusia dalam menjaga hutan sangat penting untuk menjaga fungsi hutan sebagai penyedia hasil-hasil hutan, jasa lingkungan, peran menjaga kualitas udara dan dampak perubahan iklim, karena itu dituntut kebijakan oleh manusia sebagai makhluk antropogenis membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik.
Agustus biasanya menjadi bulan terpanas di musim kemarau di Indonesia. Saat ini hujan dimusim kemarau terjadi di banyak lokasi di Indonesia. Bahkan beberapa wilayah seperti Tangerang Selatan dan Enrenkang di Sulawesi mengalami banjir dan longsor.
Perubahan iklim sudah terjadi saat ini, bukan hanya dampak kebencanaan tetapi perubahan iklim juga mengganggu kegiatan ekonomi. Dampak ekonomi paling nyata adalah perencanaan pertanian yang semestinya berjalan lancar tetapi terganggu, baik dalam penentuan awal tanam maupun proses pemeliharaannya. Secara detail perubahan iklim berdampak pada pertanian dengan mengubah suhu, curah hujan, dan cuaca ekstrem, yang menyebabkan penurunan hasil panen, penurunan kualitas nutrisi, peningkatan prevalensi hama dan penyakit, dan peningkatan kelangkaan air.
Perubahan iklim yang mempengaruhi ketersediaan air dapat mengancam mengancam ketahanan pangan global. Disamping pertanian tetapi peternakan juga menderita akibat tekanan panas dan kekurangan pakan, dan keterbatasan persediaan air.
Kasus bencana alam mengalami peningkatan signifikan di tahun-tahun belakangan ini baik di Indonesia maupun secara global. Fenomena banjir ini terjadi di Indonesia pada musim yang seharusnya masuk pancaroba ke peralihan musim panas, tetapi wilayah seperti Bekasim Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan banyak lokasi lain terjadi banjir di rentang bulan Maret sampai Juni. Terbaru tentu saja di bulan Juli ini, ketika Megapolitan Jabodetabek dikepung banjir karena luapan air sungai dan curah hujan yang tinggi. Pada tingkat global terjadi banjir di pebatasan Cina dan Nepal bahkan banjir terjadi di Texas dan Italy dalam jangka waktu belum lama ini.
BMKG membuat peta perkiraan potensi banjir yang dapat diakses dari website: https://www.bmkg.go.id/iklim/potensi-banjir. Pertanyaannya adalah apakah data dan informasi iklim masuk dalam kebijakan pengelolaan ruang dan kebijakan berbasis lahan lainnya? Ambil saja data konsentrasi CO2 di Indonesia dan global yang terus meningkat:
Data ini seharusnya menjadi baseline untuk mengubah kebijakan energi yang berbasis fosil dengan melakukan transformasi energi berbasis energi terbarukan. Selain itu perlu juga melihat trend CO2 perkotaan yang semakin buruk yang seharusnya bisa diantisipasi dengan menyusun kebijakan transportasi berbasis transportasi umum dan masal. Tetapi apakah ada yang bisa mengusung isu-isu ini dalam pengambilan kebijakan.
Perubahan Iklim
Badan Meteorologi Dunia menyebutkan bahwa banjir dipicu oleh perubahan iklim yang mengubah siklus hidrologi secara global. Pernyataan ini perlu dicermati lebih jauh karena pemahaman awam mengenai siklus hidrologi masih sangat terbatas di dalam pendidikan Indonesia. Siklus hidrologi mustinya diajarkan secara lebih baik sehingga pemahaman ini akan terbawa dalam memahami interaksi manusia dengan alam sekitarnya. USGS membuat satu diagram yang menarik untuk memahami siklus air bagi anak-anak: https://water.usgs.gov/edu/watercycle-kids-adv.html
Pehaman ini mustinya terbawa sampai ke proses pengambilan kebijakan yang seharusnya dilakukan dengan pemahaman yang baik akan siklus air dan tentunya pemahaman mengenai ekosistem dan alam secara jelas.
Bencana Alam dan Perubahan Iklim
Bencana alam dan perubahan iklim mustinya diterjemahkan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam secara lebih masif. Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini bisa dibilang masih belum melakukan proses mainstreaming bencana dan perubahan iklim dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ambil contoh mengenai pemberian ijin pertambangan yang dilakukan tanpa melakukan kajian lingkungan yang baik dan bahkan hukum-hukum lingkungan dikalahkan oleh hitung-hitungan ekonomi sesaat tanpa membuat kajian jangka panjang.
Kebijakan alih fungsi kawasan berhutan menjadi kawasan non hutan juga masih terus terjadi di wilayah-wilayah rentan di Indonesia. Misalnya jika kita buka google earth saja, akan kita lihat bagaimana hutan di hulu sungai-sungai besar di Kalimantan sudah menjadi wilayah ekspansi perkebunan padahal wilayah ini merupakan sumber air bagi wilayah hilir yang ada diperkotaan.
Sekali lagi pemahaman konsep siklus hidrologi perlu ditelisik kembali, jika tutupan vegetasi hutan diubah maka akan mengurangi wilayah resapan dan menaikkan aliran permukaan. Aliran permukaan ini akan menyebabkan banjir lokal dan mengalir ke sungai menjadi banjir luapan sungai.
Pemahaman mengenai perubahan iklim dan bencana sangat mudah dipahami jika konsep sederhana seperti siklus air digunakan dalam mengambil kebijakan pembangunan. Hitungan ekonomi sesaat mungkin tinggi dengan mengubah hutan menjadi wilayah pertanian dan perkebunan atau bahkan tambang, tetapi apakah sudah menghitung dampak bencana yang semakin lama semakin luas, semakin sering dan berdampak ekonomi.
Hari Bumi yang dilakukan ke 55 kali ditahun 2025 mengusung tema energi dengan mengambil judul our power our earth dimana highlight utama adalah transisi energi dari energi berbasis fosil menuju energi terbarukan. Tema 2025 tentu saja tidak hanya pada isu energi bersih tetapi juga mengangkat isu-isu lain seperti pelibatan public secara penuh, isu gender seperti keterlibatan perempuan dan mendorong kebijakan-kebijakan yang bermuara pada penyelamatan bumi sebagai rumah bagi semua.
Tema ini tentu saja sangat relevan dengan kebijakan di Indonesia yang kemudian memasukkan aspek ketahanan energi sebagai salah satu target pembangunan selama lima tahun kedepan dibawah pemerintahan baru. Salah satu Kebijakan pemerintah yang baru adalah dengan membentuk Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional melalui Kepres nomor 1 tahun 2025. Publik perlu dilibatkan lebih jauh untuk mendorong ketahan energi dilakukan dengan mengedepankan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang memang punya potensi besar, dimana target pemerintah adalah bauran EBT sebesar 23% dari angka 14% ditahun 2024. Laporan yang disusun IRENA merangkum potensi Indonesia Energy Transition Outlook menyebutkan potensi energi listrik terbarukan sebesar 3000 GW dari energi surya, 60,6 GW energi angin, 75 GW dari energi pembangkit tenaga air, 32,6 GW dari biomass dan potensi geothermal sebesar 28,5 GW.
Tema power yang dihubungkan dengan energi terbarukan jika ditarik lebih makro sebenarnya masuk dalam isu green development atau pembangunan hijau. Isu pembangunan hijau sendiri menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam RPMN 2025-2029 dimana focus Kebijakan antara lain terkait transisi energi bersih, pengembangan ekosistem kendaraan Listrik, pengelolaan lingkungan hidup dan keaneragaman hayati, serta kebijakan lain. Menurut GGGI pembangunan hijau diartikan sebagai sebagai serangkaian pedoman, peraturan, dan praktik yang bertujuan untuk meminimalkan dampak lingkungan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Fokusnya adalah pada pengurangan polusi, konservasi sumber daya alam, dan mendorong penggunaan sumber energi terbarukan. Tahun 2025 sebagai tahun awal dimana pemerintahan nasional dan daerah digawangi oleh pimpinan daerah hasil pemilu 2024 akan menjadi momen yang sejalan untuk menterjemahkan kebijakan pembangunan hijau dari tingkat nasional sampai ke tingkat kabupaten/kota. Dimana saat ini baik Provinsi dan Kabupaten sedang menyusun RPJMD sebagai panduan pembangunan 5 tahun kedepan, salah satu permasalahan utama yang muncul adalah bagaimana membumikan Kebijakan pembangunan hijau dalam Rencana Pembangunan lima tahun kedepan dalam bentuk kebijakan dan penganggaran yang terukur dan menyasar capaian dengan benar. Sampai tahap ini sepertinya pemerintah pusat perlu memberikan arahan-arahan dimana Kebijakan nasional yang berbasis ekonomi hijau menjadi program daerah yang secara ekonomi memberikan peningkatan, melibatkan masyarakat secara aktif serta tentunya menghindari dampak negative kelingkungan hidup.
Kembali pada konteks Hari Bumi 2025 dimana salah satu tantangan utama mencapai target pembangunan hijau adalah belum tersedianya regulasi yang mumpuni dalam mendukung target pembangunan hijau, tantangan lain adalah belum adanya insentif bagi kegiatan-kegiatan pembangunan hijau termasuk kegiatan pemanfaatan EBT. Tantangan lainnya adalah bidang finansial dimana transisi energi memerlukan pendanaan awal yang besar, tetapi menghidupkan visi dan misi pembangunan hijau merupakan inverstasi jangka panjang. Sisi finansial menjadi aspek lain yang memerlukan kebijakan seperti membumikan konsep pembayaran jasa lingkungan hidup (payment for environmental services), pajak karbon, mempromisikan kebijakan offset dan disisi lain memberikan insentif bagi upaya pengembangan energi terbarukan yang dilakukan pihak profit.
Ada yang mengatakan seharusnya Hari Bumi bukan hanya diperingati di 22 April setiap tahunnya tetapi seharusnya dirayakan setiap hari, karena apapun yang kita lakukan saat ini akan berpengaruh pada kondisi Bumi sebagai planet dimana semua kehidupan bergantung.
Banjir di Jakarta dan sekitarnya menjadi sebuah agenda rutin ketika curah hujan tinggi terjadi. Jika menyalahkan cuaca tentu bisa saja tetapi menyalahkan hujan sama dengan menyalahkan matahari kalau kita kepanasan.
Dalam sejarah, banjir di Jakarta sudah tercatat sejak 1699 waktu masih bernama Batavia dimana penyebabbya adalah sungai yang tertutup kayu tebangan. Tercatat di 1714 terjadi banjir yang disebabkan oleh meluapnya Ciliwung, ini terjadi kembali ditahun 1918 yang merendam hampir seluruh kawasan Batavia. Perlu diingat bahwa Batavia saat ini belumlah seluas Jakarta. Solusi yang dibuat jaman kolonial adalah dengan membuat saluran/kanal penyalur atau yang dikenal dengan banjir kanal. Dimana solusi ini mungkin perlu ditambahkan dengan solusi yang lebih baik dimasa sekarang.
Salah satu penyebab utama banjir di Jakarta adalah fakta bahwa Jakarta dilewati oleh sungai besar seperti Ciliwung, serta sungai lain seperti Kali Pesangrahan, Kali Angke, Kali Krukut, dll. Dari sejarah penyebab banjir di Jakarta:
Meluapnya sungai-sungai yang Ciliwung, Pesangarahan, dll. Ini dipicu oleh curah hujan yang tinggi mulai dari hulu sungai yang ada di Jawa Barat sampai curah hujan di Jabodetabek.
Penyempitan sungai oleh karena endapan, sampah dan pembangunan.
Tidak cukupnya resapan air pada saat hujan lokal di Jakarta. Jakarta kekurangan wilayah tangkapan air yang biasanya berupa taman atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang hanya 34,451 juta meter persegi atau 5,3% dari luas Jakarta dibawah luasan 30% dari luas wilayah kota sesuai UU tata ruang.
Penyebaran pemukiman di wilayah bantaran sungai yang seharusnya menjadi kawasan lindung lokal.
Penurunan muka tanah karena pengambilan air tawar.
Banjir rob karena naiknya air laut (spesifik di Jakarta bagian utara) ini diperparah dengan adanya reklamasi dapat mengubah pola aliran air laut, meningkatkan risiko banjir di wilayah pesisir.
Solusi banjir di Jakarta dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti:
Normalisasi kawasan sungai sungai yang masuk ke Jakarta menjadi keharusan, ini termasuk kedepannya memastikan bahwa sungai dikelola dengan baik, menghindari pembuangan limbah yang menyebabkan daya tampung air oleh sungai berkurang.
Pembenahan wilayah sepada sungai, pemerintah memiliki kewajiban memberikan solusi untuk pemukiman di sepanjang sungai baik dengan relokasi, penggantian. Wilayah yang kosong diubah menjadi Ruang Terbuka Hijau.
Memastikan regulasi dilakukan untuk pembatasan dan pengelolaan pengambilan air tanah skala besar.
Melakukan pembatasan reklamasi atau kajian detail dampak lingkungan reklamasi perlu dilakukan.
Banjir di Jakarta memang menjadi sebuah sejarah yang terus berulang, bukan tidak bisa diatasi tetapi perlu effort dan penerapan kebijakan yang serius jika memang akan diatasi.
Saya sedang tidak ada ide menulis mengenai geografi, konservasi, lingkungan hidup dan perencanaan. Jadi saya sedang meng explore otak saya saya memikirkan beberapa hal lain. Tapi dari judul tulisan saya… apa hubungannya bulan puasa dan korupsi?
Sebagai muslim saya diajarkan sejak kecil bahwa puasa merupakan kewajiban yang harus saya jalankan. Demikian pula dengan ajaran bahwa mencuri adalah dosa besar selalu saya ingat, karena saya pasti akan dapat hadiah “ikat pinggang” jika ketahuan mencuri jambu tetangga, meskipun saat kecil dulu itu dilakukan atas dasar kenakalan anak-anak SD. Jika disepakati maka korupsi apapun nama dan alasannya adalah mencuri, para koruptor adalah pencuri. Puasa disatu sisi memberikan makna untuk memahami arti lapar dan haus dan kemudian memberikan kita kesadaran untuk beramal/berzakat kepada kaum dhuafa dan yang membutuhkan sebagai bentuk nyata kita melakukan perintah Tuhan. Apa yang dilakukan dalam islam dengan berpuasa sama dengan kearifan yang meminta kita untuk “put yourself in someone else’s shoes “.
Balik kehubungan korupsi dengan puasa, maka korupsi jika disepakati adalah perbuatan mencuri. Apapun alasannya dari korupsi baik ada yang mengaku sebagai upaya mencuri untuk mengembalikan modal menjadi pejabat atau anggota dewan, korupsi karena balasbudi ke cukong yang membiayai kampanye atau paling lucu ada yang mengaku sebagai kesalahan administrasi (lah.. anda mencalonkan diri sebagai administrator tapi mengaku khilaf administrasi). Koruptor adalah maling, dimana ketika ini dilakukan banyak masyarakat yang dirugikan, ambil contoh kalau ada korupsi pembelian komputer di kantor pemerintah misalnya akan menyebakan kerugian langsung dan tidak langsung.
Jika kita memaknai puasa dengan benar, niscaya kita akan sadar bahwa puasa adalah sebuah antitesis dari korupsi. Puasa mengajarkan kita untuk memahami arti lapar dan meminta manusia untuk tidak serakah sementara korupsi adalah sebuah tindak dari sifat keserakahan itu sendiri. Selalu ada yang dirugikan dengan tindakan korupsi, korupsi BLT secara langsung akan membuat orang miskin yang mustinya perlu bantuan akan kelaparan, korupsi Pertamina bisa menyebabkan negara 171 an triliun pertahun dan angka yang sama untuk biaya makan siang gratis selama setahun se Indonesia. Bayangkan Koruptor Pertamina ini mencuri uang makan jutaan anak sekolah di Indonesia selama setahun dan jika mereka telah korupsi 5 tahun makan 5 tahun juga penderitaan orang yang makan mereka abaikan.
Memaknai ibadah memang menjadi penting untuk dilakukan karena Islam sendiri memerintahkan manusia untuk berpikir. Jika puasa dilakukan oleh orang dengan baik maka dipastikan bahwa empati terhadap orang akan terbangun, jika ada pernah merasa lapar, maka anda tidak akan pernah mencuri jatah makan siang orang.
Pantai Utara Jawa, khususnya utara Jakarta dan Tangerang mengalami perubahan sesuai dengan adanya pembangunan di pantai utara yang dilakukan dengan pengurukan pantai dan pembuatan pulau buatan.
Pulau Buatan Pantai Indah Kapuk menjadi beberapa wilyah yang mengubah pantai utara Jawa.
Bagaimana kalau dilihat dengan peta ATR BPN
Gambaran lokasi dengan peta ATR BPN: Bhumi ATR BPN
Jika kita menggunakan peta garis pantai BIG maka sudah ada revisi dengan penambahan pulau buatan ini.
Pulau buatan dalam peta online nasional yang dirilis Badan Informasi Geospasial (BIG).
Tetapi ketika menelelusuri kawasan di bagian utara Tangerang, terdapat beberapa hal yang cukup membingungkan. Garis pantai antara data BIG dengan data ATR BPN terdapat perbedaan yang cukup besar.
Garis pantai utara Tangerang
Berdasarkan data BHUMI ATR BPN terdapat bidang tanah terdaptar di luar garis pantai BIG.
Bidang tanah terdaptar diluar garis pantai BIG.
Jika di cross check dengan data Google Maps, maka diwilayah tersebut memang masih merupakan wilayah laut.
Wilayah utara Tangerang dilihat dari Google Maps.
Sebagian wilayah di tanah terdaptar terdapat dipermukaan laut. Di zoom dari BHUMI ATR BPN dengan peta dasar citra satelit, memang bidang terdapat tersebut merupakan laut. Upss.. apakah ini lokasi suku bajau yang kebetulan dekat dengan PIK 2.
Musim penghujan di Indonesia juga berarti munculnya berita mengenai bencana lingkungan hidup, khususnya bencana banjir dan longsor. Yang terbaru adalah bencana banjir dan longsor di Tanah Karo dengan korban 16 orang dan tujuh lainnya masih hilang. Masih di Sumatera Utara, banjir dan longsor terjadi di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Langkat, Sumut. Banjir juga terjadi di Bandung yang disebabkan oleh meluapnya Citarum karena curah hujan dengan intensitas tinggi.
Bencana lingkungan bisa disebut sebagai symptom dimana akar permasalahannya perlu diuraikan secara detail untuk dapat diobati. Salah satu yang perlu dilihat lebih detail adalah bencana sebagai akibat dari perubahan iklim. Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) menyebutkan bagaimana perubahan iklim menyebabkan perubahan siklus hidrologi dan meningkatkan intensitas badai. Perubahan iklim mempengaruhi perubahan cuaca dan iklim yang dapat menyebabkan kekeringan, penggurunanm kebakaran lahan, pulusi dan banjir.
Climate change is affecting the hydrological cycle and increasing the frequency and intensity of storms. These lead to death, loss of livelihoods and displacement and place a huge burden on society. -UNEP
OXFAM merilis bahwa dalam 30 tahun terakhir kejadian bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim mencapai tiga kali lipat, lebih cepat terjadi dan dampaknya ke 20 juta jiwa dengan kerigian diperkirakan mencapai 300 milyar dolar sampai tahun 2030.
Sayangnya aspek perubahan iklim dan bencana belum menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Ada banyak kebijakan pembangunan yang masih mengabaikan aspek perubahan iklim dan lebih mengutamakan aspek ekonomi. Meskipun saat ini kebijakan pembangunan di Indonesia mulai mengedepankan aspek keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan, tetapi trickle down effect dari kebijakan ini belum sampai di sub nasional.
Lembaga PBB bidang kebencanaan (UNDRR) menyebutkan bahwa perlunya kegiatan aksi perubahan iklim dan pengurangan resiko dampak bencana perlu dijalankan secara lebih baik. Apa yang kemudian menjadi rekomendasi UNDRR dalam mengatasi kebencanaan akibat perubahan iklim:
Memperkuat komitmen politik
Memperluas pengelolaan resiko bencana dan perubahan iklim
Memperkuat masyarakat dan mobilisasi masyarakat untuk memastikan semua terlibat.
Melakukan investasi infrastruktur yang berkelanjutan dan tahan akan bencana
Mempromosikan mekanisme keuangan dan investasi yang inovatif
Memastikan adanya perubahan kebiasaan melalui sains, bukti nyata dan komunikasi yang efektif.
Tampaknya kesadara akan hubungan antara perubahan iklim dan bencana di Indonesia masih harus digaungkan secara lebih luas. Jika menganggap bencana alam hidrologis seperti banjir dan longsor merupakan bagian dari siklus tahunan perlu diberikan masukkan lain yang lebih luas.
Saat ini di Jakarta dan sekitarnya sedang marak pembangunan dan perbaikan infrastruktur saluran air dalam mengantisipasi musim penghujan diakhir tahun. Beberapa trotoar di banyak ruas jalan digali untuk memasang saluran air dari beton. Sayangnya proses pembangunannya kadang membuat sebagian penduduk mengeluh, dimana keluhannya adalah mulai dari proses pembangunan yang lambat sehingga memicu kemacetan, kualitas pengerjaan yang tidak baik misalnya membiarkan galian tergeletak di pingir jalan. Pembangunan ini pada beberapa lokasi yang dianggap selesai menyisakan lubang di jalan atau membuat membuat trotoar sebelumnya bagus menjadi rusak. Saat publik ingin sekali menyampaikan keluhan mengenai hal ini, tidak ada sarana yang dapat digunakan secara efektif dan cepat didengar. Membandingkan kualitas infrastruktur negara kita dengan negara lain membuat saya bertanya-tanya mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kualitas infrastruktur yang dibangun serta siapa yang berhak mengajukan complain atau pertanyaan mengenai infrastruktur publik. Tentu saja saya tidak akan bisa membayangkan mengartikan mengenai kualitas dengan membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju sepert US, negara-negara Eropa atau dengan negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan atau China, perbandingan kualitasnya pasti akan akan jauh. Tetapi kualitas infrastruktur yang ada di Indonesia seharusnya bisa sama, mengingat jika dilihat standar yang digunakan dalam perencanaan dan pembangunan dilakukan dengan mengikuti standar baku mutu terbaik. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kemudian partisipasi masyarakat dapat menjadi komponen pengawas dalam pembangunan infrastruktur, menuju standar yang lebih baik.
Penyebab kualitas infrastruktur kita belum baik bisa saja berbagai hal, mulai dari perencanaan yang kurang baik, sistem penganggaran atau bisa juga penyimpangan seperti suap dan korupsi. Salah satu penyebab dimana penyimpangan ini terjadi salah satunya karena lemahnya partisipasi publik dalam menentukan perencanaan dan pengawasan dalam pembangunan infrastruktur. Padahal keterlibatan publik akan menjadi sangat penting untuk memastikan infrastruktur dibangun atas kebutuhan publik serta dilakukan dengan standar dan kualitas yang diperlukan publik. Keterlibatan publik sebenarnya sudah menjadi sebuah kebutuhan dan ini dilakukan dibanyak negara seperti disebutkan dalam salah satu publikasi OECD (2022), OECD Guidelines for Citizen Participation Processes, OECD Public Governance Reviews, OECD Publishing, Paris. Highlight yang saya ambil dari buku ini adalah penggunaan istilah citizen participation yang mengedepankan peran individu masyarakat dalam kaitan perencanaan, pembangunan dan monitoring. Prinsip yang selama ini diakaikan dalam pengambilan kebijakan karena menggangap remeh pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat sebagai orang awam.
Kebutuhan akan pelibatan peran masyarakat memang sudah menjadi isu lama akan sedikitnya peran masyarakat. Saat ini dengan perkembangan teknologi dan perkembangan aplikasi berbasis web peran masyarakat bisa dilakukan secara lebih luas. Di Indonesia sendiri penggunaan information and communication technology (ICT) untuk melibatkan pubik sudah pernah dilakukan, ambil contoh bagaimana Bappenas menyusun website untuk konsultasi publik RPJP 2025 atau untuk apps berbasis mobile pernah dibuat aplikasi banyak untuk pengaduan masyarakat. Hanya saja aplikasi-aplikasi yang kemudian disusun ini tidak dikembangkan lebih lanjut atau pasca aplikasi dibuat tidak secara jelas dilakukan prosessing data untuk tindak lanjut dari pengaduan tersebut. Perkembangan teknologi aplikasi berbasis mobile baik berbasis android ataupun ios misalnya memungkinkan untuk membuat aplikasi untuk pelibatan masyarakat baik dalam perencanaan maupun untuk monitoring dan pengaduan. Aplikasi ini dengan mudahnya bisa dibangun dan kemudian digunakan oleh masyarakat.
Dalam konteks kualitas infrastruktur tentunya perlu dibangun aplikasi yang berbasis spatial untuk memastikan lokasi dari infrastruktur dapat dipantau dan dimonitoring oleh masyarakat. Salah satu pendekatan spatial yang dapat dilakukan adalah melalui konsep Participatory GIS yang memungkinkan masyarakat dapat memberikan kontribusi informasi dan masukkan data dan informasi yang tergeoreferensi. Meskipun istilah participatory GIS sudah dikeluarkan sejak tahun 90-an, tetapi konteks saat ini masih sangat relevan, dimana peran masyarakat dalam pembangunan dan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Saat ini perkembangan teknologi lebih membuka peluang bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bisa dilakukan secara lebih jauh.
Perkembangan teknologi spatial berbasis web sudah sedemikian maju dan semakin beragam, mulai dari sistem yang berbayar sampai pada sistem tidak berbayar dengan memanfaatkan resosurce online opensource. Peta-peta online tidak berbayar seperti Openstreet map dan software berbasis opensource seperti Leaflet, Mapbox dan Open Layers. Dengan mudahnya dapat dibangun sistem berbasis online dimana kegiatan pembangunan infrastruktur dapat dimonitor oleh masyarakat. Bayangkan saja jika PUPR misalnya memberikan ruang bagi masyarakat membuat pengaduan mengenai infrastruktur maka kualitas infrastruktur akan jauh lebih baik dimana publik akan memberikan input monitoring mengenai proses dan kualitas infrastruktur itu dibangun.
Adapun urutan kegiatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Sekali lagi bahwa peran penting masyarakat dalam perencanaan, proses dan pengawasan pembangunan infrastuktur memang sangat penting. Perkembangan teknologi sangat memungkin peran ini dimunculkan untuk memastikan infrastruktur dibangun secara baik dan benar. Selebihnya hanya mengenai bagaimana kebijakan yang ada didorong supaya peran publik ini dimunculkan dan bukan diabaikan.