Pentingnya Kajian Landscape dalam KLHS


Salah satu yang menjadi perhatian saya ketika mendampingi kegiatan KLHS di beberapa lokasi adalah minim-nya baseline yang digunakan untuk memberikan masukkan bagi KRP yang dikaji, baik untuk KLHS RTRW maupun KLHS RPJMD.

Tanpa baseline yang baik, rekomendasi dalam KLHS tidak lebih dari usulan normatif yang tidak mampu memberikan solusi nyata atau memberikan pilihan mitigasi yang dapat diimplementasikan. Bagaimana baseline dibuat akan menjadi pertanyaan lain, dimana dalam regulasi KLHS disebutkan bahwa kajian seperti daya dukung dan daya tampung merupakan kajian yang dapat dilakukan, tetapi secara jelas tidak pernah ada regulasi detail yang menjelaskan bagaimana kajian dilakukan. KLH pernah membuat dokumen panduan tetapi tetap tidak keluar dengan detail kajian dilakukan.

Saya akan mencoba melihat dari sisi daya dukung, dimana esensi dasar dari daya dukung adalah perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan atau supply dan demand. Hal ini menjadi penting karena supply umumnya terbatas, sedangkan demand tidak terbatas. Perhitungan menjadi sulit, karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan ketersediaan.

Bagaimana kajian landscape dapat berkontribusi misalnya pada KLHS RTRW dan RPJMD saya akan mencoba melihat bagaimana kajian yang mampu mendukung KLHS:

  1. Pada kajian-kajian daya dukung lingkungan misalnya kajian detail mulai dari proyeksi perkembangan penduduk, kebutuhan lahan per sektor dan kemudian diterjemahkan secara spatial distribusi kebutuhan tersebut dalam pola ruang dan struktur ruang yang lebih baik.
  2. Pada kajian daya dukung lingkungan belum ada kajian detail mengenai DAS yang mampu memberikan masukkan mengenai bagaimana penataan ruang dikaji dalam kaitan dengan DAS. Ini akan link dengan daya tampung terkait DAS sebagai wilayah tangkapan air.

Bagaimana dengan kajian daya tampung, konsep daya tampung awalnya ditujukan untuk perlindungan spesies dimana dilakukan analisis untuk menilai jumlah populasi ideal yang dapat bertahan hidup secara baik dalam satu habitat. Ini dilakukan dengan menilai sisi ketesediaan pangan dan air misalnya. Daya tampung ini pada kajian penataan ruang kadang bersifat ekosentrik yang kebanyakan berfokus pada pembangunan ekonomi untuk kebutuhan manusia.

Kajian landscape akan banyak membantu misalnya dengan melihat kajian-kajian seperti HCV- high conservation area. Kajian mendasar lainnya adalah kajian yang dihubungkan dengan konsep siklus biologi dimana dalam satu ekosistem. Pemahaman siklus biologi akan memberikan gambaran daya tampung dari sisi ekosistem dimana ada banyak komponen yang perlu dilakukan.

KLH sebelum bergabung menjadi KLHK pernah mengeluarkan buku_DDTLH_2014, tetapi sayangnya beberapa baseline awal seperti Ecoregion yang semestinya sudah lengkap belum diadopsi secara utuh. Demikian juga konsep footprints masih sedikit dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

 

 

 

Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penataan Ruang – Memasukkan Aspek Konservasi


Perkembangan wilayah yang diatur dalam Tata Ruang mendapatkan banyak kritik ketika kedepannya perkembangan wilayah tidak mampu memberikan kenyamanan karena banyak faktor lingkungan terabaikan. Perkembangan pembangunan yang tidak memberikan kenyamanan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti tidak adanya ruang terbuka hijau yang cukup luas serta yang paling mendapat sorotan adalah terjadinya bencana seperti banjir, longsor serta polusi air dan udara.

Kajian lingkungan hidup strategis dalam penataan ruang yang seharusnya menjadi penapis penting dalam perencanaan menuju aspek-aspek keberlanjutan sepertinya tdk mampu digunakan dengan maksimal. Ada beberapa hal yang terlupakan dalam penerapan KLHS yang menjadi penyebab kenapa KLHS tidak efektif. Salah satunya adalah kehilangan prinsip-prinsip utama  dalam pelaksanaannya.

History

The European Union Directive on Environmental Impact Assessments (85/337/EEC, known as the EIA Directive) only applied to certain projects.[3] This was seen as deficient as it only dealt with specific effects at the local level whereas many environmentally damaging decisions had already been made at a more strategic level (for example the fact that new infrastructure may generate an increased demand for travel).

The concept of strategic assessments originated from regional development / land use planning in the developed world. In 1981 the U.S. Housing and Urban Development Department published the Area-wide Impact Assessment Guidebook. In Europe the Convention on Environmental Impact Assessment in a Transboundary Context the so-called Espoo Convention laid the foundations for the introduction of SEA in 1991. In 2003, the Espoo Convention was supplemented by a Protocol on Strategic Environmental Assessment.

The European SEA Directive 2001/42/EC required that all member states of the European Union should have ratified the Directive into their own country’s law by 21 July 2004.[4]

Countries of the EU started implementing the land use aspects of SEA first, some took longer to adopt the directive than others, but the implementation of the directive can now be seen as completed. Many EU nations have a longer history of strong Environmental Appraisal including Denmark, the Netherlands, Finland and Sweden. The newer member states to the EU have hurried in implementing the directive.

Seperti kutipan Wikipedia di atas, KLHS digagas karena kekurangan yang ada pada AMDAL yang memang hanya fokus pada project tertentu dan tidak bisa menjawab kebutuhan akan pemenuhan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada kasus di Eropa bahkan pada kegiatan yang sifatnya lintas negara. Ini karena kebijakan rencana dan program pada satu wilayah akan mempengaruhi wilayah lainnya.

Panduan KLHS yang disusun UN Habitat menyebutkan bahwa tujuan utama KLHS adalah Mempromosikan Pembangunan Berkelanjutan. Ketika KLHS tidak mampu mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan maka pelaksanaan KLHS adalah sebuah kegiatan sia-sia.

Kekuatan utama KLHS adalah adalah baseline yang kuat, dimana kebijakan, rencana dan program harus dilakukan dengan melakukan kajian yang lengkap dengan memperhatikan aspek LAND USE planning. Hal ini yang sangat lemah dalam pelaksanaan KLHS di Indonesia.KLHS di Indonesia banyak dilakukan dengan hanya melakukan kajian secara general tanpa didukung oleh baseline yang kuat.

Salah satu aspek yang harus dilakukan adalah membangun baseline yang kuat pada tingkat Kabupaten dan Pada Tingkat Provinsi. Baseline pada bidang landuse planning, serta baseline pada bidang lingkungan menjadi sesuatu yang harus dilakukan pada semua tingkatan dan mencakup semua aspek lingkungan.