Spatial Planning in Indonesia: where no planner found in remote area


I can not counting how many days since my last visit to all remote and isolated area in Indonesia… plenty. In every place I was visited I learn many things and also leaned very same thing. Same thing I learned was gap knowledge between urban and rural/remote area.

I area of planning/regional planning, I learned that huge gap in spatial planning, development planning in government. As a planner I also questioned ‘ where all planner go…?” Are they all in town ? Why they had no intention to visit rural area or remote area where development planning or spatial planning needed?

Can you imagined that even planning regulation such as regulation from ministry such as regulation no 16 about District Planning is a new knowledge when I give a presentation about that. Same with regulation no 54 year 2010 about development planning.

This could be an answer a question ‘ why development planning and or spatial planning walk with very slow progress?”.

 

 

Perkembangan Aplikasi Spatial Daerah Hampir Tidak Ada


Perkembangan suatu wilayah pada dasarnya tidak akan pernah lepas dari kemampuan wilayah tersebut untuk menggali potensi wilayah dengan pendekatan yang terintegrasi seluruh sektor. Salah satu metode yang sangat penting mengintegrasikannya adalah dengan merangkum dalam  pendataan spatial.

Beberapa kali saya ditawari kegiatan yang terkait dengan pendataan spatial, tetapi lebih banyak sifatnya sektoral dan tidak menyentuh seluruh aspek. Ini umumnya terjadi di wilayah-wilayah kabupaten dimana otonomi daerah berlangsung. Pendataan spatial yang dilakukan di daerah sifatnya hanya sementara dan umumnya dikerjakan oleh pihak ketiga. Tanpa benar-benar melibatkan pihak daerah yang harusnya merupakan pengambil keputusan.

Saya mencoba mencari informasi wilayah-wilayah mana saja yang sudah melakukan pendataan spatial. Jawabannya adalah pendataan spatial banyak dilakukan pada skala propinsi, pada sekala kabupaten masih sangat jarang. Pendataan propinsipun terbatas pada pengumpulan data spatial yang pada akhirnya tidak mampu diaplikasikan di tingkat kabupaten, karena ketika masuk ke kabupaten akan terhalang oleh otonomi kabupaten yang akhirnya merencanakan pembangunan tanpa data spatial yang akurat.

Pada sekala propinsipun belum banyak propinsi yang secara integral mampu merangkum, memiliki knowledge sendiri untuk mengelola data spatial. Di beberapa propinsi, data spatial yang dirangkum lebih banyak dilakukan oleh pihak ketiga, pengguna data sendiri  data sendiri tidak mampu mengupdate data dan terus tergantung pada pihak ketiga.

Pada tingkat kabupaten data spatial yang ada sangat terbatas dan tidak terangkum didalam database kabupaten, Misalkan dalam pengerjaan Rencana Tata Ruang Wilayah, pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh pihak ketiga. Data spatial yang dibangun hanya dimiliki oleh konsultan dan tidak dishare ke pihak pemerintah. Pada kasus lain, jikapun dishare, pemerintah dalam hal ini kabupaten tidak memiliki kemampuan untuk mengolah dan mengupdate data spatial yang ada.

Sharing data antar wilayah national, propinsi dan kabupaten menjadi PR lain yang belum pernah selesai. Data spatial pada saat ini masih terpusat, semakin turun ke kabuopaten data spatial makin sulit didapat dan semakin out of date. Seperti siklus yang salah karena fakta ini menyebabkan pekerjaan terkait data spatial lebih efektif dilakukan oleh pihak ketiga yang memiliki akses data ditingkat pusat.

Sementara perkembangan di Indonesia terkait dengan penggunaan data spatial dalam perencanaan begitu tertinggal, di luar negeri aplikasi spatial sudah berkembang lebih jauh. Aplikasi yang sifatnya pengembangan model untuk aplikasi perencanaan belum bisa diaplikasikan karena pengumpulan data spatial saja belum bisa dilakukan.

 

 

Perencanaan Wilayah dan Kebijakan Daerah


Pendahuluan

Perencanaan wilayah erat kaitannya dengan kebijakan yang diambil oleh pemimpin daerah. Pada banyak kasus kebijakan mengalahkan runutan-runutan logis yang telah dituangkan dalam perencanaan wilayah. Belajar dari pengalaman di banyak daerah di Indonesia, penulis melihat bahwa ada jurang yang memisahkan antara perencanaan wilayah dengan kebijakan yang diambil. Seringkali teori-teori perencanaan yang kemudian dituangkan dalam Dokumen Perencanaan wilayah berbeda dengan praktek perencanaan. Brooks (2002) dalam bukunya Planning Theory for Practitioners menyebutkan bahwa seringkali teori perencanaan berbeda dengan prakte yang ada dilapangan.

Salah satu akar perbedaan utama adalah adalah faktor kebijakan yang dambil oleh para pengambil keputusan, kebijakan ini seringkali sifatnya tergesa-gesa dan disesuaikan dengan kondisi saat itu. Padahal berbicara mengenai perencanaan, berarti berbicara mengenai kurun waktu yang cukup panjang 5-25 tahun.

Perencanaan Wilayah

Hampir semua perencanaan wilayah merupakan penjabaran dari visi dan misi yang dibuat oleh pemimpin daerah terpilih. Sebuah visi dan misi daerah yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Kemudian diturunkan menjadi perencanaan wilayah sebagai  satu produk. Perencanaan ini menjadi acuan dalam pembangunan, yang memberi warna bagi perkembangan suatu wilayah.

Perencanaan wilayah bergerak dari kebutuhan, berdasarkan data dan informasi detail suatu wilayah, analisis dengan pendekatan-pendekatan lengkap mulai dari sosial, budaya sampai ekonomi.

Kebijakan

Suatu kebijakan dalam suatu daerah baik propinsi atau kabupaten merupakan suatu aturan hukum yang diharapkan mampu menjadi acuan dalam pengambilan tindakan. Kebijakan berupa Perda, Keputusan-keputusan Gubernur/Bupati menjadi acuan paling detail dalam menjawab permasalahan di daerah.

Kebijakan mampu meberikan dampak positif bagi suatu wilayah, tidak memungkin juga kebijakan akan memberikan dampak negatif. Sifatnya yang mengikat, mampu menggerakkan suatu perubahan dalam sekala yang paling kecil atau sekala yang paling besar. Kebijakan terkait wilayah akan menjadi aturan legal yang mengikat.

Gap

Gap antara perencanaan wilayah dengan kebijakan disuatu wilayah misalnya terjadi karena ketidak sesuaian, baik yang terlihat langsung dan berdampak langsung, ataupun yang berdampak dikemudian hari. Mengapa gap itu ada? Ada beberapa hal yang bisa dijabarkan disini:

– Kebanyakan perencanaan wilayah dilakukan oleh Konsultan, dalam banyak kasus konsultan yang paling bagus sekalipun sering gagal memberikan perencanaan wilayah yang baik dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Bayangkan dengan term kontrak 3-6 bulan, harus membuat suatu perencanaan lengkap suatu wilayah, maka banyak hal yang terlewati atau salah diperhitungkan.

– Perencanaan cenderung seragam, konsep-konsep yang diatur menurut UU sampai Kepmen dijabarkan secara kaku tanpa melihat kondisi manusia atau bahkan kondisi wilayah. Tentu saja bagi yang pernah melakukan review suatu dokumen penataan ruang pernah melihat output perencanaan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dilapangan.

– Kebijakan juga sering merupakan jawaban cepat atas kondisi yang ada, misalnya zonasi kawasan lindung dan budidaya seringkali diubah dengan kebijakan penentuan lokasi oleh pemimpin daerah.

– Rentang waktu perencanaan merupakan rentang waktu yang panjang, dan ini sering berbeda dengan rentang waktu kebijakan yang seringkali hanya menjawab suatu permasalahan.

Sebuah Solusi

Beberapa solusi bisa ditawarkan disini, terkait dengan menjebatani gap yang ada:

– Perencanaan mustinya dilakukan penuh oleh Dinas Terkait, Bappeda. Sistem perencanaan yang sifatnya proyek harus diubah. Perencanaan dilakukan oleh Dinas  dengan membentuk tim yang sebagian besar berbasis pada sumberdaya daerah, dengan mengambil beberapa tenaga ahli temporary.

– Perencanaan mustinya menjadi payung, disahkan secara hukum mnejadi Perda sehingga sifatnya mengikat. Ada banyak kasus dimana daerah menunda pengesahan Rencana Tata Ruang karena takut akan mengikat.

Adalah harapan banyak pihak yang menginginkan bahwa perencanaan wilayah mampu memberikan jawaban akan kebutuhan pembangunan, baik pembangunan fisik dan tentu saja intinya pembangunan manusia. Bahwa kualitas pembangunan yang baik hanya bisa diraih oleh suatu perencanan wilayah yang baik dan didukung oleh kebijakan daerah sebagai penjabaran detail dari setiap tujuan perencanaan yang dibuat. Pada tahap ini benar-benar diperlukan suatu pengertian yang dalam mengenai kata “bijak” sebagai kata dasar dari kebijakan.