Keanekaragaman Hayati Yang Ter(di)lupakan


Mungkin hanya sebagian Orang yang tahu bahwa 5 Oktober ini adalah hari Cinta Puspa Dan Satwa Nasional, sayapun demikian jika tidak melihat di doodle Google. Puspa dan Satwa atau Flora dan Fauna sebenarnya isu-isu yang terabaikan dalam banyak kasus pembangunan di Indonesia.

Kasuari dari Papua

Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Hayati Global di 201 negara di seluruh dunia.
Menurut publikasi, Indonesia peringkat kedua sebagai negara dengan keanekaragaman hayati paling tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, Indonesia memiliki 1.723 jenis burung,
383 amfibi, 4.813 spesies ikan, 729 mamalia, 773 spesies reptil, dan 19.232 spesies tumbuhan vascular. Status saat ini mungkin bisa berubah karena dalam prakteknya masih banyak kekayaan biodiversity kita yang belum terpetakan.

Disisi lain hutan kita sebagai rumah bagi kekayaan keanekaragaman hayati terus berkurang, meskipun trend penurunan hutan primer di Indonesia terus berkurang tetapi upaya perlindungan tutupan hutan sebagai habitat satwa belumlah disandingkan dengan kekayaan biodiversity yang ada di dalamnya. Misalnya apakah kebijakan food estate dilakukan dengan melakukan kajian-kajian berbasis ilmiah dalam penentuan lokasi, sehingga habitat satwa yang unik dan dilindungi dapat terjaga? Apakah perluasan perkebunan sawit dilakukan dengan memperhatikan kondisi hutan yang menjadi habitat gajah, harimau, atau orangutan?

Pelepas liaran burung kakatua di Papua Barat Daya

Secara kebijakan tentunya kita melihat adanya kebijakan nasional dalam penyusunan IBSAP yang sudah dilakukan sejak tahun 1993. IBSAP adalah singkatan dari Indonesian Biodiversity Strategy & Action Plan (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia). Dokumen ini adalah panduan utama untuk pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia yang berfungsi untuk mengoptimalkan pemanfaatan berkelanjutan, memperkuat tata kelola, dan mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan. Permasalahan selama ini adalah IBSAP menjadi dokumen yang belum di mainstreaming dalam pembangunan secara detail. Pada tingkat sub-nasional, masih selalu ada anggapan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati adalah tupoksi pusat, dalam hal ini Kemenhut dengan BKSDAE sebagai unitnya.

Bukan hanya kebijakan vertikal ke daerah, bagaimana IBSAP kemudian diadopsi oleh Lembaga/Kementrian tingkat nasional masih belum clear. Apakah ATR/BPN memperhatikan IBSAP pada saat pemberian ijin HGU perkebunan sawit? Apakah bisa dipastikan bahwa HGU tidak diberikan di wilayah habitat gajah, orangutan atau pada wilayah yang hutannya memiliki tanaman endemik asli Indonesia yang sudah langka?

Sudah seharusnya cinta puspa dan satwa bisa dimulai dari kebijakan, dari pemimpin-pemimpin negeri ini. Kalau di daerah-daerah masih banyak perburuan satwa atau pencemaran lautan, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melindungi habitat satwa tersebut.