Kontribusi Ekonomi dan Dampak Lingkungan Sektor Sawit


Luasan izin perkebunan sawit di Indonesia diperkirakan melebih dari 20 juta hektar sedangkan luasan tanaman berdasarkan data BPS tahun 2020 adalah 14,8 juta hektar, jauh lebih luas dari lahan padi 8,7 juta hektar. Dari luasan tersebut produksi CPO Indonesia adalah 47,4 juta ton di tahun 2021 sedangkan tahun 2020 51,8 juta hektar.

Dalam sistem tata ruang di Indonesia, kawasan yang dibangun berada dalam kawasan di luar kawasan lindung seperti Taman Nasional, Suaka Alam atau Hutan Lindung serta terdapat kawasan Hutan Produksi yang diperuntukkan untuk sektor kehutanan seperti HPH, HTI atau Hutan Kemasyarakatan. Di luar kawasan itu terdapat Area Penggunaan Lain (APL) yang diperuntukkan untuk pembangunan seperti pertanian, perkebunan, pemukiman dan fasilitas.

Sebagai contoh bisa kita lihat provinsi Kalimantan Barat, dimana luasan APL yang merupakan lahan yang bisa dikembangkan untuk pembangunan di Kalimantan Barat dengan luas 6,5 juta hektar. Berdasarkan data tutupan lahan KLHK luasan perkebunan mencapai hampir 2 juta hektar (1,91 juta ha). Luasan ini dibandingkan luas sawah hanya 132 ribu hektar atau juga luasan Pertanian Lahan Kering hanya 200 ribu hektar. Dengan luasan seperti itu Apakah kontribusi ekonomi sektor ini terhadap PAD sebesar wilayahnya? Apakah sebanding dengan dampak lingkungan nya?

Sisa kawasan APL lainnya hampir tidak lagi memiliki hutan dan hanya menyisakan hutan di wilayah lindung atau wilayah lain yang masuk moratorium perijinan kawasan.

Kontribusi Ekonomi

Pada tingkat nasional kontribusi APBN sektor sawit diperkirakan hanya 10 persen, sedangkan dibandingkan sektor non migas lain kontribusi ekspor sawit hanya 14%. Kontribusi sawit diperkirakan penyumbang 3,5% PDB Indonesia.

Salah satu provinsi dengan luasan sawit terbesar Riau, menyebutkan di tahun 2019 diperkirakan 1 juta hektar sawit terdaftar yang belum melakukan pembayaran pajak dari data 2,4 juta hektar sawit yang didominasi PBS. Perkiraan pajak PBB sawit saja hanya sepertiga dari kalkulasi lahan yang terdaftar. Diperkirakan untuk Riau saja kehilangan sumbangan pajak dari sawit sebesar 107 triliun karena perkebunan ilegal yang tidak terdaftar, selain itu memang dikabarkan bahwa kontribusi ke PAD masih sangat kecil.

Awal tahun 2022 ditandai dengan peningkatan inflasi yang disebabkan kenaikan harga bahan pangan, dimana salah satunya adalah minyak goreng. Sebuah ironi besar karena sebagai penghasil sawit terbesar di dunia Indonesia tidak mampu memastikan stabilitas harga. Misalpun harga CPO di dunia sedang mengalami peningkatan, tetapi seharusnya ada mekanisme dimana hasil bumi yang ditanam ditanah negara ini mampu memberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya pengusaha perkebunan.

Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan sawit diperkirakan memang sangat besar, karena wilayah yang dulunya hutan di Kalimantan dan Sumatera kemudian diubah menjadi sawit. Dampaknya dapat dilihat terkait dengan kondisi kawasan yang dulunya berhutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Adapun dampak lingkungan dari sawit yang ditanam di wilayah yang dulunya merupakan kawasan hutan antara lain

  • Degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati: hutan yang menjadi sawit tidak lagi bisa menjadi habitat dari satwa liar, misalnya gajah dan harimau di Sumatera, orangutan di Kalimantan.
  • Menurunnya kondisi hidrologi kawasan: daya serak air serta kemampuan menahan air tanaman sawit berbeda dengan hutan yang mampu menyerap air serta menahan laju infiltrasi lebih baik. Akibatnya limpasan permukaan lebih tinggi dan berpotensi
  • Menurunnya kondisi ekosistem: ekosistem yang ada seperti lahan basah-gambut atau mangrove akan mengalami degradasi dengan adanya perkebunan.
  • Menurunnya kondisi tanah: kondisi tanah akan terpengaruh dengan adanya perubahan dan rekayasa untuk tanaman sawit, belum lagi ditambah kegiatan pemupukan yang menggunakan pupuk non organik.

Kompensasi dan Offset

Salah satu wacana yang muncul untuk menjamin harga minyak goreng adalah subsidi pemerintah, yang pastinya akan membebani keuangan negara. Dengan dampak yang besar ada lingkungan maka pembebanan seharusnya masuk pada kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari perkebunan sawit yang sudah menjadi industri terbesar dan terluas di Indonesia.

Sedangkan untuk aspek lingkungan untuk membantu mengatasi masalah bisa dilakukan dengan melakukan program pemulihan DAS dan pemulihan kawasan hutan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pembiayaan dari usaha perkebunan itu sendiri. Pilihan yang paling masuk akal mengingat dampak yang disebabkan oleh industri perkebunan sawit adalah menerapkan kompensasi dan prinsip mitigasi offset.

Kompensasi seharusnya dilakukan pada kegiatan yang memberikan dampak lingkungan, kompensasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip dan hirarki mitigasi.

Moratorium Sawit dan Ketersediaan Lahan


Moratorium Sawit berdasarkan Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit akan segera berakhir 19 September tahun ini. Pertanyaan yang muncul apakah akan diperpanjang atau tidak?

Jika tidak diperpanjang maka akan bermunculan izin-izin baru yang, sementara masih tersisa permasalahan pada izin-izin yang sudah ada saat ini. Ambil contoh mengenai produktivitas lahan yang masih rendah serta masih banyaknya konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

Fakta yang menarik adalah perkebunan sawit merupakan komoditas dominan yang dengan luas sekitar 16,8 juta hektar (data 2019 release 2020). Luas izin lokasi adalah 20 juta hektar sedangkan izin perkebunan yang tercatat di Kementan adalah 14,31 juta hektar (kata data 2021). Tanaman sawit sesbagai tanaman budidaya hanya boleh ditanam di kawasan non kehutanan dimana zonasi ini memiliki luas 67,40 juta hektar (Renstra KLHK 2020). Pada kawasan APL ini terdapat 8,2 juta hektar yang masih memiliki tutupan hutan.

Jika dikalkulasi sederhana misalnya luas izin mencapai 20 juta hektar dibanding luas APL yang 67,4 maka sawit mendominasi APL kita sekitar 29%, sedangkan jika menggunakan luas tertanam maka sawit mendominasi tutupan APL sebesar 25%. Lalu pertanyaannya lainnya adalah bagaimana kontribusi sawit ke APBN? Industri sawit diperkirakan memiliki kontribusi ke APBN 10%. Apakah angka kontribusi ini besar? Berdasarkan hitungan luas lahan terpakai, maka angka ini tidak besar, karena prosentase luasan terpakai untuk sawit 3 kali dari kontribusinya.

Salah satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak seluruh APL semestinya dikelola sampai habis, harus disisakan kawasan-kawasan yang perlu untuk perlindungan baik ini terkait dengan jasa ekosistem penyediaan air dan udara atau terkait dengan mitigasi bencana.

Secara umum misalnya melihat ketersediaan lahan, kawasan untuk ekspansi sawit sudah tidak tersedia lagi di Sumatera dan Kalimantan. Papua dan kepulauan di Indonesia timur mungkin masih menyisakan wilayah APL yang belum terisi kegiatan pembangunan lainnya. Jangan lupa bahwa kawasan Indonesia Timur seperti Papua merupakan wilayah dengan ciri kepemilikan lahan yang berbeda terkait penguasaan oleh adat. Tetapi tentu saja tidak perlu gegabah meng-konversi sisa APL di Indonesia untuk ekspansi sawit lebih lanjut, ada 8,2 juta hektar hutan di APL yang perlu diselamatkan, ada banyak kawasan APL yang juga merupakan kawasan penyedia jasa lingkungan air, penahan bencana serta kawasan kelola masyarakat yang perlu dilindungi dari ekspansi perkebunan sawit.

Peningkatan Produktivitas dan Hilirisasi CPO

Peningkatan produktivitas kebun per hektar masih menjadi hal penting dilakukan dibandingkan menambahkan luas ijin. Dengan rata-rata perkebunan 15-17 ton per hektar pertahun masih jauh dengan produktivitas di Malaysia yang mencapai 30 ton perhektar pertahun. Ada banyak permasalahan terkait produktivitas yang perlu dibenahi sebelum memikirkan ekspansi luasan lahan.

Hilirisasi CPO merupakan salah satu PR besar yang harus dilakukan saat ini. Kontribusi perkebunan sawit mustinya menjadi sebuah kontribusi industri sawit dimana kebijakan hilirisasi diperlukan untuk peningkatan nilai tambah.

Tahun 2020 diperkirakan produksi CPO sebesar 56 juta ton dan 34 juta ton diantaranya di ekspor keluar negeri. Berarti hampi5 70% CPO dijual keluar dalam bentuk bahan mentah. Sementara diperkirakan hilirisasi sawit mampu menghasilkan sekitar 50 varian produk mulai dari kebutuhan untuk bahan bakar, makanan, kesehatan dan produk turunan lainnya.

Pilihan Komoditas Lainnya

Tanah Indonesia yang subur tentunya tidak hanya cocok untuk perkebunan sawit, ada banyak komoditas lain yang bisa menjadi pilihan dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi, misalnya kakao yang jumlah produksi pertahun bisa 3,5 kg tetapi harga per kilo-nya Rp. 30.000 dibandingkan TBS sawit dikisaran Rp. 2000-3000 rupiah. Komoditas lainnya tidak kalah banyak dan menarik, misal saja kopi, lada atau bahkan tanaman hotikultura yang nilai ekonominya tidak kalah dengan sawit.

Kalau ingin membandingkan secara spatial, bisa cek di google map dan bandingkan luas terbangun Ibukota Kalimantan Selatan dengan luas kebun sawit di wilayah yang berdekatan.

Apa perlu menambah izin-izin baru untuk sawit? dengan perbandingan peta di atas saja sudah satu blok kawasan perkebunan luasnya beberapa kali luasan terbangun Ibu Kota provinsi. Belum lagi mengingat kemungkinan perubahan tutupan hutan dan sawit akan menjadi penyebab bencana seperti banjir.

Memperpanjang moratorium izin sawit akan menjadi pilihan paling masuk akal.

Perlunya Keseriusan Dalam Penerapan Kebijakan Lingkungan Hidup


Baru-baru saja secara beruntun terjadi bencana lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari banjir besar di Kalimantan Selatan dengan meluapnya sungai Martapura, banjir di Mahulu, Berau dan tentunya tanah longsor di banyak lokasi di Jawa. Saya percaya kesemua bencana itu dapat dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ketika kita bicara kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, saya selalu merasa bahwa payung kebijakan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah sangat banyak. Mulai dari kebijakan makro skala nasional dan daerah misalnya kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis sampai pada keharusan penerapan di skala operasional atau AMDAL. Belum lagi kebijakan sektoral yang pada semua lini dipayungi dengan kebijakan lingkungan hidup.

Tapi mengapa permasalahan lingkungan hidup terus berjalan dan tentu saja kerugian yang dialami tidaklah sedikit dimana ribuan rumah dan penduduk di banjir Kalsel terdampak. Salah satu yang terjadi adalah lemahnya pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup. Ambil contoh KLHS sebagai screening awal kebijakan mulai dari RTRW dan RPJM mulai dari nasional, provinsi sampai kabupaten. Saya yang pernah mendampingi pelaksanaan KLHS mulai dari Papua sampai Kalimantan melihat ada banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya mulai dari banyaknya daerah yang melakukan KLHS hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban, sehingga mutu dan hasil kajian akan sangat rendah. Untuk yang bekerja dengan AMDAL pasti menyadari bahwa kebanyakan AMDAL hanya berhenti pada penyusunan dokumen. Misalnya saja mengenai AMDAL pertambangan batubara yang mengatur kualitas air dan pengelolaan bekas wilayah tambang, sesudah operasional, tidak banyak pengecekan untuk memastikan ini sesuai dengan AMDAL-nya.

Kebijakan lingkungan lainnya yang belum diterapkan adalah kebijakan perlindungan hutan, meskipun ada kebijakan untuk penurunan emisi mulai dari nasional sampai daerah, sangat jarang ditemukan roadmap yang sangat detail mengenai bagaimana ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertanyaan lain misalnya jika penyebab emisi gas rumah kaca adalah perubahan land use hutan menjadi non hutan, maka berapa banyak daerah yang mampu menetapkan batas-batas konversi kawasan hutan. Apakah nantinya akan memberikan ijin di di kawasan berhutan di APL? Padahal luasan sawit di Sumater dan Kalimantan sudah belasan juta hektar.

Hari lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari perlindungan satwa, akan tetapi kebijakan mengenai perlindungan satwa sepertinya masih belum optimal. Indonesia masih menjadi sumber perdagangan satwa liar di dunia dan ini akan menjadi penyebab utama kehilangan dan kepunahan spesies di Indonesia.

Peta di atas menunjukkan bahwa luas kota Jambi hanya 1/10 dari luas kebun sawit di sekitar-nya.
Tambang terbuka batubara, lebih luas dari Kota Tengarong dan akumulasi tambang -nya akan lebih luas dari wilayah terbangun kota Samarinda.

Secara kasat mata kebijakan lingkungan hidup memang tercermin dari bagaimana kita mengelola kawasannya. Tentu saja tidak bisa dengan dalih pembangunan semua kawasan yang punya nilai lingkungan besar seperti hutan, gambut, mangrove atau laut diperbolehkan untuk dibuka. Kita kadang harus belajar dari negara lain, misalnya Finlandia yang makmur saja masih memiliki 72% hutan di daratannya.

Keseriusan dalam penanganan lingkungan tentunya bukan agenda jangka pendek, kita bisa mulai dengan serius melakukan penerapan kebijakan lingkungan hidup jika ingin menjadi negara makmur suatu saat nanti.

Perambahan dan Perlunya Perbaikan Pada Delineasi Izin HGU Perkebunan Sawit


Salah satu hal yang sangat disayangkan dari perizinan perkebunan sawit di Indonesia adalah pemetaan kawasan HGU yang dilakukan dengan mengeluarkan wilayah sepadan sungai dari konsesi konsesi besar. Untuk perusahaan ini memang sangat menguntungkan, karena kawasan sepadan sungai berdasarkan regulasi tata ruang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan tidak boleh ditanami.

Salah satu Peta HGU Konsesi di Kalimantan

Pada peta di atas kawasan sungai dikeluarkan dari HGU, dengan dikeluarkannya kawasan ini dari ijin perusahaan, maka perusahaan tentu saja dapat lepas tangan jika ini kemudian dibuka pihak lain.

Pada peta zoom akan terlihat bahwa kawasan yang tidak masuk HGU akan menjadi kawasan yang rentang untuk dibuka baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang merasa bahwa kawasan ini sebagai kawasan kelola baru dengan peluang menanam sawit dan hasilnya dapat ditampung oleh perusahaan.

Buffer Sungai menjadi kawasan di luar konsesi perkebunan

Buffer sungai dan mengeluarkan wilayah dari perijinan seperti melepas kewajiban konsesi untuk menjaga wilayah sepadan sungai. Karena itu regulasi ISPO yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kawasan sepadan sungai menjadi tidak berarti.

Perambahan di wilayah sepadan sungai

Gambar diatas merupakan satu dari banyaknya kejadian dimana kawasan sepadan sungai bukan merupakan wilayah kelola konsesi. Jadi ketika ada yang menggunduli kawasan sepadan sungai, maka perusahaan bisa lepas dari tanggung jawabnya.

Ini mungkin bisa menjadi bahan pelajaran untuk lembaga pemberi izin HGU, bahwa sebaiknya memberikan izin termasuk pada kawasan buffer sungai dan termasuk kewajiban perusahaannya untuk menjaga kualitas lingkungan sepanjang sepadan sungai.

Perencanaan Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Yuridiksi: Apa Mungkin Berkelanjutan?


Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.

Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.

Yuridiksi Perkebunan Berkelanjutan – Kajian Spatial

Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.

Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.

Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.

Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.

Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi

Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.

Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.

Sawit yang semakin merambah kawasan hutan

Kebakaran Hutan, Tools Online dan Kebijakan Pencegahan


Tahun ini kembali terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, sebuah kejadian tahunan yang buat sebagian yang tidak terpengaruh langsung seperti sebuah berita rutin tahunan. Pada wilayah terpengaruh seperti Riau, Jambi, Kalteng misalnya kejadian ini seperti musibah tahunan yang tidak bisa dielakkan dan membuat frustasi.

Tools Online Yang Tersedia

Sebenarnya terdapat beberapa tools online yang bisa digunakan untuk melakukan pemantauan hotspot, pemerintah misalnya memiliki tools Sipongi.

sipongi_01
Screen Capture Sipongi, 23 September 2019

Sipongi menggunakan citra Terra/Aqua (LAPAN), NPP (LAPAN) dan NOAA (ASMC) dan menampilkan hospot dengan tingkat kepercayaan 80% atau lebih.

Tools di atas memberikan informasi jumlah hotspot di Indonesia, dimana konsep hotspot merupakan titik panas pixel citra satelit yang menunjukkan lokasi dengan intensitas infra red yang tinggi.

“Sebaran hotspot belum tentu kebakaran”

Hal diatas merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan, karena tidak semua hotspot identik dengan kebakaran, karena hotspot merupakan interpretasi citra satelit dan belum menggambarkan peristiwa kebakaran.

Selain Sipongi terdapat juga beberapa tools yang dibangun oleh beberapa non profit seperti Global Forest Watch Fires.

GFW_fires_01
Global Forest Watch Fire, screen capture 23 September 2019.

Berbeda dengan Sipongi, Global Forest Watch Fires menampilkan beberapa hotspot global termasuk khusus untuk Indonesia yang kemungkinan mengacu ke Sipongi. Selain itu GFW Fires juga memunculkan fungsi analisis per negara atau sub-national (provinsi dan kabupaten) dengan menampilkan beberapa layer data seperti konsesi dan status kawasan dan wilayah administrasi.

Report_GFW_02
Hasil analisis dengan GFW Fires- 23 Sept 2019

Hasil kajian di atas dapat diperlakukan sebagai sebuah indikatif berdasarkan overlay hotspot dengan layer lain seperti konsesi.

Kedua tools sebenarnya bisa diakses oleh siapapun untuk membantu memberikan informasi mengenai wilayah hotspot sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan.

Kebijakan Pencegahan

Salah satu sorotan menarik  sebenarnya adalah mempertanyakan kebijakan pencegahan dimana tools ini bisa memberikan ‘sejarah sebaran hotspot’ yang kemudian dapat digunakan untuk membuat kebijakan pencegahan.

Sipongi misalnya memberikan gambaran kondisi hotspot

sipongi_02
Graphik perkembangan hostpot Indonesia. 

sipongi_03
Data per bulan di tahun 2019

Dari data di atas terdapat tren peningkatan di bulan Juli, dimana kemudian aksi pencegahan dapat dilakukan melalui dukungan kebijakan seperti pengecekan lapangan dan kebijakan pencegahan lainnya.

Juga dengan menggunakan GFW-Fires menggambarkan sebaran hotspot di beberapa bulan di Indonesia:

Juni – 5,610

July – 20,047

Agustus – 78,586

September (s/d 23 Sept) – 196,222

Jika ini dilakukan pada tingkat kabupaten sebenarnya trend hotspot dengan kejadian kebakaran cenderung satu arah, sehingga peningkatan jumlah hotspot yang terdeteksi jika di breakdown dalam hitungan mingggu maka proses pencegahan bisa dilakukan dengan menggunakan data hotspot.

Sekali lagi kebijakan pencegahan sebenarnya bisa dilakukan di bulan Juli, sehingga dampak kebakaran di September dapat diminimalkan.

 

 

 

 

 

Pengelolaan DAS dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis


Latar Belakang

  • Peran Sungai dan pengelolaan DAS

Sungai merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat secara umum, sungai merupakan sumber air untuk semua kebutuhan dan sebagai wadah transportasi dimana pengangkutan barang dan manusia dilakukan melalui sungai. Secara umum di Kalimantan sungai merupakan urat nadi masyarakat Kalimantan.

Sungai di Berau juga merupakan satu urat nadi kehidupan masyarakat, secara kasat mata dapat dilihat dari pola pemukiman di kabupaten Berau dimana desa-desa yang ada terdapat di sepanjang sungai.

IUCN_DAS
Peran DAS (sumber: IUCN)

Keterkaitan sungai dan pengelolaan DAS merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, DAS merupakan satuan unit pengelolaan dimana semua unsur mulai dari landscape hutan, pemukiman dan lahan pertanian akan memberikan pengaruh timbal balik.

Sungai memberikan banyak sekali manfaat, gambar berikut berasal dari IUCN 2008 tentang Pay – Establishing payments for watershed services, dimana dalam dokumen tersebut dijelaskan secara detail manfaat sungai dan pentingnya kebijakan PES untuk mendukung perlindungan sungai dan DAS.

WRI_DAS
Enter a caption

Tidak hanya di Berau, hampir di seluruh Indonesia, pengelolaan sungai tidak dilakukan dengan baik. Ambil saja Jakarta  dengan Ciliwung-nya, mulai dari hulu-nya di wilayah Bogor, sungai ini tidak dikelola karena pada wilayah tangkapan air-nya tidak dijaga, akibatnya setiap tahun sungai ini mengalami proses pendangkalan. Penempatan pabrik di sepanjang Ciliwung menjadikan kualitas air tercemar dan memerlukan proses pengolahan yang mahal untuk dijadikan bahan baku PDAM di DKI Jakarta. Pembangunan kota dengan pemukiman yang tidak teratur dimana terdapat pemukiman yang tepat dipinggir sungai menyebabkan proses polusi yang lebih besar dengan adanya limbah domestic dan pendangkalan sungai. Akibat lainnya yang dialami oleh Bogor dan DKI Jakarta sebagai wilayah yang masuk dalam DAS Ciliwung adalah bencana banjir yang menjadi bencana tahunan.

Model pembangunan yang tidak baik itu kemudian ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia, seperti pengelolaan sungai di Brantas yang tidak mengedepankan aspek lingkungan. Sungai-sungai di Berau mulai dikelola dengan tidak memperhitungkan dampak-dampak-nya.

Gambaran umum sungai dan DAS di Kabupaten Berau dan Kaltim pada umunya.

Kabupaten Berau terdiri atas beberapa DAS dengan DAS Berau sebagai DAS yang paling besar. DAS Berau terdiri atas 3 sungai utama yaitu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang kemudian menyatu menjadi sungai Berau di Tanjung Redeb.

Sungai Kelay memiliki hulu di wilayah Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang terletak di perbatasan antara Berau dan Kutai Timur, sungai ini bermuara di Tanjung Redeb

Sungai Segah bertemu dengan sungai Kelay menjadi sungai Berau dan kemudian bermuara di laut.

Menilik Tata Ruang Kabupaten Berau dan wilayah lain di Kalimantan dan Indonesia secara umum, sebenarnya belum terlihat jelas pengelolaan kawasan DAS di kabupaten Berau. Pola ruang misalnya masih menempatkan pengembangan pertanian pada kawasan sepanjang sungai. Padahal wilayah tersebut seharusnya di buffer dengan jarak yang lebih tinggi. Dalam RPJMD telah sangat bagus dengan memasukkan indikator pencemaran sungai sebagai target dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam RPJMD Berau ditargetkan pengurangan pencematan dibawa Indeks Pencemaran <5. Ini adalah sebuah strategi yang baik. Permasalahannya adalah bagaimana menterjemahkan kedalam bentuk-bentuk kegiatan pengelolaan DAS, karena kualitas air sungai berkorelasi langsung dengan pengelolaan DAS.

Kajian Dampak

Kajian dampak akan sangat penting dilakukan pada seluruh kawasan DAS. Pembagian kajian dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Kajian Dampak Pengelolaan DAS Berau
  • Berdasarkan kejadian yang ada saat ini maka kondisi yang ada di wilayah DAS di Kabupaten Berau antara lain
  • Dampak penutupan lahan di sekitar DAS Segah dan Kelay pada sector Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan
  • Penutupan lahan sepanjang sungai Segah dan Sungai Kelay akan berpengaruh pada kondisi peraiaran sungai.
  • Penutupan lahan dengan perkebunan akan memberikan dampak yang dapat digali melalui kajian literature
  • Pentupan lahan pertambangan batubara akan memberikan dampak terkait dengan alih fungsi lahan yang menyerap air dengan yang tidak menyerap dan meningkatkan limpasan air.
  • Dampak pengelolaan limbah domestik/rumah tangga
  • Limbah domestic/rumah tangga akan memberikan dampak berupa pencemaran ke sungai.
  • Limbah ini akan terus berkembang sesuai dengan penambahan jumlah penduduk dan perkembangan pemukiman pada sungai Segah, sungai Kelay dan sungai berau sekaligus pada anak sungainya.

Rekomendasi Kebijakan Rencana dan Program Pengelolaan DAS

Rekomendasi dilakukan melalui kegiatan seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dimana integrasi dan rekomendasi dapat dimasukkan ke dalam berbagai dokumen perencanaan misalnya:

  • Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Sungai untuk RPJMD, ini dapat dikaitkan dengan kebijakan lain misalnya ketersediaan air, transportasi, wisata, dll.
  • Rekomendasi Perencanaan Ruang terkait Sungai dan DAS pada dokumen Draft Tata Ruang Kabupaten
  • Rekomendasi Program Pengelolaan DAS yang mengedepankan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Referensi

Smith, M., de Groot, D., Perrot-Maîte, D. and Bergkamp, G. (2006). Pay – Establishing payments for watershed services. Gland, Switzerland: IUCN. Reprint, Gland, Switzerland: IUCN, 2008.

Threats for Mangrove Ecosystem


In East Kalimantan major threats for mangrove ecosystem mostly from aquaculture such as shrimp or fish pond. In general the primary threats to all mangrove species are habitat destruction and removal of mangrove areas for conversion to aquaculture, agriculture, urban and coastal development, and overexploitation.

Delta mahakam
Land cover in Mahakam river Delta, 70% of areas converted into pond

Same land conversion happened in Berau, some of areas converted into pond. Numbers of shrimp ponds increased by years.

Hulu Sungai Berau
Land cover in Berau river Delta 

Melihat Kebun Sawit dari Citra Google Earth


Pada tingkat nasional, sedang dibicarakan mengenai ban EU atas oil palm untuk biofuel, lihat : http://www.climatechangenews.com/2017/03/30/eu-palm-oil-restrictions-risk-sparking-trade-spat/

Saya justru akan mengangkat isu mengenai praktek perkebunan yang menyalahi UU Tata ruang mengenai wilayah perlindungan lokal. Yang paling mudah adalah dengan menggunakan aspek perlindungan sepadan sungai dan sepadan danau.

Berdasarkan regulasi Permentan no 11 tahun 2015 , maka kawasan yang tidak bisa ditanami adalah:

  1. Sepadan sungai di daerah rawa 200 m
  2. Sepadan sungai di bukan rawa 100 m
  3. Anak sungai 50 m
  4. Sepadan/buffer danau 500 m
  5. Dua kali kedalaman jurang
  6. 130 kali selisih pasang surut tertinggi

Coba saja luangkan waktu 30 menit dengan menggunakan google earth yang gratis, ada banyak sekali pelanggaran yang dilakukan dengan melakukan penanaman pada  kawasan yang tidak diperbolehkan.

pelanggaran palm oil_Berau 8
Pelanggaran penanaman di Kaltim

pelanggaran palm oil_Kalbar01

Sawit yang berjarak dibawah 200 m dari Danau di Kalbar

pelanggaran palm oil_Kaltim 1
Sawit dengan jarak dibawah 100 m

pelanggaran palm oil_Kutim

RIAU_pelanggaran sawit01
Pelanggaran penanaman di Riau

Sumatera_pelanggaran sawit02.jpg
Pelanggaran penanaman di Sumatera

Sumatera_pelanggaran sawit03
Pelanggaran di wilayah Sumatera (kemungkinan wilayah ini dilaporkan sebagai HCV tetapi ditanami sawit

Palm Oil in Indonesia: when expansion will stops?


Palm oil industry in Indonesia increased with significant number both related to areas that released for concessions and other follow up fact related to production and income generated from this sector. Since 2006 Indonesia became number one CPO exporter, more than Malaysia.Indonesia and Malaysia covered 83% oil palm production worldwide.

 

Increased oil palm in Indonesia driven by expansion from big private concessions and also policy in plantation in Indonesia mostly to increase areas not production. Areas increment mostly used as indicator for development of oil palm in Indonesia, some provinces targeted million of hectares oil palm concessions as program in plantation sector.

Based on data from Ministry of agrarian  that oil palm concessions areas  in Indonesia in 2015 about 11.4 million hectares, with half of them owned by profit companies.

Distribution of  oil palm concession in Indonesia shown below:

oil-palm-maps-landcover

kebun indonesia

Oil palm sector is most dominated plantation sector in Indonesia, based on data from Ministry of Agriculture 2015 that oil palm covered 11.3 million hectares compared to others that only 3.6 million hectares  from rubber.

tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.jpgEast Kalimantan also increased related to oil palm concession, based on data 2014 from Dinas Perkebunan/East Kalimantan Agriculture Office that in 2014 about 1.02 million hectares.

kebun kaltim
Enter a caption

East Kalimantan targeted 1.6 million hectare oil palm plantation established in 2016 and about 1.8 million hectare for 2020. Compared to program from same office to maintain 650 hectares farming.

In East Kalimantan based on spatial planning there are total 3.3 million hectares allocated for plantation with majority allocated for oil palm. Meanwhile total permits in East Kalimantan about 2,8 million hectares in 2014 and based on newdata no more land available for oil palm.

Suitability Analysis; lack of implementation of spatial information

Several initiatives for sustainable palm oil start with recommendation for better sitting for oil palm.

WRI Potico project published suitability analysis for oil palm based on environment, economic, legal and social aspect. This project came with recommendation for suitable areas for oil palm in Indonesia.

WRI suitability maps_GFW
GFW Commodities; suitability analysis for oil palm

GFW commodities above provided analysis spatially with layers; conservation areas buffer, peat depth, water resource buffer, slope, elevation, rainfall, soil drainage, soil depth, soil acidity (pH).

For transmigration program in Indonesia in 1980’s a series of map produced within Reppprot Project with suitability analysis for several agriculture type including oil palm. Suitability from this only based on physical aspects and not other and need to combined with spatial planning regulation.

Oil Palm, Deforestation and GHG emissions

Several research such as Margono et all (2014) mentioned about deforestation in Indonesia that annually increased both for primary intact and degraded forest both in Forest Designation Areas or non Forest Designation Areas. Based on designated status that production forest on the top of list related to conversion.  Based on 2000-2012 Hansen data that total primary forest loss totalled 0.84 million hectares, and annually primary forest loss about 47,600 ha.Primary forest loss in production forest that about 27,000 ha.

Areas designated for oil palm concession in Indonesia still overlapped with current forest cover as shown below:

oil-palm-maps-landcover-2
Overlay oil palm concessions and forested areas in Indonesia

Other research showing that primary forest and peat land land clearing probably not by small holders but by agro-industrial land developer. Larger development in  peat land are often accompanied by draining wetland and impacted on carbon emission beyond footprint of actual development.

kalbar
One of example of oil palm concession in Wes Kalimantan, clearly that converted primary forest into palm oil.

Analysis that conducted in Berau, East Kalimantan showing that oil palm and deforestation very much related. Oil palm contribute 28% green house gas emissions (Griscom, et al 2015).

berau
Oil palm plantation in Berau, East Kalimantan, exactly located along Segah river with land cover primary to secondary forest.

 

Further Suitability Analysis: Legal Aspects and Voluntary Scheme

Two steps proposed for sustainable oil palm concession sitting, first by following legal aspects and second with following voluntary requirement.

Legal aspect analyze based on spatial planning regulation that allow oil palm expansion in APL (non forest use). Based on ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) regulation that oil palm could located in APL and production forest for conversion zone  (HPK). Detail spatial planning mentioned about preserve riparian, water source, tidal buffer areas.

Voluntary scheme ( ie. RSPO) required high conservation value (HCV) conducted before open oil palm plantation. Detail about HCV could accessed through HCV Resource Network. HCV covered environment, social and cultural aspects through six principle conducted through FPIC.