Rencana Detail Tata Ruang bersama dengan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota telah diatur baik melalui Peraturan Pemerintah sampai pada Peraturan Kementrian, tengok saja Peraturan no 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW P, K/K dan RDTR. Juknis detail RDTR misalnya dapat ditelusuri lebih jauh dalam Permen ATR no 16 tahun 2018 dengan lampirannya serta penjelasan teknisnya.
RDTR memainkan peran penting dalam pelaksanaan pembangunan dikawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, tetapi RDTR merupakan dokumen perencanaan yang sangat terbatas ketersediannya. Misalnya jika kita telusuri peta interaktif GISTARU RDTR Interaktif (https://gistaru.atrbpn.go.id/rdtrinteraktif/), maka ketersediaan peta RDTR di Indonesia masih sangat terbatas. Kebanyakan peta RDTR yang tersedia di Indonesia hanya pada kawasan perkotaan dan jika ada kawasan perdesaan hanya di kawasan yang ditentukan sebagai Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus atau kawasan pembangunan khusus lainnya seperti Kawasan Wisata.
Kawasan perdesaan hampir merupakan kawasan yang paling jarang memiliki RDTR. Terutama pedesaan yang tidak masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Strategis Nasional dan rencana pembangunan ekonomi lainnya. Padahal RDTR sangat diperlukan untuk memastikan bahwa perencanaan dapat mendukung pengembangan pembangunan seperti pertanian dan perkebunan.
Ketika RDTR Tidak Tersedia
Tidak adanya RDTR menyebabkan pembangunan di kawasan pedesaan berjalan secara organik, dimana pembangunan akan mengikuti perkembangan ekonomi yang belum tentu sesuai dengan kondisi wilayah, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan kadang tidak selaras antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Menengok pembangunan kawasan pedesaan di Kalimantan dan Sumatera misalnya dengan tidak adanya RDTR, hampir semua kawasan APL didominasi oleh pembangunan perkebunan sawit yang kemudian kadang menggusur komoditas sebelumnya seperti karet, pertanian palawija dan bahkan pertanian sawah. Karena secara legal semua kawasan APL bisa diubah menjadi kawasan perkebunan sawit, maka tidak ada filter untuk menghitung sampai sejauh mana satu komoditas dapat dikembangkan.
Padahal dari sisi ketahanan pangan misalnya perlu adanya regulasi tata ruang yang mengatur prosentase kawasan pertanian pangan dan bahkan perlindungan kawasan pertanian. Akibat dari tidak adanya RDTR kemudian produk pertanian pedesaan akan sangat tergantung pada bahan-bahan yang didatangkan dari luar.
Permasalahan Transportasi di Indonesia sebenarnya sudah memasuki masa kritis. Kemacetan di kota kota besar sudah menjadi permasalahan setiap harinya. Jangankan Jakarta sebagai ibukota, kota kota satelit Jakarta sudah menjadi lokasi kemacetan. Ini akan bertambah jika kemudian kota besar seperti Surabaya, Medan atau bahkan kota propinsi seperti Jayapura.
Satu yang menjadi penyebabnya adalah tidak dilaksanakannya perencanaan Transportasi. Penyebab lainnya adalah Rencana Tata Ruang yang belum terintegrasikan dengan perencanaan Transportasi. Misalnya jika kita kaji lebih detail Rencana Detail Tata Ruang sebagai produk perencanaan yang mengatur zonasi secara detail, belum memasukkan aspek Transportasi secara akurat. Block block perumahan, industri, bisnis belum diatur dan dikalkulasikan berapa kebutuhan Transportasi yang kemudian direkomendasikan kebutuhan infrastructure jalan dan atau Transportasi publik seperti kereta api, bus umum, dll.
Perencanaan yang ada seperti mensahkan aspek keterlanjuran, dimana perencanaan berjalan dengan mengikuti pola pola yang sudah salah sebelumnya. Tidak banyak atau bahkan tidak ada perencanaan yang berniat merombak pola dan structure ruang yang ada demi memenuhi kebutuhan Transportasi dimasa datang.
Bukan hanya Tata Ruang, aspek perencanaan transportasi sebenarnya terabaikan dalam perizinan detail seperti IMB, atau perizinan berusaha terkait pembangunan perumahan dan atau bisnis atau industry. Jangan heran kalau kita sering menemui perumahan di wilayah dengan akses jalan 1 mobil saja padahal unit terbangun jumlahnya ratusan. Atau pernah mungkin melihat pembangunan pasar di pinggiran kota yang terbengkalai tidak terpakai karena tidak ada Transportasi menuju kesana.
Aspek lain yang terabaikan adalah lambatnya perencanaan Transportasi umum, yang kemudian baru disusun ketika tingkat kemacetan sudah tinggi. Masyarakat seperti dipaksa membeli Dan menggunakan kendaraan pribadi karena tidak adanya Transportasi umum.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara. Pajak karbon akan diberlakukan mulai 1 Juli 2022 sebesar 11% dan secara bertahap akan di menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Rencana 1 Juli 2022 ini merupakan pengunduran dari rencana pemberlakukan pada tanggal 1 April 2022.
Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap (batasan) yang ditetapkan.
Mengapa pajak karbon diperlukan tidak terlepas dari komitmen Indonesia dalam penurunan emisi. Komitmen ini merupakan bentuk mitigasi atas dampak perubahan iklim dimana dampaknya bisa berupa:
Kerugian yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan.
Penurunan kualitas kesehatan akibat bencana
Kerusakan ekosistem termasuk keanekaragaman hayati
Berujung pada kelangkaan pangan
Regulasi
Regulasi yang menjadi dasar dalam penentuan pajak karbon adalah UU no 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada Pasal 13:
Pokok-Pokok Pengaturan:
Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Arah pengenaan pajak karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas,keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Prinsip pajak karbon: prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Pemanfaatan penerimaan negara dari Pajak Karbon dilakukan melalui mekanisme APBN. Dapat digunakan antara lain untuk pengendalian perubahan iklim, memberikan bantuansosial kepada rumah tangga miskin yang terdampak pajak karbon, mensubsidi energi terbarukan, dan lain-lain. • Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat diberikan pengurangan pajak karbon.
Pemberlakuan Pajak karbon: berlaku pada 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara denganskema cap and tax yang searah dengan implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara
Peraturan Presiden no 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pasal 58:
Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.
Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar, PPnBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya pengenaan Pajak Karbon).
Untuk apa dana pajak karbon digunakan:
Pendanaan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim; ini termasuk kegiatan-kegiatan konservasi dan kegiatan untuk mencegah emisi gas rumah kaca.
Riset dan Investasi program inovasi pengurangan emisi, misalnya invenstasi untuk program zero emisi.
Dana pembangunan umum yang membantu proses penurunan emisi dan kegiatan pembangunan rendah emisi.
Pajak karbon akan dilakukan bertahap dimana ruang lingkup awal akan disasar pada kegiatan penghasil emisi terbesar seperti PLTU batubara, kedepannya pada kegiatan penyumbang emisi terbesar yaitu ENERGI dan TRANPORTASI.
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Keankaregaman Hayati secara Global atau Convention oh Biological Diversity. Tidak diragukan bahwa keanekaragaman hayati sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi sosial dan budaya. Sayangnya justru kegiatan manusia yang dilakukan tanpa memikirkin dampak menjadi ancamana atau kekayaan biodiversity / spesies asli Indonesia dan ekosistemnya. Dampaknya jelas sekali mulai dari bencana sampai kehilangan spesies penting.
Peningkatan pembangunan terutama skala besar perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan merupakan salah satu penyebab hilangnya kawasan hutan. Dengan sebaran terbesar di Kalimantan dan Sumater sampai saat ini total luasan kebun sawit di Indonesia mencapai 16 juta hektar atau seluas 250 kali luasan DKI Jakarta. Data lain menyebutkan luasan izin dan kawasan perkebunan mencapai 22 juta hektar. Hilangnya hutan identik dengan hilangnya habitat satwa seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan Kalimantan dan Sumater, badak Kalimantan.
Kesemua umbrella species besar tersebut merupakan spesies besar yang memiliki habitat dan daya jelajah yang luas. Dengan menyelamatkan habitat species di atas akan sekaligus melindungi habitat spesies lain yang ada didalamnya baik jenis-jenis seperti aves/burung, herpetofauna sampai pada spesies tumbuhan.
Salah satu kritik terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan hidup di Indonesia adalah mitigasi dilakukan secara tidak terencana. Biasanya mitigasi dilakukan belakangan sesudah dampak dan kerugian didapatkan. Padahal mitigasi harusnya bisa dilakukan pada tahapan perencanaan pembangunan dan ini dapat dilakukan dengan menggunakan skenario mitigasi mulai dari avoid, minimize dan restore.
Kegiatan pada tingkat kampung ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam perencanaan tata guna lahan. Sehingga masyarakat dapat merencanakan mana kawasan yang akan dilindungi, mana kawasan yang bisa diusahakan dengan penerapan prinsip minimize/restore dampak dan mana kawasan yang perlu diusahakan dengan offset atau pengalihan dampak ke usaha konservasi.
Apakah mungkin ini dilakukan?
Perencanaan tata ruang di Indonesia tidak menyentuh sampai tingkat kampung, juridiksi terkecil dalam RDTR misalnya sampai tingkat kecamatan. Tetapi jangan lupa bahwa pengelolaan kawasan di tingkat desa ada pada perencanaan desa/kampung dengan menggandeng perencanaan RPJM Desa/Kampung.
Beberapa kritik mengenai komitmen sustainability yang tidak sesuai dengan implementasi di lapangan sering bermunculan. Corporate besar yang bergerak dibidang perkebunan, kehutanan dan terlibat di supply chain komoditas tersebut sering muncul dalam berita terkait dengan komitmen sustainability dengan fakta lapangan yang tidak sesuai dengan janji yang sudah ditetapkan.
Salah satu pledge yang paling umum adalah zero deforestation, yang dapat diterjemahkan sebagai komitmen untuk tidak mengubah kawasan hutan menjadi non hutan. Komitmen ini akan berbeda dengan net deforestation yang dapat diterjemahkan sebagai kalkulasi kawasan yang terdeforestasi, dimana dalam praktek korporasi dapat berupa kalkulasi antara komitmen perlindungan lain seperti restorasi yang dilakukan oleh corporate.
Aspek Spatial
Salah satu kekurangan dalam kaitan komitmen sustainability adalah keterbatasan informasi spatial dalam rangka melakukan verifikasi dari komitmen sustainability. Yang paling mudah untuk menjadi contoh adalah misalnya komitmen perusahaan dalam melindungi kawasan HCV dari perusahaan anggota RSPO, hampir tidak ditemukan data spatial yang menunjukkan dimana kawasan HCV tersebut. Demikian pula dengan data HCS, misalnya pledge dari perusahaan untuk melindungi kawasan HCS belum dilengkapi dengan tools ataupun informasi mengenai bagaimana kawasan HCS ini dijaga dari waktu ke waktu.
RSPO bekerjasama dengan Global Forest Watch untuk batas konsesi anggotanya, tetapi data ini di overlay dengan tree loss and gain hanya akan menunjukkan perubahan tutupan lahan dari kawasan yang terbuka dan berubah menjadi perkebunan. Keterbatasan informasi mengenai data HCV atau data HCS yang spatially explicite menjadi penyebab sulitnya pihak ketiga seperti lembaga pemerhati lingkungan untuk melakukan cross check, misalnya melakukan dengan kajian spatial melalui analisis remote sensing.
Remote sensing memang menjadi kajian spatial paling relevan dalam melakukan pemantauan oleh pihak ketiga mengenai kondisi kawasan yang ada. Melalui kajian remote sensing dapat diketahui kawasan yang di pledge sebagai kawasan lindung karena nilai penting konservasi keanekaragaman hayati atau jasa lingkungan ini benar-benar dijaga.
Pelibatan Publik
Salah satu kelemahan dalam kaitan dengan penentuan komitmen perusahaan mengenai kawasan yang dilindungi dalam konsesi-nya adalah minimnya pelibatan publik dalam melakukan sosialisasi mengenai kawasan HCV atau kajian HCV. Pada kebanyakan kasus, pelibatan publik berupa konsultasi dilakukan dengan audience yang sangat terbatas. Bahkan banyak perusahaan yang melakukan konsultasi publik dalam kajian HCV atau HCS hanya sebagai pelengkap proses.
Minimnya pelibatan publik bisa mengakibatkan minimnya pengawasan pihak lain karena tidak adanya informasi mengenai kawasan HCV. atau HCS. Konsultasi publik yang minim bisa berakibat lain jika tidak melibatkan masyarakat sekitar, misalnya kawasan yang di exclude sebagai HCV kemudian dirambah karena dianggap tidak digunakan.
Implementasi
Implementasi lapangan menjadi titik penting apakah perusahaan melakukan komitmen-nya terkait dengan usaha melindungi kawasan penting bagi lingkungan didalam wilayahnya. Dalam proses implementasi misalnya tidak cukup memasang papan pengumuman tetapi yang terpenting dilakukannya pemantauan kondisi kawasan secara periodik sehinggat tetap terjaga.
Threshold atau ambang batas luasan wilayah yang perlu dikonservasi selalu menjadi pertanyaan yang menarik. Ditahun 2001 saya di Papua dan diperkenalkan konsep ecoregion oleh rekan-rekan peneliti dari lembaga WWF-US dimana kajian memperkenalkan konsep threshold dengan skenario 30% per wilayah ecoregion. Konsep ecoregion sendiri mengkaji batas-batas ecosistem dengan menggunakan layer-layer seperti geomorfologi, iklim, tanah dan biology, dan kemudian muncul kawasan seperti kawasan ecoregion highlind forest, moutain forest, dryland forest, mangrove forest, dll. Berapa persen yang perlu dilindungi per -ekoregion? Maka ditentukan skenario perlindungan 30% kawasan, 20% kawasan dan 10% kawasan per ecoregion.
Konsep konservasi berbasis landscape/bentang alam memang berkembang dengan cukup cepat. Salah satu pendorongnya adalah semakin mudahnya melakukan kajian pada skala bentang alam dengan menggunakan GIS. Kaajian-kajian lain berbasis pendekatan lanscape seperti bioregion, watershed/daerah aliran sungai, high conservation value forest sampai high carbon stock, bisa dilakukan dengan menggunakan model-model proximity dengan GIS sebagai tools. Tetapi ini tetap mempertanyakan berapa ambang batas luasan kawasan yang perlu dilindungi.
Saya menemukan satu artikel menarik Conservation Thresholds for Land Use Planners dari The Environment Law Institute yang mencoba menggali ambang batas untuk kepentingan konservasi dalam penataan ruang dengan fokus perencanaan tata guna lahan. Artikel di atas memuat bagaimana aspek konservasi menjadi sangat penting dalam penataan ruang (spatial planning) dan memperhatikan aspek-aspek mulai dari jasa ekosistem, biodiversity dan skala dari dampak dalam skala waktu panjang. Meskipun perhitungan threshold mengenai luasan kawasan yang perlu dikonservasi sangatlah bervariasi yang ditentukan oleh tipe-tipe ekosistem, jenis biodiversity dan aspek lainnya termasuk skala perencanaan.
Threshold atau ambang batas ini dmisalnya ditentukan dengan melihat aspek luasan patch area (wilayah/habitat), proporsi wilayah yang sesusi sepertipada halaman 14 disebutkan bahwa land use planners should strive to conserve at least 20% to 60% of natural habitat in a landscape. Damapak wilayah tepi yang terbuka dimaintai dengan buffer minimal 300 m, buffer sungai dan sumber air lainnya dengan leebar 25 m sampai 100 meter sesuaui dengan fungsi kawasan serta terakhir untuk memperhatikan konektifitas antar landscape dengan membuat kawasan koridor.
Buku diatas sangat menarik karena prinsip-prinsip lingkungan ini memang menjadi keharusan untuk diperhatikan, tentu saja dasar dari semua aspek tersebut penting karena kondisi kerusakan lingkungan hidup, baik jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati satu waktu akan berbalik merugikan manusia.
Lokasi: Kalimantan
Darimana angka 30%?
Dalam banyak perencanaan kawasan berbasis konservasi, sering dimasukkan threshold 30 persen kawasan perlu di lindungi. Angka ini banyak digunakan oleh perencana berdasarkan banyak kajian-kajian ilmiah yang menyebutkan pentingnya mempertahankan kawasan ekosistem asli paling tidak 30% dari luas kawasan. Ini berlaku baik untuk perencanaan konservasi jasa ekosistem (penyediaan air, dan sumberdaya alam lain) maupun konservasi keanekaragaman hayati (sebagai habitat penting). Jika angka ini tidak ada maka konsekwensinya adalah kekurangan sumberdaya air, bencana alam dan tentunya kepunahan keanekaragaman hayati. Ini mungkin menjelaskan mengapa Jawa dan Bali mengalami kepunahan harimau, dan terancam kepunahan badak, elang, dll.
Benar memang bahwa penentuan ambang batas tidak dapat digeneralisir dengan angka 30% tetapi konsekwensi tidak angka minimum adalah HARUS dilakukan kajian detail yang memasukkan keseluruhan aspek jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Jadi dengan tidak menetapkan angka maka perlu dilakukan kajian detail pada skala landscape yang terintegrasi.
Ambil contoh, jika perencanaan tata guna lahan ingin memastikan bahwa Jakarta terpenuhi kebutuhan airnya, maka kajian dapat dimulai dengan menghitung total kebutuhan air di Jakarta. Kemudian kajian melakukan perhitungan DAS-DAS mana saja yang menjadi kontributor bagi asupan air tanah DKI Jakarta, misalnya DAS Ciliwung, Cisadane dan Citarum. Kemudian dibuat kajian modelling pada kawasan 3 DAS tersebut berapa hektar kawasan perlu dilindungi/dibiarkan secara natural untuk memastikan kebutuhan air Jakarta terpenuhi. Selain itu terdapat serapan kawasan lokal dimana kemudian perlu dikalkulasi kembali berapa kawasan perlu menjadi kawasan hijau agar limpasan air terkendali dan tidak terjadi banjir. Data dan informasi hasil kajian ini yang kemudian diberi masukkan ke semua perencana di Jakarta.
Praktek penyusunan tata ruang di Indonesia mustinya dapat mengantisipasi beberapa hal terkait pandemi seperti Covid 19. Ini dilakukan baik pada skala regional maupun pada penyusunan Rencana Detail Tata Ruang. Pandemi Conid 19 mengajarkan kita bahwa ruang publik di Indonesia sangatlah kurang, kurangnya ruang publik misalnya akan menyebabkan adanya penumpukkan masyarakat pada aktifitas seperti rekreasi outdoor (taman, lokasi hiburan, dll). Selain itu penumpukkan masa terkait penyebaran fasilitas umum yang terbatas misalnya saja sarana tranportasi publik, sarana kesehatan, dll. Idealnya detail tata ruang sudah mampu memberikan rekomendasi dimana fasilitas umum ditempatkan sehingga mampu menampung kebutuhan sesuai dengan distribusi pendudukk (misalnya pemukiman).
Jika terjadi penumpukkan massa di GOR Senayan, salah satu alasan utama adalah tidak adanya fasilitas yang sama di wilayah lain, sehingga jika dilakukan survey maka akan didapatkan kunjungan ke Senayan berasal dari seluruh Jakarta dan sekitarnya. Bayangkan jika ada fasilitas yang sama di lokasi lain, tentu akan membagi pengunjung dan mengurangi kerumunan masa. Ini tidak terlepas dari minimnya rencana alokasi lahan untuk sarana Ruang Terbuka Hijau.
Peningkatan pergerakan masa dari luar Jakarta misalnya pergerakan komuter tidak terlepas dari tidak terintegrasinya antara perencanaan pemukiman dan perencanaan transportasi. Saat ini perkembangan pemukiman di sekitar Jakarta tidak diimbangi dengan perencanaan dan pembangunan sarana transportasi publik. Pergerakan yang besar menyebabkan penumpukkan masa di stasiun kereta api atau terminal bus. Perencanaan infrastruktur jalan juga harus mulai mengakomodir penumpukkan, ini dapat dilakukan dengan mulai merencanakan jalan dengan trotoar luas yang memadai yang memungkinkan bukan hanya pejalan kaki tetapi pengguna sepeda. Saya melihat ini dilakukan dibanyak kota di US dan Aus dengan trotoar yang luas.
Tata Ruang secara detail sebenarnya memungkinkan pengaturan ruang terbuka di setiap percil bangunan. Bangunan-bangunan publik yang memberikan jasa pelayanan seperti kependudukan, perpajakan, ijin mengemudi, dll semestinya mulai dirancang untuk membuat ruang terbuka yang dapat menampung antrian. Inipun dapat menjadi solusi untuk menghindari kerumunan di ruang jasa publik.
Perencanaan pembangunan infrastruktur juga seharusnya mulai mengakomodir trend baru terkait dengan pergerakan masa dengan saran pribadi seperti sepeda. Jalur sepeda di perkotaan seharusnya sudah menjadi keharusan. Ini harus dirancang pada saat perencanaan ruang detail, bukan kemudian dibuat dengan mengambil jalur kendaraan bermotor.
Pada skala regional pasca Covid 19 tata ruang harus mampu memberikan ruang untuk isu terkait ketahanan pangan. Bayangkan di Kalimantan misalnya alokasi kawasan APL (area penggunaan lain) yang memang untuk pembangunan didominasi oleh alokasi Perkebunan (90 persen kemudian menjadi sawit). Alokasi ruang perkebunan di Kabupaten atau provinsi bisa mencapai 70 % dari APL. Sementara alokasi pertanian rata-rata dibawah 10 persen. Resiko kedepannya adalah pada proses penggadaan pangan yang kemudian sangat tergantung pada impor. Selama puluhan tahun neraca perdagangan pertanian dan pangan kita selalu minus dan ini dapat diatasi dengan menggiatkan pertanian pada skala masyarakat dengan mempertahankan dan melindungi zonasi kawasan pertanian dari perubahan ke kawasan terbangun atau perkebunan skala besar.
Pada skala regioanal banyak juga terdapat kelemahan dalam penyusunan struktur ruang, dimana secara teoritis direncanakan kawasan-kawasan berdasarkan hirarki, tetapi dalam praktek perijinan dan perkembangan dilakukan secara organik berdasarkan perkembangan alami kawasan. Akibatnya terjadi kesenjangan kawasan yang menyebabkan penumpukkan fasilitas di wilayah perkotaan dan minimnya di kawasan pedesaan.
Jalan toll, fasilitas kawasan urban, dimana kualitas jalan yang sama tidak ada di pedesaan.
Pada bulan Oktober berdasarkan data Global Forest Watch Fire jumlah hotspot sekitar 358.099 hotspot, dengan pola peningkatan jumlah dari Juli sampai minggu ketiga September 2019. Kalkulasi ini menggunakan data dari NASA Fire Information for Resource Management Sytem (FIRMS). Diperkirakan 20% kebakaran hutan dan lahan ini terjadi di luar konsesi dan sisanya terdapat di lahan konsesi baik konsesi HPH, HTI dan perkebunan sawit.
Telah banyak kajian yang dilakukan untuk kebakaran hutan dan lahan, misalnya beberapa kajian atas kebakaran besar di tahun 1997-1998 dan juga kajian atas kebakaran hutan tahun 2015. Kajian tentang kebakaran 1997/1998 yang misalnya memberikan rekomendasi tentang perlu-nya koordinasi antar kelembagaan terkait, selain itu rekomendasi untuk menyusun tools untuk pemantauan resiko kebakaran dimana kedua rekomendasi tersebut sudah dijalankan. Beberapa rekomendasi lain adalah mengkaitkan resiko kebakaran dengan pengaturan perijinan sector kehutanan dan perkebunan serta upaya peringatan dini.
Citra Satelit menunjukkan bahwa kebakaran hutan terjadi pada kawasan tanah gambut dan sebagian kawasan tanah mineral. Kebakaran juga terjadi pada kawasan hutan dan kawasan konsesi seperti HTI dan konsesi perkebunan. Pola kebakaran ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya dengan wilayah yang terbakar terfokus pada beberapa wilayah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Pembelajaran Yang Belum Selesai
Hutan hujan tropis merupakan salah satu jenis hutan yang sebenarnya sulit terbakar secara alami, apalagi jika kawasan tersebut adalah hutan primer dengan beberapa tajuk pohon lebih dari 40 meter yang menyebabkan wilayah di bawah tajuk akan selalu lembab. Sementara itu gambut juga sulit terbakar jika tidak dikeringkan, karena wilayah gambut pada dasarnya adalah ekosistem basah yang akan sulit terbakar jika dalam kondisi alami. Ada banyak kajian ilmiah yang dapat digunakan untuk membantu mitigasi kebakaran hutan, misalnya riset mengenai iklim, termasuk pola-pola iklim el-nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan. Selaian itu riset tentang tipe-tipe hutan dikaitkan dengan kemudahan terbakar dan tipe vegetasi dikaitkan dengan kemudahan terbakar pada kondisi musim kemarau atau kemarau panjang. Beberapa riset lain bukan hanya hanya aspek fisik tetapi sosial dan ekonomi misalnya menyebutkan keterkaitan antara wilayah terbakar dengan penggunaan lahan, dimana beberapa wilayah hutan yang terbakar misalnya sangat erat dengan praktek pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan.
Pada tahun 1997/1998 terjadi kebakaran hebat di Indonesia dengan total wilayah terbakar sekitar 9,7 juta hektar berdasarkan estimasi Bappenas. Pada masa itu diperkirakan kebakaran terjadi di 176 lokasi yang merupakan konsesi perkebunan sawit, HTI dan wilayah pertanian transmigrasi. Kerugian kebakaran hutan di tahun 1997/1998 dilakukan oleh banyak pihak, salah satu nya Bappenas yang bekerjasama dengan ADB memperkirakan total kerugian mencapai 9,3 miliar dollar. Pada tahun 2015 terjadi kebakaran seluas 2,6 juta hektar dengan tersangka sekitar 63 perusahaan dengan total kerugian diperkirakan 210 triliun. Pada tahun 2015 terjadi kebakaran dikawasan konsesi dimana kejadian 2015 diproses oleh Kementrian dengan tuntutan ganti kerugian 3,15 triliun sedangkan yang sudah terbayarkan 78,5 milliar. Tahun 2019 sampai Oktober terbakar 328 ribu hektar dengan tersangka 52 perusahaan diantaranya 14 perusahaan asing.
Belajar dari Kebakaran Hutan Sebelumnya
Faktor iklim merupakan salah satu yang perlu diperhatikan, BMKG sejak akhir tahun 2018 telah mengeluarkan rilis akan potensi el nino di tahun 2019. BMKG misalnya merilis bahwa pengaruh el nino akan terasa sampai bulan Juli 2019 dimana akan terjadi kemarau yang panjang serta Juli-September 2019 iklim akan lebih kering dari pada tahun biasanya. Diperkirakan BMKG bahwa 25,5 persen wilayah berpotensi mengalami musim kemarau lebih maju, dan 24 persen wilayah berpotensi mengalami musim kemarau di atas normal.
Menteri LHK juga mengantisipasi dengan menyurati Gubernur mengenai antisipasi ini (Mongabay, 14 januari 2014). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga sudah mengetahui resiko ini dan melakukan antisipasi misalnya dengan meningkatkan pengawasan misalnya melaluii kegiatan yang dilakukan Manggala Agni. Sayangnya keluhan dari Daerah Operasi BPPIKHL antara lain kekurangan personil untuk melakukan pengawasan di wilayah yang cukup luas di seluruh Indonesia. Pada wilayah Riau (Kompas, 12 Nov, 2018) disebutkan bahwa satu personil meng-cover 72.926 hektar, sesuatu yang sangat kurang.
Pengaruh el-nino atas kejadian kebaranan hutan sebenarnya bukan hal baru untuk diketahui, dimana pada tahun 1997-1998 serta tahun 2015, kejadian kebakaran hutan besar terjadi pada saat terjadi fenomena iklim el-nino. Sayangnya informasi el-nino belum dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan secara menyeluruh, misalnya apakah unit seperti KPH, Kabupaten atau Provinsi sudah melakukan tindakan preventif dikaitkan dengan kejadian el-nino.
Aspek spatial sangat penting dalam pengambilan kebijakan terkait kebakaran hutan dan lahan, ketersediaan dan tentunya penggunaan informasi spatial dalam kebijakan pencegahan dan penanganan kebakaran hutan sangat penting untuk dilakukan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten sampai tingkat operasional. KLHK melalui webGIS sudah merislis peta kebakaran hutan dan public bisa mengakses format pdf dari peta kebakaran hutan tahun 2015-2016. Tentunya akan sangat menarik jika bisa ditampilkan bukan hanya pdf tetapi dalam webGIS dan dapat dioverlay layer lain termasuk dengan konsesi misalnya, sehingga konsesi bisa menggunakan data untuk melakukan tindakan ditahun-tahun kedepannya. Melalui aplikasi monitoring karhutla, KLHK misalnya merilis angka kebakaran hutan pertahun serta menyediakan informasi titik api dengan data dari LAPAN. Jika dicermati, wilayah-wilayah seperti Riau, Jambi, Kalimantan Tengah Beberapa lembaga lain misalnya WRI juga melakukan kegiatan pemetaan resiko kebakaran hutan dan membuat global forest watch fire untuk menampilkan titik api serta analisis-nya. WebGIS seperti SiPongi, global forest watch fire merupakan beberapa system berbasis web yang sangat berguna dan dapat diakses oleh public terkait dengan kebakaran hutan. Ada baiknya system berbasis web ini dapat digunakan sampai pada tingkat implementasi kebijakan.Salah satu ide yang bisa digunakan adalah menyusun sebuah platform berbasis web untuk membangun system peringatan dini kebakaran hutan. Ini bukan merupakan ide baru, tetapi perkembangan teknologi serta diskusi pengelolaan hutan diera digital akan mengarah pada penggunaan platform online.
Pemetaan wilayah terbakar secara time series sangat diperlukan, BIG dan KLHK misalnya akan menyusun peta rawan kebakaran hutan dan lahan yang disepakati untuk dilakukan di bulan September. Ini mungkin belum terlambat, tetapi pertanyaan lebih lanjut adalah apakah peta ini akan digunakan dalam penyusunan rencana kegiatan mitigasi kebakaran hutan mulai dari tingkat nasional sampai pada tingkat kabupaten atau bahkan konsesi? Membangun peta sebenarnya tidaklah cukup sampai kemudian peta tersebut digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan kehutanan di Indonesia. Pemetaan juga dapat digunakan dalam kaitan pencegahan, salah satu rekomendasi berdasarkan perkembangan teknologi adalah dengan penggunaan drone dalam melakukan kegiatan monitoring dan pemantauan wilayah yang terindikasi rawan kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih akan menjadi ancaman ditahun-tahun kedepan, penyebab baik vegetasi, ekologi, iklim serta aspek sosial dan ekonomi bahkan politik telah dikaji berdasarkan pengalaman karhutla sebelumnya. Demikian pula dengan rekomendasi-rekomendasi pencegahan, penanganan serta kebutuhan akan koordinasi dan kebijakan telah dirumuskan dalam kajian sebelumnya. Pertanyaan terbesar adalah apakah kita mau belajar dan terus memperbaiki diri dalam penanganan bencana karhutla untuk tujuan-tujuan kebaikan bersama.