Tahun ini kembali terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, sebuah kejadian tahunan yang buat sebagian yang tidak terpengaruh langsung seperti sebuah berita rutin tahunan. Pada wilayah terpengaruh seperti Riau, Jambi, Kalteng misalnya kejadian ini seperti musibah tahunan yang tidak bisa dielakkan dan membuat frustasi.
Tools Online Yang Tersedia
Sebenarnya terdapat beberapa tools online yang bisa digunakan untuk melakukan pemantauan hotspot, pemerintah misalnya memiliki tools Sipongi.

Sipongi menggunakan citra Terra/Aqua (LAPAN), NPP (LAPAN) dan NOAA (ASMC) dan menampilkan hospot dengan tingkat kepercayaan 80% atau lebih.
Tools di atas memberikan informasi jumlah hotspot di Indonesia, dimana konsep hotspot merupakan titik panas pixel citra satelit yang menunjukkan lokasi dengan intensitas infra red yang tinggi.
“Sebaran hotspot belum tentu kebakaran”
Hal diatas merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan, karena tidak semua hotspot identik dengan kebakaran, karena hotspot merupakan interpretasi citra satelit dan belum menggambarkan peristiwa kebakaran.
Selain Sipongi terdapat juga beberapa tools yang dibangun oleh beberapa non profit seperti Global Forest Watch Fires.

Berbeda dengan Sipongi, Global Forest Watch Fires menampilkan beberapa hotspot global termasuk khusus untuk Indonesia yang kemungkinan mengacu ke Sipongi. Selain itu GFW Fires juga memunculkan fungsi analisis per negara atau sub-national (provinsi dan kabupaten) dengan menampilkan beberapa layer data seperti konsesi dan status kawasan dan wilayah administrasi.

Hasil kajian di atas dapat diperlakukan sebagai sebuah indikatif berdasarkan overlay hotspot dengan layer lain seperti konsesi.
Kedua tools sebenarnya bisa diakses oleh siapapun untuk membantu memberikan informasi mengenai wilayah hotspot sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan.
Kebijakan Pencegahan
Salah satu sorotan menarik sebenarnya adalah mempertanyakan kebijakan pencegahan dimana tools ini bisa memberikan ‘sejarah sebaran hotspot’ yang kemudian dapat digunakan untuk membuat kebijakan pencegahan.
Sipongi misalnya memberikan gambaran kondisi hotspot


Dari data di atas terdapat tren peningkatan di bulan Juli, dimana kemudian aksi pencegahan dapat dilakukan melalui dukungan kebijakan seperti pengecekan lapangan dan kebijakan pencegahan lainnya.
Juga dengan menggunakan GFW-Fires menggambarkan sebaran hotspot di beberapa bulan di Indonesia:
Juni – 5,610
July – 20,047
Agustus – 78,586
September (s/d 23 Sept) – 196,222
Jika ini dilakukan pada tingkat kabupaten sebenarnya trend hotspot dengan kejadian kebakaran cenderung satu arah, sehingga peningkatan jumlah hotspot yang terdeteksi jika di breakdown dalam hitungan mingggu maka proses pencegahan bisa dilakukan dengan menggunakan data hotspot.
Sekali lagi kebijakan pencegahan sebenarnya bisa dilakukan di bulan Juli, sehingga dampak kebakaran di September dapat diminimalkan.