Wajib Menjaga Hutan di Kawasan APL


Salah satu zonasi wilayah yang paling rentan untuk dikonversi adalah kawasan hutan yang terdapat di zonasi tata ruang APL. APL atau area penggunaan lain merupakan zonasi tata ruang nasional dimana kawasan inilah lokasi pembangunan dan kegiatan non kehutanan dapat dilakukan. Zonasi APL merupakan wilayah yang dapat digunakan untuk konsesi perkebunan sawit, meskipun sempat diberikan di HPK (hutan produksi konversi) sebenarnya regulasi kawasan untuk pertanian dan perkebunan diberikan dizonasi APL sejak dulu.

Terdapat 69,3 juta hektar APL dimana ditahun 2021 luas yang masih berhutan adalah 7,48 jta hektar atau hanya 4 persen dari luas darata Indonesia (Laporan Kinerja Dirjen IPSDH). Di Kalimantan sendiri sisa tutupan hutan sekitar 2,2 juta hektar di APL sementara luas tutupan sawit sudah hampir mencapai 6 juta hektar.

Pertanyaan menarik nya adalah Apakah semua APL yang tersisa akan dikonversi menjadi wilayah terbangun dengan dominasi sawit atau memang perlu disisakan demi aspek lingkungan hidup?

Secara spatial kawasan APL berada pada wilayah daratan rendah dimana secara ekologi harus ada keterwakilan wilayah dataran rendah yang perlu dijaga untuk kepentingan lingkungan hidup, ini mencakup jasa lingkungan penyediaan air, jasa lingkungan pencegah bencana maupun aspek konservasi dimana terdapat spesies penting yang masuk kategori dilindungi.

Sebaran APL dengan tutupan hutan di Kalimantan (tutupan lahan tahun 2020)

APL dan tutupan hutan di Kalbar (tutupan lahan 2020)

Pada peta d iatas tersisa tutupan hutan sekala kecil di APL yang terpecah dalam bentuk sebaran hutan yang jika dilihat dalam peta. Jika dilihat dalam skala lebih besar akan terlihat bagaimana dominasi kebun sawit pada wilatah ini.

Kawasan Lindung Lokal

Dalam UU Tata Ruang terdapat kewajiban menyisakan kawasan yang tidak dibangun di APL yaitu kawasan lindung setempat atau kawasan lindung lokal. Kawasan lindung lokal misalnya diatur pada kawasan sepadan sungai, sepadan pantai, sepadan danau serta kawasan ruang terbuka hijau.

Perencanaan pembangunan semestinya dapat mengalokasikan kawasan lindung lokal dalam RTRW dalam proyeksi waktu RTRW selama 20 tahun. Ini tampaknya lolos dari perencanaan ruang dimana ketika kawasan terbangun ditetapkan menjadi kota, kawasan bertutupan hutan pada sepadan sungai, sepadan pantai dan danau telah berubah tutupannya menjadi kawasan terbuka dan kawasan terbangun.

Menjaga kawasan berhutan di APL merupakan salah satu kewajiban dalam tata ruang untuk menyisakan kawasan lindung setempat. Strategi ini perlu dibangun dengan memastikan tidak semua APL perlu dikonversi menjadi kawasan terbangun.

Mendorong Adanya Peta HCV/ANKT Indikatif Provinsi

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong dibangunnya peta Indikatif Areal dengan Nilai Konservasi Tinggi (ANKT) atau High Conservation Value (HCV) di alokasi ruang APL pada tingkat provinsi dan kabupaten sejak awal. Ini akan menjadi sebuah strategi untuk menyelamatkan sisa kawasan berhutan dari konversi ke penggunaan lain.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menyusun kajian ANKT / HCV pada tingkat landscape
  2. Menyusun prioritas kawasan dengan menggunakan skenario mitigasi (avoid. minimize dan restore) dimana kawasan avoid merupakan kawasan yang tidak akan dikonversi lebih lanjut.

Ada banyak keuntungan dimasa depan jika kawasan berhutan di APL tidak seluruhnya di konversi, misalnya terkait dengan jasa lingkungan air, faktor kebencanaan dan tentunya akan menimalkan biaya restorasi kawasan hutan, gambut dan mangrove di masa depan.

kajian landscape HCV Kalimantan Timur
Avoid area sebagai wilayah yang harus dipertahankan untuk tidak dikonversi.

Kontribusi Ekonomi dan Dampak Lingkungan Sektor Sawit


Luasan izin perkebunan sawit di Indonesia diperkirakan melebih dari 20 juta hektar sedangkan luasan tanaman berdasarkan data BPS tahun 2020 adalah 14,8 juta hektar, jauh lebih luas dari lahan padi 8,7 juta hektar. Dari luasan tersebut produksi CPO Indonesia adalah 47,4 juta ton di tahun 2021 sedangkan tahun 2020 51,8 juta hektar.

Dalam sistem tata ruang di Indonesia, kawasan yang dibangun berada dalam kawasan di luar kawasan lindung seperti Taman Nasional, Suaka Alam atau Hutan Lindung serta terdapat kawasan Hutan Produksi yang diperuntukkan untuk sektor kehutanan seperti HPH, HTI atau Hutan Kemasyarakatan. Di luar kawasan itu terdapat Area Penggunaan Lain (APL) yang diperuntukkan untuk pembangunan seperti pertanian, perkebunan, pemukiman dan fasilitas.

Sebagai contoh bisa kita lihat provinsi Kalimantan Barat, dimana luasan APL yang merupakan lahan yang bisa dikembangkan untuk pembangunan di Kalimantan Barat dengan luas 6,5 juta hektar. Berdasarkan data tutupan lahan KLHK luasan perkebunan mencapai hampir 2 juta hektar (1,91 juta ha). Luasan ini dibandingkan luas sawah hanya 132 ribu hektar atau juga luasan Pertanian Lahan Kering hanya 200 ribu hektar. Dengan luasan seperti itu Apakah kontribusi ekonomi sektor ini terhadap PAD sebesar wilayahnya? Apakah sebanding dengan dampak lingkungan nya?

Sisa kawasan APL lainnya hampir tidak lagi memiliki hutan dan hanya menyisakan hutan di wilayah lindung atau wilayah lain yang masuk moratorium perijinan kawasan.

Kontribusi Ekonomi

Pada tingkat nasional kontribusi APBN sektor sawit diperkirakan hanya 10 persen, sedangkan dibandingkan sektor non migas lain kontribusi ekspor sawit hanya 14%. Kontribusi sawit diperkirakan penyumbang 3,5% PDB Indonesia.

Salah satu provinsi dengan luasan sawit terbesar Riau, menyebutkan di tahun 2019 diperkirakan 1 juta hektar sawit terdaftar yang belum melakukan pembayaran pajak dari data 2,4 juta hektar sawit yang didominasi PBS. Perkiraan pajak PBB sawit saja hanya sepertiga dari kalkulasi lahan yang terdaftar. Diperkirakan untuk Riau saja kehilangan sumbangan pajak dari sawit sebesar 107 triliun karena perkebunan ilegal yang tidak terdaftar, selain itu memang dikabarkan bahwa kontribusi ke PAD masih sangat kecil.

Awal tahun 2022 ditandai dengan peningkatan inflasi yang disebabkan kenaikan harga bahan pangan, dimana salah satunya adalah minyak goreng. Sebuah ironi besar karena sebagai penghasil sawit terbesar di dunia Indonesia tidak mampu memastikan stabilitas harga. Misalpun harga CPO di dunia sedang mengalami peningkatan, tetapi seharusnya ada mekanisme dimana hasil bumi yang ditanam ditanah negara ini mampu memberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya pengusaha perkebunan.

Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan sawit diperkirakan memang sangat besar, karena wilayah yang dulunya hutan di Kalimantan dan Sumatera kemudian diubah menjadi sawit. Dampaknya dapat dilihat terkait dengan kondisi kawasan yang dulunya berhutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Adapun dampak lingkungan dari sawit yang ditanam di wilayah yang dulunya merupakan kawasan hutan antara lain

  • Degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati: hutan yang menjadi sawit tidak lagi bisa menjadi habitat dari satwa liar, misalnya gajah dan harimau di Sumatera, orangutan di Kalimantan.
  • Menurunnya kondisi hidrologi kawasan: daya serak air serta kemampuan menahan air tanaman sawit berbeda dengan hutan yang mampu menyerap air serta menahan laju infiltrasi lebih baik. Akibatnya limpasan permukaan lebih tinggi dan berpotensi
  • Menurunnya kondisi ekosistem: ekosistem yang ada seperti lahan basah-gambut atau mangrove akan mengalami degradasi dengan adanya perkebunan.
  • Menurunnya kondisi tanah: kondisi tanah akan terpengaruh dengan adanya perubahan dan rekayasa untuk tanaman sawit, belum lagi ditambah kegiatan pemupukan yang menggunakan pupuk non organik.

Kompensasi dan Offset

Salah satu wacana yang muncul untuk menjamin harga minyak goreng adalah subsidi pemerintah, yang pastinya akan membebani keuangan negara. Dengan dampak yang besar ada lingkungan maka pembebanan seharusnya masuk pada kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari perkebunan sawit yang sudah menjadi industri terbesar dan terluas di Indonesia.

Sedangkan untuk aspek lingkungan untuk membantu mengatasi masalah bisa dilakukan dengan melakukan program pemulihan DAS dan pemulihan kawasan hutan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pembiayaan dari usaha perkebunan itu sendiri. Pilihan yang paling masuk akal mengingat dampak yang disebabkan oleh industri perkebunan sawit adalah menerapkan kompensasi dan prinsip mitigasi offset.

Kompensasi seharusnya dilakukan pada kegiatan yang memberikan dampak lingkungan, kompensasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip dan hirarki mitigasi.

Perlunya Keseriusan Dalam Penerapan Kebijakan Lingkungan Hidup


Baru-baru saja secara beruntun terjadi bencana lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari banjir besar di Kalimantan Selatan dengan meluapnya sungai Martapura, banjir di Mahulu, Berau dan tentunya tanah longsor di banyak lokasi di Jawa. Saya percaya kesemua bencana itu dapat dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ketika kita bicara kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, saya selalu merasa bahwa payung kebijakan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah sangat banyak. Mulai dari kebijakan makro skala nasional dan daerah misalnya kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis sampai pada keharusan penerapan di skala operasional atau AMDAL. Belum lagi kebijakan sektoral yang pada semua lini dipayungi dengan kebijakan lingkungan hidup.

Tapi mengapa permasalahan lingkungan hidup terus berjalan dan tentu saja kerugian yang dialami tidaklah sedikit dimana ribuan rumah dan penduduk di banjir Kalsel terdampak. Salah satu yang terjadi adalah lemahnya pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup. Ambil contoh KLHS sebagai screening awal kebijakan mulai dari RTRW dan RPJM mulai dari nasional, provinsi sampai kabupaten. Saya yang pernah mendampingi pelaksanaan KLHS mulai dari Papua sampai Kalimantan melihat ada banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya mulai dari banyaknya daerah yang melakukan KLHS hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban, sehingga mutu dan hasil kajian akan sangat rendah. Untuk yang bekerja dengan AMDAL pasti menyadari bahwa kebanyakan AMDAL hanya berhenti pada penyusunan dokumen. Misalnya saja mengenai AMDAL pertambangan batubara yang mengatur kualitas air dan pengelolaan bekas wilayah tambang, sesudah operasional, tidak banyak pengecekan untuk memastikan ini sesuai dengan AMDAL-nya.

Kebijakan lingkungan lainnya yang belum diterapkan adalah kebijakan perlindungan hutan, meskipun ada kebijakan untuk penurunan emisi mulai dari nasional sampai daerah, sangat jarang ditemukan roadmap yang sangat detail mengenai bagaimana ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertanyaan lain misalnya jika penyebab emisi gas rumah kaca adalah perubahan land use hutan menjadi non hutan, maka berapa banyak daerah yang mampu menetapkan batas-batas konversi kawasan hutan. Apakah nantinya akan memberikan ijin di di kawasan berhutan di APL? Padahal luasan sawit di Sumater dan Kalimantan sudah belasan juta hektar.

Hari lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari perlindungan satwa, akan tetapi kebijakan mengenai perlindungan satwa sepertinya masih belum optimal. Indonesia masih menjadi sumber perdagangan satwa liar di dunia dan ini akan menjadi penyebab utama kehilangan dan kepunahan spesies di Indonesia.

Peta di atas menunjukkan bahwa luas kota Jambi hanya 1/10 dari luas kebun sawit di sekitar-nya.
Tambang terbuka batubara, lebih luas dari Kota Tengarong dan akumulasi tambang -nya akan lebih luas dari wilayah terbangun kota Samarinda.

Secara kasat mata kebijakan lingkungan hidup memang tercermin dari bagaimana kita mengelola kawasannya. Tentu saja tidak bisa dengan dalih pembangunan semua kawasan yang punya nilai lingkungan besar seperti hutan, gambut, mangrove atau laut diperbolehkan untuk dibuka. Kita kadang harus belajar dari negara lain, misalnya Finlandia yang makmur saja masih memiliki 72% hutan di daratannya.

Keseriusan dalam penanganan lingkungan tentunya bukan agenda jangka pendek, kita bisa mulai dengan serius melakukan penerapan kebijakan lingkungan hidup jika ingin menjadi negara makmur suatu saat nanti.

Peluang Penggunaan Konsep Greenprint Pada Rencana Tata Ruang Perkotaan


Untuk kita yang tinggal di Jakarta, taman dan ruang terbuka hijau merupakan area yang sulit ditemukan. Tidak heran ruang terbuka hijau yang tersisa seperti wilayah Gelora Senayan atau wilayah sisa mangrove di Pantai Indah Kapuk selalu ramai dikunjungi oleh penduduk Jakarta. Apalagi jika berbicara mengenai area yang masih menyisakan satwa liar, hampir tidak ada lagi kawasan alami di Jakarta sebagian kawasan ini sudah tidak memiliki satwa liar. Karena itu menjumpai satwa seperti capung yang merupakan indikator kondisi lingkungan baik tidak akan ada lagi di Jakarta, yang tersisa mungkin hanya burung-burung dan itupun jenis burung kecil seperti burung-gereja erasia (Passer montanus).

Salah satu konsep perencanaan strategis konservasi kawasan perkotaan yang diinisiasi oleh TNC adalah konsep greenprint. Perencanaan yang dilakukan menilai baik sisi ekonomi dan sosial dari taman dan ruang terbuka hijau lainnya. Ini akan memberikan keuntungan termasuk peluang sebagai kawasan rekreasi untuk taman, jalur hijau, perlindungan habitat dan konektivitasnya termasuk jasa-jasa lingkungan air dan ketahanan atas pengaruh perubahan iklim.

Konsep greenprint ini memadukan antara pendekatan berbasis multipihak dimana masyarakat diminta pendapatnya mengenai kawasan yang penting untuk dijaga sebagai kawasan hijau, sisi budaya lokal dan juga pendekatan berbasis ilmiah. Pihak yang diikut sertakan mulai dari masyarakat umum, koorporasi sampai pemerintahan.

Tahap awal kajian bisa dilakukan dengan memetakan kawasan terbuka yang ada dan menghubungkan dengan informasi lain seperti kepemilikan. Kegiatan ini termasuk memetakan kawasan penting dari sisi lingkungan yang memerlukan perhatian dan perlu dijaga kelestariannya seperti sepadan sungai, situ dan hutan/taman kota yang ada. Kemudian dapat disusun kebijakan yang ditujukan untuk menjaga kawasan ini termasuk dilakukan proses trade off jika memang dibutuhkan.

Berikut ringkasan pengertian greenprint.

Adapun beberapa pembelajaran dari tempat lain yang melakukan perencanaan kawasan perkotaan dengan pendekatan greenprint dapat dilihat dari Melbourne: https://www.nature.org/en-us/what-we-do/our-insights/perspectives/living-melbourne–greenprinting-a-metropolis/

Dari flow di atas terlihat framework dimulai dengan perencanaan berbasis lingkungan yang memasukkan aspek perencanaan berbasis manusia, alam dan sumberdaya alam / natural capital. Ini kemudian menjadi dasar dalam menyusun visi dan misi yang lebih memperhatikan aspek lingkungan. Follow up nya adalah serangkaian aksi mulai dari usaha melindungi dan memperbaiki kualitas habitat kawasan, menentukan target, scalling up, kolabirasi, membangun alat-alat bantu perencanaan dan monev serta penggalangan dana.

Peluang Penerapan Greenprint

Kota besar seperti Jakarta saat ini diperkirakan hanya menyisakan kawasan ruang terbuka hijau sekitar 10% saja dari total luasan. Angka ini jauh dari kebijakan tata ruang yang merekomendasikan 30% kawasan perkotaan merupakan kawasan ruang terbuka hijau. Pada PP no 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja angka 30% kemudian dibagi atas 20% kawasan RTH publik dan 10% kawasan ruang terbuka hijau milik private/swasta/koorporate.

Blok tersisa RTH DKI Jakarta di Taman Mini, Kebun Binatang Ragunan, Mangrove Pantai Kapuk dan Senayan.

Penerapan greenprint di Jakarta masih memungkinkan dengan menyusun sebuah kajian detail berbasis ilmiah dan tentunya pelibatan publik. Misalnya bagaimana menyusun sebuah pola ruang terbuka hijau yang mampu melayani semua kawasan dengan baik, atau menyusun rencana restorasi pada kawasan sensitif secara jasa lingkungan dan rawan bencana untuk menjadi kawasan lindung.

Konsep greenprint bisa dilakukan dengan melakukan beberapa kajian, misalnya:

  1. Kajian Terkait Bencana Lingkungan misalnya Banjir
  2. Kajian Terkait Mitigasi Polusi Udara
  3. Kajian Terkait Pengembalian Fungsi Kawasan untuk Satwa
  4. Kajian Kebijakan termasuk trade off

Salah satu tantangan terbesar di pendekatan yang akan dilakukan adalah menggali peluang kolaborasi terbaik. Bahkan pada wilayah dengan sistem dan kerjasama yang baik, kolaborasi antara multipihak selalu menjadi tantangan awal. Akan banyak upaya yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan semua effort sehingga perencanaan kota berbasis lingkungan bisa berjalan.

Konsep kerjasama multipihak dan penggunaan tools dalam kerangka greenprint di New York: https://www.nycgovparks.org/download/summit-2016-DEPTNC-maxwell-emily.pdf

Ada banyak kajian lain yang bisa dilakukan, ini bisa juga dikaitkan dengan pemanfaatan sisa-sisa areal pekarangan per persil bangunan dengan melakukan penanaman tanaman tertentu yang memiliki fungsi hidrologis dan menjadi habitat burung atau satwa lain.

Kota-kota lain di Indonesia tidak lebih baik dari Jakarta, misalnya Semarang diperkirakan RTH publik yang tersisa hanya 3,97% saja. Kota lain seperti Bandung hanya 12,2 persen, Surabaya 21 % dan Cirebon hanya 10%. Dengan kondisi kawasan RTH kota-kota di Jawa yang semuanya dibawah target tata ruang, maka penerapan greenprint dapat dilakukan untuk memaksimalkan kawasan yang ada atau menambah kawasan melalui kegiatan trade off.

Peluang Penerapan di Luar Jawa

Satu fakta yang menarik di seluruh Indonesia adalah kota-kota terbangun secara organik. Mungkin hanya beberapa kota yang dibangun dengan blue print perencanaan yang baik, ambil contoh Palangkaraya yang pernah direncanakan sebagai Ibu Kota sejak tahun 50-an. Pembangunan yang organik ini dalam prakteknya akan semakin menggusur kawasan-kawasan hijau di tengah kota dan beralih menjadi kawasan terbangun untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Kota-kota rentan banjir seperti Samarinda hanya 5% dan Banjarmasin yang baru saja tergenang hanya memiliki kawasan RTH dibawah 5% dari luas daratannya.

Konsep greenprint menjadi menarik untuk dilakukan pada wilayah-wilayah di luar Jakarta yang masih memiliki luasan kawasan terbangun yang lebih sedikit. Yang terpenting untuk kawasan diluar Jawa adalah untuk belajar dari minimnya perencanaan kota berbasis lingkungan hidup, selain akan sangat nyaman jika bisa memiliki kota yang hijau, masih bisa melihat taman dan hutan kota dengan kupu-kupu dan burung serta satwa lain berkeliaran.

Langkanya Data Spatial Biodiversity di Indonesia


Salah kesulitan dalam kajian spatial terkait konservasi di Indonesia adalah langkanya data spatial terkait distribusi kekayaan spesies di Indonesia. Padahal informasi ini dibutuhkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan keanekaragaman hahati, termasuk diantaranya peta sebabaran baik distribusi habitat maupun distribusi permasalahan seperti kejadian perburuan/poaching atau konflik antara manusia dan satwa.

Berdasarkan kutipan dari Buku Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia (Bappenas, 2004), beberapa kekurangan dari sistem informasi yang sudah ada diantaranya ialah:

  • Lokasi: data yang digali dan ditampilkan belum menyeluruh atau hanya pada lokasi-lokasi tertentu saja. Biasanya hanya lokasi yang potensial mendapatkan bantuan proyek dalam bentuk hibah maupun pinjaman luar negeri;
  • Jenis data: kedalaman dan cakupannya tidak sama, tergantung dari kebutuhan instansi masing-masing;
  • Waktu: tidak berkesinambungan;dan
  • Sumber data: kebanyakan diambil secara langsung di lapangan (primer), data sekunder atau dalam bentuk statistik sulit diperoleh.

Bagi para pengambil keputusan, informasi yang terintegrasi sangat berharga untuk digunakan sebagai dasar intervensi maupun usulan penyelesaian suatu masalah yang prioritas dilakukan.

Dalam kontek perencanaan, data biodiversity dapat digunakan untuk beberapa hal dibawah ini:

  1. Menyusun dokumen RTRW, khususnya penentuan wilayah Kawasan Strategis Propinsi atau Kabupaten untuk Lingkungan Hidup.
  2. Penyusunan Dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah.
  3. Penyusunan Rencana Aksi Daerah Keanekaregaman Hayati.

Sumber-sumber data saat ini

Salah satu sumber data global yang menampilkan distribusi keanekaragaman hayati adalah data IUCN. Dimana IUCN memaparkan deskripsi serta distribusi dari beberapa satwa yang masuk dalam kategori red list.

Selengkapnya dapat dilihat di: https://www.iucnredlist.org/

Secara spesifik terkait biodiversity juga dapat dilihat dari lembaga yang bekerja di bidang konservasi, misalnya terkait ekoregion dapat dilihat dalam data yang ditampilkan oleh TNC melalui website: https://maps.tnc.org/

Beberapa lembaga yang bekerja dibidang konservasi species tertentu juga menampilkan data spatial-nya misalnya dalam untuk spesies khusus burung,maka dapat mengakses data sebaran ekosistem burung melalui data dari Birdlife: http://datazone.birdlife.org/site/mapsearch

Salah satu data yang pernah saya lihat adalah data orangutan yang dikeluarkan oleh PHVA ditahun 2016. Ini menggambarkan habitat orangutan di Indonesia. Sayang sekali saya tidak menemukan link untuk mendapatkan data ini.

Bagaimana dengan data tanaman? Salah satu website yang menampilkan data spatial tanaman global Ecotope yang dapat diakses melalui link: http://ecotope.org/anthromes/biodiversity/plants/maps/

Resiko dan Tantangan

Data general memang tidak memiliki resiko untuk diakses oleh publik secara langsung. Berbeda dengan data detail spesies yang memiliki resiko untuk dimana dapat saja disalahgunakan untuk kepentingan yang justru melawan aspek konservasi.

Tentu saja menampilkan data spatial lokasi habitat memiliki resiko tersendiri, misalnya data tersebut bisa disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan yang merusak konservasi. Data spatial detail mengenai lokasi biodiversity bisa digunakan oleh pihak poacher (pemburu) untuk mengetahui lokasi buruannya.

Karena itu perlu dikembangkan sebuah upaya untuk memastikan bahwa data detail hanya dapat diakses oleh pihak yang terdata secara jelas.

Pemahaman Pentingnya Keanekaragaman Hayati Dapat Menjadi Kunci Suksesnya Konservasi


IMG_0502
Bekantan (Proboscis Monkey) asli Indonesia yang ada di Kebun Binatang Singapore. Satu waktu mungkin hanya tersisa di kebun binatang, jika tidak dijaga.

Pertanyaan ini muncul ketika saya membaca kembali artikel  tentang wilderness map global yang menggambarkan kondisi kawasan yang benar-benar masih sangat baik. Baca: https://www.theguardian.com/environment/2018/oct/31/five-countries-hold-70-of-worlds-last-wildernesses-map-reveals 

Secara detail bisa dilihat juga di: https://www.nature.com/articles/d41586-018-07183-6 

1048
Peta Global Wilderness Areas

Indonesia tidak masuk dalam negara yang masih menyisakan kawasan yang belum terjamah yang merupakan sisa kawasan di dunia yang masih memiliki biodiversity yang tinggi.

Dalam banyak diskusi tentang pembangunan berkelanjutan dan konservasi, saya sering mendengar beberapa pertanyaan seperti. “Mana yang lebih penting antara pembangunan dan konservasi?” atau “Kita harus mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan orangutan!”. Kesimpulan yang saya ambil adalah rendahnya pemahaman mengenai kepentingan mempertahankan keberlangsungan biodiversity di masyarakat.

Tulisan di The Guardian sangat menarik untuk dibaca, sebuah tulisan semi science yang menggambarkan pentingnya biodiversity: https://www.theguardian.com/news/2018/mar/12/what-is-biodiversity-and-why-does-it-matter-to-us 

Menilik buku-buku sekolah keponakan saya, pemahaman akan pentingnya keanekaragaman hayati masih belum tersampaikan. Pelajaran biologi yang saya lihat lebih mengedepankan hapalan akan taksonomi atau pengertian rumit tentang ekosistem. Padahal pemahaman mengenai pentingnya orangutan misalnya akan menjadi sebuah alur cerita yang menarik. Orangutan, burung dan kelelawar memiliki fungsi sebagai penyebar bijih yang sangat efektif, diciptakan Tuhan dengan menjadi seperti petani yang menjadi perantara tumbuhnya pohon-pohon baru. Seperti pertanyaan anak saya dipagi hari tentang kenapa banyak sisa-sisa jambu biji dibawah pohon, dan saya menjawab bahwa kelelawar menyebarkan bijih untuk kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Semut “sipekerja keras” merupakan agen pembersih yang laur biasa, tanpa semut maka proses dekomposisi sampah akan menjadi sulit. Biodiversity lainnya memberikan sumbangsih luar biasa terkait dengan dunai kedokteran, obat-obatan.

Biodiversity juga dapat dikaitkan dengan persediaan suplai makanan untuk manusia, dulunya sapi dan kambing juga merupakan hewan liar yang kemudian di domestikasi menjadi peliharaan. Ketik sapi atau kambing terkena wabah global misalnya, mungkin satu waktu rusa atau binatang liar lainnya bisa menjadi pilihan persediaan makanan.

Untuk menjaga biodiversity, maka menjaga keutuhan kawasan kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan Suaka Margasatwa menjadi kunci. Menjaga kawasan hutan sebagai habitat hewan-hewan tersebut akan menjaga sebuah siklus kehidupan, dimana manusia yang berada dalam puncak piramida memiliki kewajiban menjaga siklus ini.