Untuk kita yang tinggal di Jakarta, taman dan ruang terbuka hijau merupakan area yang sulit ditemukan. Tidak heran ruang terbuka hijau yang tersisa seperti wilayah Gelora Senayan atau wilayah sisa mangrove di Pantai Indah Kapuk selalu ramai dikunjungi oleh penduduk Jakarta. Apalagi jika berbicara mengenai area yang masih menyisakan satwa liar, hampir tidak ada lagi kawasan alami di Jakarta sebagian kawasan ini sudah tidak memiliki satwa liar. Karena itu menjumpai satwa seperti capung yang merupakan indikator kondisi lingkungan baik tidak akan ada lagi di Jakarta, yang tersisa mungkin hanya burung-burung dan itupun jenis burung kecil seperti burung-gereja erasia (Passer montanus).
Salah satu konsep perencanaan strategis konservasi kawasan perkotaan yang diinisiasi oleh TNC adalah konsep greenprint. Perencanaan yang dilakukan menilai baik sisi ekonomi dan sosial dari taman dan ruang terbuka hijau lainnya. Ini akan memberikan keuntungan termasuk peluang sebagai kawasan rekreasi untuk taman, jalur hijau, perlindungan habitat dan konektivitasnya termasuk jasa-jasa lingkungan air dan ketahanan atas pengaruh perubahan iklim.
Konsep greenprint ini memadukan antara pendekatan berbasis multipihak dimana masyarakat diminta pendapatnya mengenai kawasan yang penting untuk dijaga sebagai kawasan hijau, sisi budaya lokal dan juga pendekatan berbasis ilmiah. Pihak yang diikut sertakan mulai dari masyarakat umum, koorporasi sampai pemerintahan.
Tahap awal kajian bisa dilakukan dengan memetakan kawasan terbuka yang ada dan menghubungkan dengan informasi lain seperti kepemilikan. Kegiatan ini termasuk memetakan kawasan penting dari sisi lingkungan yang memerlukan perhatian dan perlu dijaga kelestariannya seperti sepadan sungai, situ dan hutan/taman kota yang ada. Kemudian dapat disusun kebijakan yang ditujukan untuk menjaga kawasan ini termasuk dilakukan proses trade off jika memang dibutuhkan.
Berikut ringkasan pengertian greenprint.

Adapun beberapa pembelajaran dari tempat lain yang melakukan perencanaan kawasan perkotaan dengan pendekatan greenprint dapat dilihat dari Melbourne: https://www.nature.org/en-us/what-we-do/our-insights/perspectives/living-melbourne–greenprinting-a-metropolis/

Dari flow di atas terlihat framework dimulai dengan perencanaan berbasis lingkungan yang memasukkan aspek perencanaan berbasis manusia, alam dan sumberdaya alam / natural capital. Ini kemudian menjadi dasar dalam menyusun visi dan misi yang lebih memperhatikan aspek lingkungan. Follow up nya adalah serangkaian aksi mulai dari usaha melindungi dan memperbaiki kualitas habitat kawasan, menentukan target, scalling up, kolabirasi, membangun alat-alat bantu perencanaan dan monev serta penggalangan dana.
Peluang Penerapan Greenprint
Kota besar seperti Jakarta saat ini diperkirakan hanya menyisakan kawasan ruang terbuka hijau sekitar 10% saja dari total luasan. Angka ini jauh dari kebijakan tata ruang yang merekomendasikan 30% kawasan perkotaan merupakan kawasan ruang terbuka hijau. Pada PP no 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja angka 30% kemudian dibagi atas 20% kawasan RTH publik dan 10% kawasan ruang terbuka hijau milik private/swasta/koorporate.

Penerapan greenprint di Jakarta masih memungkinkan dengan menyusun sebuah kajian detail berbasis ilmiah dan tentunya pelibatan publik. Misalnya bagaimana menyusun sebuah pola ruang terbuka hijau yang mampu melayani semua kawasan dengan baik, atau menyusun rencana restorasi pada kawasan sensitif secara jasa lingkungan dan rawan bencana untuk menjadi kawasan lindung.
Konsep greenprint bisa dilakukan dengan melakukan beberapa kajian, misalnya:
- Kajian Terkait Bencana Lingkungan misalnya Banjir
- Kajian Terkait Mitigasi Polusi Udara
- Kajian Terkait Pengembalian Fungsi Kawasan untuk Satwa
- Kajian Kebijakan termasuk trade off
Salah satu tantangan terbesar di pendekatan yang akan dilakukan adalah menggali peluang kolaborasi terbaik. Bahkan pada wilayah dengan sistem dan kerjasama yang baik, kolaborasi antara multipihak selalu menjadi tantangan awal. Akan banyak upaya yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan semua effort sehingga perencanaan kota berbasis lingkungan bisa berjalan.

Ada banyak kajian lain yang bisa dilakukan, ini bisa juga dikaitkan dengan pemanfaatan sisa-sisa areal pekarangan per persil bangunan dengan melakukan penanaman tanaman tertentu yang memiliki fungsi hidrologis dan menjadi habitat burung atau satwa lain.
Kota-kota lain di Indonesia tidak lebih baik dari Jakarta, misalnya Semarang diperkirakan RTH publik yang tersisa hanya 3,97% saja. Kota lain seperti Bandung hanya 12,2 persen, Surabaya 21 % dan Cirebon hanya 10%. Dengan kondisi kawasan RTH kota-kota di Jawa yang semuanya dibawah target tata ruang, maka penerapan greenprint dapat dilakukan untuk memaksimalkan kawasan yang ada atau menambah kawasan melalui kegiatan trade off.
Peluang Penerapan di Luar Jawa
Satu fakta yang menarik di seluruh Indonesia adalah kota-kota terbangun secara organik. Mungkin hanya beberapa kota yang dibangun dengan blue print perencanaan yang baik, ambil contoh Palangkaraya yang pernah direncanakan sebagai Ibu Kota sejak tahun 50-an. Pembangunan yang organik ini dalam prakteknya akan semakin menggusur kawasan-kawasan hijau di tengah kota dan beralih menjadi kawasan terbangun untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Kota-kota rentan banjir seperti Samarinda hanya 5% dan Banjarmasin yang baru saja tergenang hanya memiliki kawasan RTH dibawah 5% dari luas daratannya.
Konsep greenprint menjadi menarik untuk dilakukan pada wilayah-wilayah di luar Jakarta yang masih memiliki luasan kawasan terbangun yang lebih sedikit. Yang terpenting untuk kawasan diluar Jawa adalah untuk belajar dari minimnya perencanaan kota berbasis lingkungan hidup, selain akan sangat nyaman jika bisa memiliki kota yang hijau, masih bisa melihat taman dan hutan kota dengan kupu-kupu dan burung serta satwa lain berkeliaran.