Catatan Akhir Tahun: Inertia


Ada banyak hal yang ingin ditulis, tetapi sedikit yang bisa dituliskan. Salah satu yang sulit dilakukan adalah membawa ide-ide di kepala dan menuangkan kedalam tulisan. Dalam knowledge management memang ini proses awal yang sulit dimana mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge. Tahun ini ada beberapa perubahan yang dilakukan seperti mengubah blog ini menjadi www.musnanda.com, supaya mudah diakses, meskipun harus membayar domain ke wordpress. Mungkin saja alamat webbaru bisa mengubah juga semangat menulis.

Tidak banyak yang bisa dibuat tahun ini, keterbatasana ‘ruang’menjadi alasan penting karena ternyata sulit melakukan sesuatu. Ada beberapa hal yang bisa di highlight, misalnya tahun ini juga menarik karena saya bisa mewujudkan kegiatan TNC dengan membuat webGIS Berau, thanks to Bukapeta yang sudah menjadi mitra yang luar biasa baik.

Ada banyak hal yang belum terwujud, misalnya membuat sebuah jaringan pengelola data spatial di Berau yang saya piker bisa menjadi model sebuah collaborative action dimana banyak pihak dengan komitmen baik mengelola data spatial untuk kepentingan bersama. Ini bukan hal baru,karena saya pernah melakukan beberapa tahun yang lalu. Saat belum banyak orang yang ‘melek aspek keruangan’ saya dulu pernah membuuuat jaringan pengelola data spatial di Papua tahun 2002, dan pernah juga mendukung kegiatan yang sama di Aceh tahun 2007. Waktu di Papua itu saya terinspirasi pada jaringan semacam Forum GIS yang sedang banyak dibuat di luar sana dan terpisah-pisah atas beberapa tema penggunaan GIS di berbagai bidang.  Tetapi kondisi yang ada sekarang sebenarnya memungkinkan melakukan perubahan lebih drastic dimana ‘melek spatial’ harusnya dijadikan sebuah trend,  jika tidak maka hampir semua perencanaan ruang yang ada hanyalah dokumen kosong. Saya menjadi sadar bahwa ada banyak hal yang saya lakukan seperti  jalan ditempat, seperti melakukan sesuatu yang pernah saya lakukan dulu, semoga bukan seperti itu.

Terlepas dari data spatial, ada beberapa hal yang menjadi keinginan saya untuk lebih bekerja pada bidang planning khususnya development planning atau spatial planning yang terintegrasi, dimana dukungan perencanaan yang dilakukan bisa dilakukan pada level penyiapan data , pengelolaan, penggunaan sampai pada tingkat monitoring dan evaluasi. Sebuah mimpi dimana perencanaan bukan berhenti pada perencanaan tetapi menjadi sebuah instrument awal untuk mendukung pembangunan, khususnya pembangunan berkelanjutan. Satu hal yang juga penting adalah memperkenalkan suatu pendekatan yang mengintegrasikan proses perencanaan berbasis ruang dengan konsep perencanaan pembangunan secara menyeluruh. Bahwa konsep perencanaan tidak akan berjalan selama aspek spatial dan non spatial tidak dipadukan secara baik. Diskusi saya dengan seorang staff Bappeda di Berau sangat menarik, dimana ketika saya memberikan ilustrasi keterkaitan data spatial dan data pembangunan dijawab dengan contoh yang simple bagaimana RTRW dan RPJMD harusnya sejalan, sehingga perencanan didalam RPJMD bisa keluar dengan sebuah rencana yang menggambarkan apa kegiatan pembangunan-nya, dimana lokasi-nya, siapa saja yang terlibat dan berapa biaya yang dibutuhkan. Satu contoh simple lainnya adalah jika data puskesmas secara spatial dibangun dengan lokasi, jumlah staff dan dokter, jumlah kunjungan pasien, jenis penyakit, dll, Maka dalam perencanaan di sector kesehatan bisa dibuat skala prioritas mengenai mana daerah yang membutuhkan pembangunan kesehatan. Secara spatial ini hanya dilakukan dengan menggunakan  GPS, computer dengan program GIS dan seorang operator GIS dengan kemampuan mengolah data spatial dan data tabular. Semudah itu, tetapi mengapa tidak ada yang mengaplikasikannya.

Tahun harusnya menjadi momen penting untuk masuk karena ada perubahan kebijakan besar di tata ruang danjuga pengelolaan data spatial dengan adanya perubahan kepemimpinan yang lebih aware dengan permasalahan data spatial, kebijakan onemap dan juga penyatuan tata ruang dalam satu unit kementrian khusus. Seharusnya kebijakan ini mampu membuat tata ruang dan pengelolaan wilayah menjadi sebuah kebijakan yang terintegrasi.  Tetapi kebijakan di tanah ini memang belum tentu diimplementasikan, ada banyak alasan dibalik ini tetapi satu kata yang tepat menggambarkan bagaimana aspek perencanaan tidak bisa maju adalah ‘inertia’.

Hasil evaluasi blog ini tahun ini masih memunculkan tulisan mengenai ‘kawasan lindung dan budidaya’ sebagai satu tulisan yang paling banyak dibaca. Lucunya konsep ini menurut saya adalah konsep perencanaan ruang yang tidak tepat untuk Indonesia. Konsep zonasi yang diadopsi dari kebijakan colonial ini mengedepankan penguasaan kawasan oleh negara. Dalam konsep pembangunan nasional, penguasaan oleh negara ini ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Konsep in belum tentu dilaksanakan dengan benar,karena kemudian konsep ini berbeda dengan konsep penguasaan lahan tradisional. Konsep lindung dan budidaya hanya bisa berjalan baik ketika pengelolaan kawasan dilakukan dengan sebesar-besarnya memberikan manfaat untuk masyarakat, tetapi apakah dalam pelaksanaannya itu terjadi. Lucunya adalah konsep ini seperti  dua kapling besar dimana kawasan lindung seperti dikelola kehutanan dan kawasan budidaya dikelola agrarian. Bertahun-tahun zonasi kawasan didominasi oleh pemilahan kawasan hutan dan non hutan, dimana kawasan hutan yang dominan ini dikuasai oleh negara untuk semaksimal mungkin di kelola bagi kepentingan masyarakat. Tetapi siapa yang mengukur benefit apa yang kembali ke masyarakat ketika hutan dikelola sebagai wilayah kelola bisnis (seperti HPH dan HTI) dan kemudian benefit mengalir ke masyarakat?.  Sekali lagi inertia jadi kata kunci disini, yang menggambarkan bagaimana kebijakan dan pengambil kebijakan mengelola ruang dilakukan.
resumeblog2014

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s