Pendahuluan
Perencanaan wilayah erat kaitannya dengan kebijakan yang diambil oleh pemimpin daerah. Pada banyak kasus kebijakan mengalahkan runutan-runutan logis yang telah dituangkan dalam perencanaan wilayah. Belajar dari pengalaman di banyak daerah di Indonesia, penulis melihat bahwa ada jurang yang memisahkan antara perencanaan wilayah dengan kebijakan yang diambil. Seringkali teori-teori perencanaan yang kemudian dituangkan dalam Dokumen Perencanaan wilayah berbeda dengan praktek perencanaan. Brooks (2002) dalam bukunya Planning Theory for Practitioners menyebutkan bahwa seringkali teori perencanaan berbeda dengan prakte yang ada dilapangan.
Salah satu akar perbedaan utama adalah adalah faktor kebijakan yang dambil oleh para pengambil keputusan, kebijakan ini seringkali sifatnya tergesa-gesa dan disesuaikan dengan kondisi saat itu. Padahal berbicara mengenai perencanaan, berarti berbicara mengenai kurun waktu yang cukup panjang 5-25 tahun.
Perencanaan Wilayah
Hampir semua perencanaan wilayah merupakan penjabaran dari visi dan misi yang dibuat oleh pemimpin daerah terpilih. Sebuah visi dan misi daerah yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Kemudian diturunkan menjadi perencanaan wilayah sebagai satu produk. Perencanaan ini menjadi acuan dalam pembangunan, yang memberi warna bagi perkembangan suatu wilayah.
Perencanaan wilayah bergerak dari kebutuhan, berdasarkan data dan informasi detail suatu wilayah, analisis dengan pendekatan-pendekatan lengkap mulai dari sosial, budaya sampai ekonomi.
Kebijakan
Suatu kebijakan dalam suatu daerah baik propinsi atau kabupaten merupakan suatu aturan hukum yang diharapkan mampu menjadi acuan dalam pengambilan tindakan. Kebijakan berupa Perda, Keputusan-keputusan Gubernur/Bupati menjadi acuan paling detail dalam menjawab permasalahan di daerah.
Kebijakan mampu meberikan dampak positif bagi suatu wilayah, tidak memungkin juga kebijakan akan memberikan dampak negatif. Sifatnya yang mengikat, mampu menggerakkan suatu perubahan dalam sekala yang paling kecil atau sekala yang paling besar. Kebijakan terkait wilayah akan menjadi aturan legal yang mengikat.
Gap
Gap antara perencanaan wilayah dengan kebijakan disuatu wilayah misalnya terjadi karena ketidak sesuaian, baik yang terlihat langsung dan berdampak langsung, ataupun yang berdampak dikemudian hari. Mengapa gap itu ada? Ada beberapa hal yang bisa dijabarkan disini:
– Kebanyakan perencanaan wilayah dilakukan oleh Konsultan, dalam banyak kasus konsultan yang paling bagus sekalipun sering gagal memberikan perencanaan wilayah yang baik dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Bayangkan dengan term kontrak 3-6 bulan, harus membuat suatu perencanaan lengkap suatu wilayah, maka banyak hal yang terlewati atau salah diperhitungkan.
– Perencanaan cenderung seragam, konsep-konsep yang diatur menurut UU sampai Kepmen dijabarkan secara kaku tanpa melihat kondisi manusia atau bahkan kondisi wilayah. Tentu saja bagi yang pernah melakukan review suatu dokumen penataan ruang pernah melihat output perencanaan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dilapangan.
– Kebijakan juga sering merupakan jawaban cepat atas kondisi yang ada, misalnya zonasi kawasan lindung dan budidaya seringkali diubah dengan kebijakan penentuan lokasi oleh pemimpin daerah.
– Rentang waktu perencanaan merupakan rentang waktu yang panjang, dan ini sering berbeda dengan rentang waktu kebijakan yang seringkali hanya menjawab suatu permasalahan.
Sebuah Solusi
Beberapa solusi bisa ditawarkan disini, terkait dengan menjebatani gap yang ada:
– Perencanaan mustinya dilakukan penuh oleh Dinas Terkait, Bappeda. Sistem perencanaan yang sifatnya proyek harus diubah. Perencanaan dilakukan oleh Dinas dengan membentuk tim yang sebagian besar berbasis pada sumberdaya daerah, dengan mengambil beberapa tenaga ahli temporary.
– Perencanaan mustinya menjadi payung, disahkan secara hukum mnejadi Perda sehingga sifatnya mengikat. Ada banyak kasus dimana daerah menunda pengesahan Rencana Tata Ruang karena takut akan mengikat.
Adalah harapan banyak pihak yang menginginkan bahwa perencanaan wilayah mampu memberikan jawaban akan kebutuhan pembangunan, baik pembangunan fisik dan tentu saja intinya pembangunan manusia. Bahwa kualitas pembangunan yang baik hanya bisa diraih oleh suatu perencanan wilayah yang baik dan didukung oleh kebijakan daerah sebagai penjabaran detail dari setiap tujuan perencanaan yang dibuat. Pada tahap ini benar-benar diperlukan suatu pengertian yang dalam mengenai kata “bijak” sebagai kata dasar dari kebijakan.