Lebih dari 20 tahun bekerja di sektor pembangunan membuat saya mampu menarik beberapa kesimpulan yang tentunya dikaitkan dengan perencanaan pembangunan. Meskipun sebagian besar bidang yang saya lakukan terkait konservasi, tetapi tidak pernah terpisahkan dari perencanaan pembangunan dan perencanaan ruang secara umum.
Salah satu permasalahan utama dalam perencanaan pembangunan di Indonesia adalah buruknya data dasar untuk perencanaan, baik data kuantitatif, kualitatif dan tentunya data spatial. Misalnya kegiatan yang terakhir yang dilakukan untuk menyusun dokumen tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goals (SDGs), dimana indikator yang sudah disusun pada tingkat nasional untuk diimplementasikan di tingkat provinsi dan kabupaten kesulitan mendapatkan data dasar. Ada banyak sekali indikator TPB yang tidak dapat diturunkan menjadi program kegiatan nyata karena keterbatasan data.
Demikian juga dengan dokumen RPJP dan RPJM, dimana penyusunan ini dilakukan dengan menetapkan indikator kondisi awal dan kemudian menjabarkan target tahunan atau 5 tahunan. Pada kebanyakan penyusunan RPJM di daerah, data-data tidak tersedia dengan baik, misalnya ketika akan membangunan fasilitas pendidikan maka data jumlah fasilitas tidak tersedia secara lengkap. Akibatnya rencana disusun dengan data asumsi dan peningkatan berdasarkan prosentase yang dalam prakteknya tidak akurat.
Bagaimana dengan rencana tata ruang? Nasibnya sama dimana proses ini banyak mengalami hambatan dengan keterbatasan data spatial di tingkat kabupaten. Meskipun dengan adanya kebijakan satu peta dan turunan kebijakan percepatan-nya, tetap saja banyak kabupaten atau provinsi yang kesulitan membangun rencana tata ruang dengan data spatial yang baik.
Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan
Salah satu kelemahan pendataan di daerah, baik propinsi dan kabupaten adalah masalah kelembagaan, koordinasi dan pendanaan. Dalam banyak pendampingan di daerah, data sebagian besar dimiliki oleh Bappeda diluar lembaga khusus pendataan seperti BPS. Bappeda berkepentingan memiliki data-data tersebut, tetapi dalam banyak kasus Bappeda tidak secara spesifik membangun unit dan kapasitas pengelolaan data. Misalnya terjadi pergantian staff atau pergantian kepemimpinan data yang ada kadangkala tidak dapat dilacak.
Koordinasi dapat menjadi faktor lain yang perlu dibenahi dalam rangka pembangunan data di tingkat daerah. Koordinasi yang tidak selaras bisa terjadi antara unit OPD atau antara level kabupaten, provinsi dan kabupaten.
Satu hal yang penting dan sering luput dilakukan adalah menyusun anggaran secara jangka panjang untuk membangun data dan pengelolaan data. Hampir semua kabupaten atau provinsi misalnya menggangap ini menjadi hanya tugas BPS, sementara disisi lain BPS memerlukan support dan koordinasi berkala dari pemerintah daerah yang hanya bisa berjalan jika dilakukan dengan pengangaran yang baik.
Banjir di Kalimantan sudah menjadi agenda tahunan ketika musim hujan tiba. Wilayah-wilayah ibukota mulai dari Samarinda, Banjarmasin, Pontianak merupakan beberapa kota yang secara regular terkena banjir saat musim hujan. Kerugian dari akibat banjir di Kalsel pada Februari 2021 diperkirakan mencapai 1,2 triliun rupiah. Demikian juga dengan banjir Samarinda kerugian yang dikalkulasi mencapai milyaran dalam satu tahun kejadian, banjir pekan saja ditahun 2019 diperkirakan kerugian mencapai 40 milyar berdasarkan kalkulasi peneliti dari Universitas Mulawarman. Kalkulasi lain menyebutkan kerugian 20 tahun banjir di Samarinda mencapai triliunan rupiah.
Secara umum Kalimantan memang merupakan wilayah yang rentan dengan resiko banjir, ini tidak terlepas dari kondisi wilayah yang datar dengan sebaran ibukota dan kota lainnya di sepanjang sungai. Faktor sejarah pembentukan pemukiman di Kalimantan yang berbasis sungai memang harus selalu diperhatikan. Berdasarkan kajian tutupan lahan 2019 Kalimantan memiliki 12,7 juta hektar hutan lahan kering sekunder dan 9,4 juta hektar hutan lahan kering primer sedangkan hutan mangrove sekitar 484 ribu hektar dan hutan rawa 311 ribu hektar tetapi luasan semak belukar mencapat 4,6 juta hektar dan luas perkebunan (baca: kebun sawit) sekitar 6,2 juta hektar.
Fakta lainnya misalnya Ibu Kota Provinsi Kaltim Samarinda yang terbelah oleh Sungai Mahakam, secara topogafi merupakan kombinasi wilayah datar sepanjang sungai dan beberapa wilayah berbukit kecil. Dalam wilayah DAS, Samarinda masuk dalam DAS Mahakam Hilir dimana Sungai Mahakam ini terdiri atas bagian hulu sampai Kabupaten Mahakam Hulu, bagian tengah yang merupakan Kawasan rawa dan Sebagian gambut serta bagian hilir yang didominasi oleh dataran rendah.Berdasarkan tutupan lahan Kota Samarinda didominasi oleh pemukiman, lahan pertanian, pertambangan, dan semak. Sedangkan kalkulasi tutupan lahan 2019 dengan di DAS Hulu Mahakam atau wilayah sekeliling Samarinda didominasi oleh semak belukar 43 persen, hutan tanaman 8 persen, tambak, pertambangan dan perkebunan masing-masing 7 persenKondisi hidrologis Samarinda tentunya akan tergantung pada Kawasan dihulunya dimana tutupan hutan sudah semakin berkurang dan hanya menyisakan 68 persen hutan di bagian hulu,sisanya merupakan kawasan pertanian lahan kering, perkebunan dan belukar. Pada bagian tengah sungai Mahakam masuk DAS Belayan dan DAS Bongan didomoinasi oleh kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri serta Sebagian masuk kawasan konservasi.
Dalam banyak diskusi mengenai konservasi, salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah apa keuntungan ekonomi yang didapat jika konservasi didahulukan dari pembangunan ekonomi? Pada konteks pembangunan berkelanjutan jangka panjang pertanyaan ini mungkin sulit dijawab karena kalkulasi nilai-nilai lingkungan hidup memang berlaku dijangka panjang. Nilai dari jasa lingkungan memang tidak dapat dikalkukasi karena tidak akan sebanding dengan nilai-nilai ekonomi, nilai akan tergantung situasi yang ada misalnya nilai jasa lingkungan air akan tinggi ketika jumlah air terbatas dan kualitas air tidak dapat dikonsumsi. Apalagi pertanyaan yang mengkontradiksikan antara konservasi species misalnya orangutan dengan kebutuhan ekonomi saat ini yang selalu mengarah pada kebutuhan ekonomi saat ini akan lebih dimenangkan. Nilai keberadaaan hutan ini dapat dijawab jika dikaitkan dengan bencana alam, misalnya saat air sudah mengenangi kota dimana para pengambil kebijakan dapat melihat dampak bencana lingkungan secara langsung.
Kalkulasi nilai-nilai alam sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu, salah satunya adalah dengan konsep natural capital yang diartikan sebagai kumpulan asset atau sumber daya alam yang terdiri atas unsur geologi, tanah, udara, air dan makhluk hidup di dalamnya. Dari natural capital ini manusia dapat mengukur berbagai nilai manfaat yang disebut dengan jasa lingkungan yang sepenuhnya akan mendukung kehidupan manusia. Konsep natural capital ini dimulai melihat sumber-sumber daya alam baik yang hidup/hayati dan non hayati yang kemudian menjadi fungsi ekosistem menjadi apa yang dikenal dengan jasa-jasa lingkungan. Jasa lingkungan ini memberikan keuntungan bagi manusia dan kemudian dapat diukur nilai-nya. Konsep natural capital jika dikaitkan dengan konsep ekonomi konvensional, ini disebut dengan bioeconomy dimana penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dapat digantikan dengan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
Konsep pembangunan dengan memperhitungkan jasa lingkungan harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, terutama pihak-pihak atau masyarakat yang melakukan kegiatan pengelolaan lahan. Penerapan prinsip menjaga natural capital ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat dengan dukungan pemerintah, misalnya dilakukan dengan memberikan insentif ketika masyarakat mengelola lahan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, menjaga tutupan pohon, membuat terasering dan mencegah polusi air dari sampah atau sisa pupuk.
Pada skala yang lebih besar peran kebijakan pemerintah dilakukan dengan membeli/mengambil alih pengelolaan kawasan sepadan sungai atau lahan basah (rawa, mangrove, dll), membatasi infrastruktur yang tidak ramah lingkungan (tutupan semen di kawasan resapan) dan mengatur bahan yang berbahaya yang menyebabkan polusi air. Jasa lingkungan juga dapat dilakukan dengan melibatkan pihak swasta, misalnya memberikan insentif pengelolaan melalui pendanaan dari perusahaan yang memanfaatkan jasa lingkungan air seperti perusahaan air minum. Pada konteks Kalimantan Timur dan Samarinda, ini dapat dikaitkan dengan perusahaan tambang batubara atau perusahaan sawit yang menggunakan jasa lingkungan air dalam kegiatan bisnis-nya. Dalam konteks penanganan banjir di Kalimantan secara umum, terdapat beberapa kajian yang perlu dilakukan kajian daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan air, kajian modelling hidrologi dan kajian tutupan lahan.
Tahapan-tahapan penting dalam pelaksanaan kebijakan dengan memasukkan natural capital dan jasa lingkungan dimulai dengan mengidentifikasikan wilayah-wilayah yang penting untuk dikonservasi, dan atau dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip berkelanjutan, mengidentifikasi daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan air dan tanah, kedua adalah mengidentifikasi kebijakan pendukung seperti pemberian insentif dan desentif, kebijakan penerapan tata ruang dan yang terakhir adalah membangun sistem monitoring dalam pelaksanaan kebijakan. Apa yang menjadi tantangan dalam penerapan kebijakan ini adalah minimnya informasi, tidak adanya minat dari pengambil kebijakan, dan adanya oposisi politik yang bertolak belakang dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang baik. Pada prakteknya kebijakan yang mendukung perlindungan natural capital dan jasa lingkungan akan tergantung pada kemampuan menggerakkan masyarakat, peran multi-stakeholder terkait termasuk pengusaha. Keterlibatan pengusaha misalnya akan dikaitkan dengan penggunaan sumber-sumber daya alam dan jasa lingkungan (misalnya air) dalam proses produksi-nya.
Kembali pada konteks kebencanaan misalnya banjir konsep natural capital melalui jasa lingkungan air dapat dikalkulasikan dengan menghitung kerugian tahunan akibat banjir dan bagaimana ini diubah dengan melakukan pembangunan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan. Pada konteks kebencanaan misalnya dapat dilakukan kajian-kajian bagaimana menempatkan pemukiman, kegiatan usaha dan infrastruktur dengan menmperhatikan lingkungan, kedepannya dampak-dampak lingkungan yang bersifat bencana dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Ini bukan hal yang mudah dilakukan, misalnya pada konteks perencanaan di Kawasan perkotaan yang sudah terlanjur dibangun dan direncanakan tanpa kalkulasi nilai-nilai jasa lingkungan atau pada kegiatan usaha yang sudah terlanjur berjalan. Aspek keterlanjuran sering menjadi alasan kenapa konsep-konsep pembangunan yang memperhatikan jasa lingkungan sulit diterapkan, tetapi jika tidak dimulai maka akumulasi kerugian akibat bencana banjir dan longsor akan jauh lebih besar dari pada investasi yang diperlukan dengan kebijakan yang berwawasan lingkungan.
Baru-baru saja secara beruntun terjadi bencana lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari banjir besar di Kalimantan Selatan dengan meluapnya sungai Martapura, banjir di Mahulu, Berau dan tentunya tanah longsor di banyak lokasi di Jawa. Saya percaya kesemua bencana itu dapat dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Ketika kita bicara kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, saya selalu merasa bahwa payung kebijakan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah sangat banyak. Mulai dari kebijakan makro skala nasional dan daerah misalnya kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis sampai pada keharusan penerapan di skala operasional atau AMDAL. Belum lagi kebijakan sektoral yang pada semua lini dipayungi dengan kebijakan lingkungan hidup.
Tapi mengapa permasalahan lingkungan hidup terus berjalan dan tentu saja kerugian yang dialami tidaklah sedikit dimana ribuan rumah dan penduduk di banjir Kalsel terdampak. Salah satu yang terjadi adalah lemahnya pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup. Ambil contoh KLHS sebagai screening awal kebijakan mulai dari RTRW dan RPJM mulai dari nasional, provinsi sampai kabupaten. Saya yang pernah mendampingi pelaksanaan KLHS mulai dari Papua sampai Kalimantan melihat ada banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya mulai dari banyaknya daerah yang melakukan KLHS hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban, sehingga mutu dan hasil kajian akan sangat rendah. Untuk yang bekerja dengan AMDAL pasti menyadari bahwa kebanyakan AMDAL hanya berhenti pada penyusunan dokumen. Misalnya saja mengenai AMDAL pertambangan batubara yang mengatur kualitas air dan pengelolaan bekas wilayah tambang, sesudah operasional, tidak banyak pengecekan untuk memastikan ini sesuai dengan AMDAL-nya.
Kebijakan lingkungan lainnya yang belum diterapkan adalah kebijakan perlindungan hutan, meskipun ada kebijakan untuk penurunan emisi mulai dari nasional sampai daerah, sangat jarang ditemukan roadmap yang sangat detail mengenai bagaimana ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertanyaan lain misalnya jika penyebab emisi gas rumah kaca adalah perubahan land use hutan menjadi non hutan, maka berapa banyak daerah yang mampu menetapkan batas-batas konversi kawasan hutan. Apakah nantinya akan memberikan ijin di di kawasan berhutan di APL? Padahal luasan sawit di Sumater dan Kalimantan sudah belasan juta hektar.
Hari lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari perlindungan satwa, akan tetapi kebijakan mengenai perlindungan satwa sepertinya masih belum optimal. Indonesia masih menjadi sumber perdagangan satwa liar di dunia dan ini akan menjadi penyebab utama kehilangan dan kepunahan spesies di Indonesia.
Peta di atas menunjukkan bahwa luas kota Jambi hanya 1/10 dari luas kebun sawit di sekitar-nya.Tambang terbuka batubara, lebih luas dari Kota Tengarong dan akumulasi tambang -nya akan lebih luas dari wilayah terbangun kota Samarinda.
Secara kasat mata kebijakan lingkungan hidup memang tercermin dari bagaimana kita mengelola kawasannya. Tentu saja tidak bisa dengan dalih pembangunan semua kawasan yang punya nilai lingkungan besar seperti hutan, gambut, mangrove atau laut diperbolehkan untuk dibuka. Kita kadang harus belajar dari negara lain, misalnya Finlandia yang makmur saja masih memiliki 72% hutan di daratannya.
Keseriusan dalam penanganan lingkungan tentunya bukan agenda jangka pendek, kita bisa mulai dengan serius melakukan penerapan kebijakan lingkungan hidup jika ingin menjadi negara makmur suatu saat nanti.
Boleh dikatakan saat ini aset alam sudah banyak diabaikan dalam pembangunan ekonomi, buktinya rambu-rambu yang membatasi kerusakan aset alam ini sudah mulai ditabrak saat dilakukan pembangunan. Ambil contoh mudah seperti pembangunan dilakukan di kelerengan tinggi (lebih dari 40%), pembangunan di bantaran sungai, penggundulan hutan dan konversi lahan gambut.
Nilai dari alam atau jasa lingkungan sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi/finansial. Bayangkan jika kita tidak memiliki air atau udara bersih, maka semua nilai ekonomi/finansial yang dibangun bisa tidak berarti. Tetapi mengukur nilai finansial alami dapat menjadi pembelajaran untuk memahami dan lebih menghargai alam.
Kejadian longsor di Sumedang baru-baru ini misalnya memakan 40 korban jiwa dan kita bisa bandingkan nilai kerugian korban dengan nilai ekonomi saat lahan yang tidak layak dibangun, dijadikan pemukiman. Demikian pula dengan banjir dan longsor ditempat-tempat lain seperti di Jakarta, Manado, Banjarmasin, Samarinda, dll. Demikian juga dengan kejadian banjir tahunan di Jakarta, diperkirakan banjir ditahun 2020 saja menyebabkan kerugian sampai 10 triliun jika dihitung mundur ketahun-tahun sebelumnya, jumlahnya akan sangat besar. Kerugian banjir Samarinda selama 20 tahun diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.
Pertanyaan menarik adalah bagaimana kalau kerugian bencana digunakan untuk memperbaiki natural capital, misalnya digunakan untuk perbaikan kawasan sepadan sungai seperti relokasi pemukiman atau penghijauan kembali kawasan sepadan sungai, perbaikan penataan ruang seperti perbaikan perizinan atau penegakan hukum tata ruang. Dari mana dana untuk semua kegiatan itu? Ini dapat dilakukan baik dengan mengalokasikan pendanaan diawal sebagai bentuk mitigasi atau menggunakan pendanaan offset/pengganti pada kegiatan-kegiatan yang menggunakan sumberdaya air misalnya.
Secara mudah kesimpulan yang dapat diambil adalah DIBANDINGKAN MENERIMA DAMPAK KERUGIAN TRILIUNAN RUPIAH DALAM JANGKA PANJANG, LEBIH BAIK MELAKUKAN INVESTASI BERBASIS NATURAL CAPITAL DISAAT SEKARANG. Dalam jangka panjang investasi dengan mempertimbangkan faktor konservasi akan lebih menguntungkan.
Konsep hirarki mitigasi sebenarnya dapat disusun diawal ketika pembangunan dalam proses perencanaan, misalnya pada penyusunan RPJM atau Rencana Tata Ruang (RTRW). Pada proses perencanaan misalnya dampak sebenarnya dapat dikalkulasi, ambil contoh pada perencanaan tingkat tapak (site) pembangunan pabrik saja bisa dilakukan kajian dampak melalui kajian AMDAL. Demikian juga dengan tata ruang, jika satu wilayah dialokasikan menjadi pemukiman, maka dampak terkait hidrologi dimana kawasan ini menjadi kawasan yang tidak/sedikit menyerap air dapat dikalkulasikan dengan modelling hidrologi (misalnya dengan soil water assessment tool/SWAT atau INVEST). Jika kawasan APL dijadikan perkebunan di Kalimantan (baca: sawit), maka dampaknya dapat dikalkulasi, berdasarkan kajian hidrologi, maka kebun sawit akan lebih rentan mengalami erosi dan sedikit menyerap air dibandingkan hutan atau semak belukar karena sudah terbangun karena aliran permukaan lebih tinggi.
Dalam konsep hirarki mitigasi, awal kegiatan adalah menentukan area-area mana yang penting untuk dikonservasi, ambil contoh mudahnya seperti kawasan sepadan sungai, kawasan berhutan (terutama kawasan hutan alam yang memiliki kekayaan biodiversity) atau kawasan karst dan gambut. Kemudian menyusun potensi dampak. Kemudian menyusun hirarki mitigasi.
Contoh penerapan hirarki mitigasi dalam konteks pengelolaan lingkungan yang memperhatikan aspek konservasi geohidrologi:
Avoid:
Sepadan sungai: 100 m, 50 m, 10m atau 5 meter tergantung karakteristik sungai
Sepadan danau : 100 m atau 50 m
Lereng curam : lebih dari 40%
Kawasan hutan: berdasarkan regulasi tata ruang pre- UU Cipta Karya disebutkan 30% kawasan hutan disatu DAS harus dilindungi. Dengan UU Cipta Karya pemerintah perlu melakukan kajian detail per DAS dan menentukan kawasan ini (PR Besar sebagai implikasi UU Cipta Karya).
Minimize:
Membuat teras sering pada kegiatan yang harus dilakukan di lereng dibawah 40%
Melakukan penataan ruang yang menjaga kawasan resapan pada pemukiman
Perkebunan berbasis agroforestry pada kawasan yang dekat dengan hutan
Restore:
Penanaman kembali kawasan terdegradasi
Mengembalikan sepada sungai atau danau sebagai kawasan hijau
Mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional atau cagar alam yang dirambah.
Mengembalikan fungsi kawasan gambut
Offset
Menyusun skenario offset pada kegiatan berbasis sumberdaya air, misalnya perusahaan produsen air minum harus membantu pendanaan untuk kegiatan restorasi kawasan.
Perusahaan yang terlanjur menggunakan gambut (tipis) dapat diminta offset untuk konservasi kawasan gambut dalam lebih dari 3 m.
Perusahaan pertambangan batubara membiayai restorasi kawasan konsesi dan kawasan sekitarnya yang terbuka.
Pada intinya ini semua dapat dilakukan dengan DUKUNGAN KEBIJAKAN, kita tidak dapat lagi menyalahkan curah hujan yang tinggi, pasang naik atau topografi negara kita yang landai, berbukit dan bergunung. Sudah saatnya berpikir jangka panjang dan bukan hanya memikirkan keuntungan sesaat dan menerima dampak sepanjang waktu.
Salah satu hal yang sangat disayangkan dari perizinan perkebunan sawit di Indonesia adalah pemetaan kawasan HGU yang dilakukan dengan mengeluarkan wilayah sepadan sungai dari konsesi konsesi besar. Untuk perusahaan ini memang sangat menguntungkan, karena kawasan sepadan sungai berdasarkan regulasi tata ruang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan tidak boleh ditanami.
Salah satu Peta HGU Konsesi di Kalimantan
Pada peta di atas kawasan sungai dikeluarkan dari HGU, dengan dikeluarkannya kawasan ini dari ijin perusahaan, maka perusahaan tentu saja dapat lepas tangan jika ini kemudian dibuka pihak lain.
Pada peta zoom akan terlihat bahwa kawasan yang tidak masuk HGU akan menjadi kawasan yang rentang untuk dibuka baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang merasa bahwa kawasan ini sebagai kawasan kelola baru dengan peluang menanam sawit dan hasilnya dapat ditampung oleh perusahaan.
Buffer Sungai menjadi kawasan di luar konsesi perkebunan
Buffer sungai dan mengeluarkan wilayah dari perijinan seperti melepas kewajiban konsesi untuk menjaga wilayah sepadan sungai. Karena itu regulasi ISPO yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kawasan sepadan sungai menjadi tidak berarti.
Perambahan di wilayah sepadan sungai
Gambar diatas merupakan satu dari banyaknya kejadian dimana kawasan sepadan sungai bukan merupakan wilayah kelola konsesi. Jadi ketika ada yang menggunduli kawasan sepadan sungai, maka perusahaan bisa lepas dari tanggung jawabnya.
Ini mungkin bisa menjadi bahan pelajaran untuk lembaga pemberi izin HGU, bahwa sebaiknya memberikan izin termasuk pada kawasan buffer sungai dan termasuk kewajiban perusahaannya untuk menjaga kualitas lingkungan sepanjang sepadan sungai.
Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.
Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.
Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.
Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.
Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.
Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.
Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi
Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.
Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.
UU no 11 tahun 2020 sudah ditetapkan sejak November 2020 ini. Sesuai dengan minat saya pada isu tata ruang maka saya kemudian membandingkan perubahan isi UU baru ini dengan UU no 26 tahun 2007 yang isinya mengikuti perubahan dari UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun dokumen salinan UU saya dapatkan melalui web resmi pemerintah: https://jdih.setneg.go.id/Produk
Karena tidak memiliki keahlian bidang hukum maka tulisan ini hanya memperlihatkan perubahan yang ada. Selanjutnya terkait konsekwensi kedepannya masih perlu dikaji secara lebih detail bagaimana perubahan ini akan mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan tata ruang di Indonesia.
Beberapa highlight yang saya dapatkan antara lain:
Izin Pemanfaatan Ruang diganti dengan istilah ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Dimana ketentuan mengenai Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang akan dijabarkan detail dalam Peraturan Pemerintah.
Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten tidak masuk dalam kategori Rencana Rinci Tata Ruang, hanya RDTR.
Aturan mengenai penetapan Kawasan Hutan minimal 30% dihilangkan.
Penetapan Rencana Tata Ruang bukan mendapat persetujuan Menteri tetapi tertulis persetujuan Pemerintah Pusat.
Pidana denda untuk pelanggaran Tata Ruang oleh koorporasi mendapatkan diskon dari sisi pemberatan yang dalam UU 26 tahun 2007 disebutkan3 (tiga) kali, tetapi dengan UU Cipta Kerja hanya 1/3 (sepertiga) kali.
Perubahan secara detail berdasarkan perbandingan yang saya lakukan adalah sebagai berikut
Pasal 1 tentang pengertian terdapat perubahan dari UU 26 dimana Izin Pemanfaatan Ruang diganti dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
Pasal 6 UU 26 mendapatkan tambahan beberapa ayat mengenai misalnya ayat 4 tentang Penataan Ruang Wilayah secara berjenjang dan ayat 5 mengenai penataan ruang wilayah secara komplementer. Ayat 8 yang menyebutkan Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara pola ruang rencana tata ruang dan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 8 UU 26 terdapat perubahan dimana Pemerintah menjadi pemerintah pusat adanya tugas terkait pemberian bantuan teknis bdan pembinaan teknis bagi penyusunan tata ruang. Masih belum clear buat saya apa beda pemberian bantuan teknis dan pembinaan teknis. Serta tentang ayat 4 mengenai tugas pemerintah daerah terkait kawasan strategis nasional melalui dekonsentrasi dihilangkan. Pada ayat 5 UU no 11 disebutkan menyebarluaskan informasi yang dikurangi bagian untuk mmenyebarkan informasi arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
Pasal 9 UU 26 diubah dimana penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Menteri diganti dengan Pemerintah Pusat serta cakupan dihilangkan dan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Pasal 10 dan 11 dalam UU 26 mengenai kewenangan pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten dalam penataan ruang, diubah yang sebelumnya detail 7 ayat menjadi ringkas dimana yang saya tangkap adalah perencanaan kawasan strategis provinsi atau kabupaten dihilangkan. Selanjutnya tugas detail lainnya dihilangkan. Ayat 6 juga dihilangkan yang sebelumnya tertulis Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bag penyusunan peraturan zonasi.
Pasal 14 UU 26 juga diubah dimana rencana kawasan strategis provinsi tidak masuk dalam kriteria rencana rinci tata ruang. Juga terdapat tambahan pasal 14a dumana pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang harus MEMPERHATIKAN daya dukung dan daya tampung wilayah serta KLHS. Termasuk tambahan mengenai ketelitian peta rencana yang mengikuti Peta Dasar.
Pasal 17 UU 26 mengalami perubahan dimana ayat 5 mengenai ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas DAS dihilangkan. Ini diganti dengan penetapan berdasarkan pulau, DAS, provinsi dan kabupaten/kota dengan memperharikan kondisi biogeofisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dalam penjelasan UU no 11 tahun 2011 disebutkan bahwa Distribusi luas kawasan hutan disesuaikandengan kondisi daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Menghilangkan keharusan adanya kawasan hutan 30% ini menjadi bahan diskusi menarik, karena ambang batas minimal 30% adalah angka dimana kondisi ini diharapkan mendukung faktor kelestarian lingkungan yang nantinya akan membantu pelestarian kawasan. Menurut saya dengan tidak adanya ambang batas 30% konsekwensinya adalah diperlukan KAJIAN ILMIAH DETAIL per wilayah dapat diacu sehingga dipastikan kawasan hutan yang tersisa memang mampu memenuhi tujuan kelestarian keanekaragaman hayati dan juga jasa lingkungan seperti air dan kualitas udara. Maka dari itu PP yang akan disusun untuk rencana penataan ruang harus memastikan bahwa kawasan hutan di setiap wilayah benar-benar dikaji dan ditetapkan.
Pasal 18 mengalami perubahan dimana penetapan rencana tata ruang bukan lagi mendapat persetujuan Menteri tetapi kata Menteri diganti dengan Pemerintah Pusat. Demikian juga dengan tambahan diharuskan ada konsultasi publik dengan DPRD untuk rencana detail tata ruang. Dalam prakteknya ini memang sudah dilakukan di semua wilayah, tetapi sesuai dengan PP ini dalam bentuk pengesahan dan bukan konsultasi publik.
Pasal 20 mengalami perubahan diantaranya yang saya tangkap adalah mengenai peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari 1 kali dalam 5 tahun dapat dilakukan dengan tambahan adanya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Ini juga berlaku untuk Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten. Tentu saja ini masuk akal jika strategis kemudian seperti rencana IKN.
Pasal 22 dan 23 pada UU no 26 diubah dimana rencana tata Ruang Provinsi tidak lagi memuat penetapan kawasan strategis provinsi. Pada bagian f sebelumnya di UU 26 yang menjadi bagian e pada UU no 11 tahun 2020 ini arahan perizinan menjadi arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Pasal 25 dan 26 diubah dimana kemudian yang saya tangkap adalah RTRWP atau RTRWK tidak lagi menjadi dasar dalam penetapan kawasan strategis provinsi atau kabupaten.
Pasal 24 dihapus karena digabungkan dalam pasal 23 terkait penetapan melalui Perda dan harus dilakuan penetapan sesudah 2 bulan mendapat persetujuan Pemerintah Pusat dan ditetapkan Gubernur 3 bulan jika Perda belum ditetapkan yang saya tangkap adalah rencana rinci tata ruang provinsi atau kabupaten seperti kawasan strategis tidak ada lagi.
Pasal 25 dan pasal 26 UU 26 tahun 2007 mengenai tata ruang kabupaten mengalami perubahan yang sama dengan tata ruang provinsidimana diubah dimana ayat 2 bagian g di UU 26 tentang rencana kawasan strategis kabupaten dihilangkan. Demikian pula dengan penjelasan mengenai ketentuan perizinan yang keseluruhannya berubah menjadi Ketentian Kesesuanan Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Pada 27 UU no 27 tahun 2007 dihapus dan isinya digabungkan ke pasal 26 pada UU no 11 tahun 2020 dengan deskripsi yang sama dengan provinsi terkait penetapan tata ruang menjadi peraturan daerah dan PerBup.
Terdapat tambahan pasal 34A yang menyebutkan bahwa perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum dibuat dalam rencana tata ruang dan atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilakusanakan melalui setelah mendapatkan rekomendasi kesesuaian pemanfaatan ruang dari Pemerintah Pusat.
Pasal 35 UU no 26 diubah dalam UU Cipta Keja dimana pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan melalui ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan ruang yang menggantikan penetapan peraturan zonasi dan perizinan. Ini dapat menjadi bahan diskusi karena terkait bagaimana zonasi-zonasi yang sudah ditetapkan apakah dapat digantikan dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Pasal 37 UU no 26 menjadi dirombak karena tidak ada lagi istilah izin pemanfaatan ruang, tetapi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Untungnya ada ayat 4 yang menyebutkan bahwa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Secara detail ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48 UU 26 diubah dimana bentuk kawasan agropolitan dihilangkan.
Kemudian pasal 49 sampai 54 di UU no 26 yang menjelaskan mengenai Tat Ruang Kawasan Perdesaan dihapus karena akan disusun Peraturan Pemerintah.
Pasal 60 UU 26 diubah dimana hak masyarakat dalam penataan ruang bagian e. diganti terkait istilah izin dengan Persetujuan Kegiatan Penataan Ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang. Demikian pula dengan bagian f.
Pasal 61 diubah menyesuaian dengan perubahan izin pemanfaatan ruang dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Pasal 62 diubah dengan penambahan sanksi terkai perubahan fungsi ruang.
Pasal 65 UU 26 diubah dengan menambahkan definsi masyarakat yang dapat berupa orang perorangan atau pelaku usaha.
Pasal 69, 70 dan 71 UU no 26 diubah dengan penambahan nilai sanksi denda yang jumlahnya sekita 2 kali dari UU sebelumnya. Tetapi terkait dengan pidana kerugian maka tuntutan pidana penjara berkurang dari 8 tahun dan 5 tahun di UU no 26 tahun 2007 menjadi hanya 4 tahun di UU no 11 tahun 2020.
Pasal 72 UU no 26 dihapuskan, isinya; Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 74 mengalami perubahan isinya sekarang menjadi: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 71 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, atau Pasal 72. Padahal dalam UU no 26 tahun 2007 denda untuk koorporasi adalah 3 (tiga) kali. Buat saya yang awam soal hukum masih belum tahu apa dasar pertimbangannya perubahan denda ini.
Pasal 75 UU 26 mengalami perubahan; dimana ayat 2 yang berbunyi: Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana. Dalam UU Cipta Kerja ini dubah menjadi Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata. Hanya satu kata yang berubah dari PIDANA menjadi PERDATA. Saya bukan ahli hukum dan tidak tahu konsekwensinya.
Berikut salah satu presentasi yang pernah saya buat terkait Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Memasukkan aspek lingkungan hidup dan konservasi didalamnya.
Saya adalah salah satu penggiat kajian spatial yang terus menerus menanyakan mengapa data-data spatial banyak dirahasiakan? Sementara data-data tersebut sangat dibutuhkan untuk kajian-kajian spatial yang diperlukan untuk kepentingan bersama.
Misalnya seorang peneliti ingin mengetahui luas seluruh HGU di provinsi A, jika data tidak tersedia apakah bisa menggunakan data-data dari sumber lain? JIka data tersedia online tetapi hanya viewer, apakah bias bisa ditoleransi jika didigitasi ulang?
Melindungi data dari pihak asing tapi lupa kalau sebagian (cukup besar) HGU mungkin dimiliki perusahaan asing. GAR/Sinar Mas, Wilmar adalah perusahaan yang berbase di Singapore, KLK Malaysia, sedangkan sebagian lagi dimiliki oleh group-group dominan sahamnya dimiliki pihak asing.
Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki web yang dapat diakses publik, namana PETA BIDANG TANAH. Peta online ini menyediakan data Jenis Hak mulai dari hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Wakafm Tanah Adat dan Tanah yang belum terdaftar.
Berdasarkan Permentan No 5 tahun 2019 tentang Tata cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian maka ijin usaha perkebunan bisa dilakukan jika lahan sudah HGU.
Faktanya dari peta diatas banyak sekali kebun terbangun di luar HGU, dari pola yang sangat rapi kemungkinan ini dikelola oleh perusahaan.
Peta yang di higlight adalah perkebunan di Sumatera Selatan yang sangat luas dan itu di luar HGU, bisa jadi ini adalah kawasan plasma atau perkebunan mandiri.
Peta diatas adalah screen capture di Kalimantan, highlight biru adalah kawasan perkebunan di luar HGU, bahkan termasuk bangunan-bangunan pendukung terleyak di luar HGU.
Jika di Jakarta atau kota besar hak milik dibatasi oleh kepemilikan lain sehingga selalu ada pihak yang menjadi pembatas, lalu siapa yang menjadi pengawas untuk memastikan pemiliki ijin melalukan kegiatan dibatas ijin HGU-nya?
Taman Nasional merupakan kawasan yang dilindungi dari kegiatan-kegiatan konversi dari kawasan alami seperti hutan menjadi kegiatan-kegiatan pembangunan. Penunjukkan kawasan Taman Nasional bukan berarti menjadikan kawasan tersebut aman dan bebas dari kegiatan konversi lahan.
Berikut adalah gambaran Taman Nasional Kutai. Bagian berwarna ungu adalah kawasan taman nasional berdasarkan SK KLHK no 278 tentang fungsi kawasan hutan.
Tetapi kawasan seperti Taman Nasional Kutai merupakan kawasan dengan tutupan hutan yang sudah berubah.
Saya mencoba melakukan overlay antara kawasan Taman Nasional dengan Peta Tutupan Lahan 2016 yang dari KLHK. Tanpa melakukan kalkulasi kita bisa melihat bagaimana kawasan Taman Nasional sudah berubah menjadi penggunaan lain.
Dari peta di atas terlihat semak belukar rawa menyebar di beberapa bagian mulai dari bagian timur. Semak/belukar menyebar di hampir semua bagian mulai dari timur, barat, utara dan selatan dengan tutupan yang cukup luas. Juga terdapat 2 blok lahan terbuka sudah terlihat di bagian selatan yang berbatasan dengan tutupan lahan tambang dan tutupan lahan HTI. Juga terdapat bagian Taman Nasional dengan tutupan lahan hutan tanaman industri.