Peluang Penggunaan Konsep Greenprint Pada Rencana Tata Ruang Perkotaan


Untuk kita yang tinggal di Jakarta, taman dan ruang terbuka hijau merupakan area yang sulit ditemukan. Tidak heran ruang terbuka hijau yang tersisa seperti wilayah Gelora Senayan atau wilayah sisa mangrove di Pantai Indah Kapuk selalu ramai dikunjungi oleh penduduk Jakarta. Apalagi jika berbicara mengenai area yang masih menyisakan satwa liar, hampir tidak ada lagi kawasan alami di Jakarta sebagian kawasan ini sudah tidak memiliki satwa liar. Karena itu menjumpai satwa seperti capung yang merupakan indikator kondisi lingkungan baik tidak akan ada lagi di Jakarta, yang tersisa mungkin hanya burung-burung dan itupun jenis burung kecil seperti burung-gereja erasia (Passer montanus).

Salah satu konsep perencanaan strategis konservasi kawasan perkotaan yang diinisiasi oleh TNC adalah konsep greenprint. Perencanaan yang dilakukan menilai baik sisi ekonomi dan sosial dari taman dan ruang terbuka hijau lainnya. Ini akan memberikan keuntungan termasuk peluang sebagai kawasan rekreasi untuk taman, jalur hijau, perlindungan habitat dan konektivitasnya termasuk jasa-jasa lingkungan air dan ketahanan atas pengaruh perubahan iklim.

Konsep greenprint ini memadukan antara pendekatan berbasis multipihak dimana masyarakat diminta pendapatnya mengenai kawasan yang penting untuk dijaga sebagai kawasan hijau, sisi budaya lokal dan juga pendekatan berbasis ilmiah. Pihak yang diikut sertakan mulai dari masyarakat umum, koorporasi sampai pemerintahan.

Tahap awal kajian bisa dilakukan dengan memetakan kawasan terbuka yang ada dan menghubungkan dengan informasi lain seperti kepemilikan. Kegiatan ini termasuk memetakan kawasan penting dari sisi lingkungan yang memerlukan perhatian dan perlu dijaga kelestariannya seperti sepadan sungai, situ dan hutan/taman kota yang ada. Kemudian dapat disusun kebijakan yang ditujukan untuk menjaga kawasan ini termasuk dilakukan proses trade off jika memang dibutuhkan.

Berikut ringkasan pengertian greenprint.

Adapun beberapa pembelajaran dari tempat lain yang melakukan perencanaan kawasan perkotaan dengan pendekatan greenprint dapat dilihat dari Melbourne: https://www.nature.org/en-us/what-we-do/our-insights/perspectives/living-melbourne–greenprinting-a-metropolis/

Dari flow di atas terlihat framework dimulai dengan perencanaan berbasis lingkungan yang memasukkan aspek perencanaan berbasis manusia, alam dan sumberdaya alam / natural capital. Ini kemudian menjadi dasar dalam menyusun visi dan misi yang lebih memperhatikan aspek lingkungan. Follow up nya adalah serangkaian aksi mulai dari usaha melindungi dan memperbaiki kualitas habitat kawasan, menentukan target, scalling up, kolabirasi, membangun alat-alat bantu perencanaan dan monev serta penggalangan dana.

Peluang Penerapan Greenprint

Kota besar seperti Jakarta saat ini diperkirakan hanya menyisakan kawasan ruang terbuka hijau sekitar 10% saja dari total luasan. Angka ini jauh dari kebijakan tata ruang yang merekomendasikan 30% kawasan perkotaan merupakan kawasan ruang terbuka hijau. Pada PP no 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja angka 30% kemudian dibagi atas 20% kawasan RTH publik dan 10% kawasan ruang terbuka hijau milik private/swasta/koorporate.

Blok tersisa RTH DKI Jakarta di Taman Mini, Kebun Binatang Ragunan, Mangrove Pantai Kapuk dan Senayan.

Penerapan greenprint di Jakarta masih memungkinkan dengan menyusun sebuah kajian detail berbasis ilmiah dan tentunya pelibatan publik. Misalnya bagaimana menyusun sebuah pola ruang terbuka hijau yang mampu melayani semua kawasan dengan baik, atau menyusun rencana restorasi pada kawasan sensitif secara jasa lingkungan dan rawan bencana untuk menjadi kawasan lindung.

Konsep greenprint bisa dilakukan dengan melakukan beberapa kajian, misalnya:

  1. Kajian Terkait Bencana Lingkungan misalnya Banjir
  2. Kajian Terkait Mitigasi Polusi Udara
  3. Kajian Terkait Pengembalian Fungsi Kawasan untuk Satwa
  4. Kajian Kebijakan termasuk trade off

Salah satu tantangan terbesar di pendekatan yang akan dilakukan adalah menggali peluang kolaborasi terbaik. Bahkan pada wilayah dengan sistem dan kerjasama yang baik, kolaborasi antara multipihak selalu menjadi tantangan awal. Akan banyak upaya yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan semua effort sehingga perencanaan kota berbasis lingkungan bisa berjalan.

Konsep kerjasama multipihak dan penggunaan tools dalam kerangka greenprint di New York: https://www.nycgovparks.org/download/summit-2016-DEPTNC-maxwell-emily.pdf

Ada banyak kajian lain yang bisa dilakukan, ini bisa juga dikaitkan dengan pemanfaatan sisa-sisa areal pekarangan per persil bangunan dengan melakukan penanaman tanaman tertentu yang memiliki fungsi hidrologis dan menjadi habitat burung atau satwa lain.

Kota-kota lain di Indonesia tidak lebih baik dari Jakarta, misalnya Semarang diperkirakan RTH publik yang tersisa hanya 3,97% saja. Kota lain seperti Bandung hanya 12,2 persen, Surabaya 21 % dan Cirebon hanya 10%. Dengan kondisi kawasan RTH kota-kota di Jawa yang semuanya dibawah target tata ruang, maka penerapan greenprint dapat dilakukan untuk memaksimalkan kawasan yang ada atau menambah kawasan melalui kegiatan trade off.

Peluang Penerapan di Luar Jawa

Satu fakta yang menarik di seluruh Indonesia adalah kota-kota terbangun secara organik. Mungkin hanya beberapa kota yang dibangun dengan blue print perencanaan yang baik, ambil contoh Palangkaraya yang pernah direncanakan sebagai Ibu Kota sejak tahun 50-an. Pembangunan yang organik ini dalam prakteknya akan semakin menggusur kawasan-kawasan hijau di tengah kota dan beralih menjadi kawasan terbangun untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Kota-kota rentan banjir seperti Samarinda hanya 5% dan Banjarmasin yang baru saja tergenang hanya memiliki kawasan RTH dibawah 5% dari luas daratannya.

Konsep greenprint menjadi menarik untuk dilakukan pada wilayah-wilayah di luar Jakarta yang masih memiliki luasan kawasan terbangun yang lebih sedikit. Yang terpenting untuk kawasan diluar Jawa adalah untuk belajar dari minimnya perencanaan kota berbasis lingkungan hidup, selain akan sangat nyaman jika bisa memiliki kota yang hijau, masih bisa melihat taman dan hutan kota dengan kupu-kupu dan burung serta satwa lain berkeliaran.

Perencanaan Wilayah: Tidak Semua Harus Menjadi Kota


Miinggu ini saya mendapat satu pertanyaan dari masyarakat satu kampung yang jaraknya 200 km lebih dari pusat ibu kota kabupaten. “Bagaimana perencanaan desa yang bagus?”.

Wah,senuah pertanyaan singkat tapi tajam yang membuat saya kagum. Saya tidak menjawab langsung, tapi saya menggali dulu informasi sebelumnya yang saya sudah dapatkan dari  masyarakat desa yang mereka inginkan. Pada intinya permintaan masyarakat desa adalah sederhana; dari sisi ekonomi kebutuhan masyarakat terpenuhi, adanya fasilitas yang memenuhi kebutuhan, pendidikan dan kesehatan.

Saya memberikan jawaban singkat ” perencanaan pembangunan desa yang baik pada dasarnya bukan mengubah desa menjadi kota dengan acuan pembangunan fisik kota sebagai indikator kemajuan. Tetapi yang paling penting adalah membangun masyarakat desa untuk memiliki tingkat kehidupan yang sama dengan masyarakat kota  dengan tetap memiliki kondisi pedesaan”

Bahwa pembangunan yang ideal  seharusnya diukur dengan indikator indikator pembangunan manusia melalui Index Pembangunan Manusia yang diukur melalui kesehatan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih, Saya memberikan ilustrasi dimana masyarakat desa bisa tinggal di rumah bagus dengan listrik tersewdia, air bersih tersedia dan fasilitas sanitasi yang baik, kemudian anak bersekolah yang baik (sama dengan kota), fasilitas kesehatan yang baik dan tentunya tingkat pendapatan yang tinggi.

Menjadi maju bukan berarti wilayah memiliki seberapa banyak mall, seberapa banyak kendaraan. Jangan kemudian semua semua daerah menjadi kota Jakarta lengkap dengan atribut macetnya, polusinya, banjirnya.  Perlu effort besar untuk memberikan pengertian bahwa esensi kemajuan adalah manusia, bukan ifrastruktur atau capital semata.

 

Geography Economy: Pengembangan VCO di Papua


Indonesia merupakan satu negara dengan garis pantai terpanjang. Sebagai  kepulauan Indonesia mempunyai panjang garis pantai 95.181 km, dihitung dari 17.480 pulau yang ada di Indonesia AS, Kanada dan Rusia masing-masing menduduki posisi 1 sampai 3.

Peta Indonesia
Peta Indonesia

Kawasan pantai merupakan kawasan yang sangat rentan dari akibat perubahan iklim, dimana kenaikan permukaan air laut akibat melelehnya es karena perubahan iklim akan langsung mengenai wilayah pantai. Kawasan ini juga rentan karena aktifitas manusia cenderung menempati wilayah pantai dengan membuka tutupan vegetasi yang ada di atasnya. Lebih sering kawasan hutan ini.

Dengan posisi  Indonesia yang berada di wilayah tropis maka sepanjang pantai itu juga terdapat tanamana-tanaman produksi yang sangat berpotensi yaitu salah satunya tanaman kelapa.

Pantai di Sarmi
Pantai di Sarmi

Pada wilayah-wilayah pantai tersebut potensi pengembangan kelapa sangat besar, kelapan-kelapa ini bisa diolah menjadi banyak produk. Salah satu produk yang punya nilai tinggi adalag VCO atau virgin coconut oil.

IFACS membantu Yayasan IPI dalam memberikan pendampingan pembuatan VCO di Sarmi, Yayasan ini bekerja di desa Yamna, Betaf dan Beneraf. Kegiatan ini sebelumnya pernah juga mendapat dukungan dari UNDP. IFACS memberikan grant ke Yayasan IPI untuk membantu masyarakat dalam melakukan kegiatan di 3 desa tersebut dan membantu masyarakat dalam memproduksi sampai pemasaran VCO.

Kunjungan ke grantee di Betaf
Kunjungan ke grantee di Betaf

produksi VCO Sarmi_1

 

Hasil produksi VCO di 3 kampung ini sangat bagus, masyarakat bisa memproduksi sekitar 10-30 liter perhari.

Dalam rangka  aspek perubahan iklim juga dilakukan rehabilitasi tanaman dengan kegiatan penanaman pohon.

Zonasi
Zonasi

Capacity Building: Tidak Semudah Yang Dibayangkan


Buat yang kerja dibidang development atau humanitarian mungkin kata ini bukan istilah baru dan sudah menjadi bagian dari pendekatan program yang dibuat. Diartikan sebagai penguatan ketrampilan, kemampuan dan kompentensis bagi masyarakat dalam menghadapi permasalahan.

 

Dari wikipedia:

 

Capacity building also referred to as capacity development is a conceptual approach to development that focuses on understanding the obstacles that inhibit people, governments, international organizations and non-governmental organizations from realizing their developmental goals while enhancing the abilities that will allow them to achieve measurable and sustainable results.

 

The term capacity building emerged in the lexicon of international development during the 1990s. Today, “capacity building” is included in the programs of most international organizations that work in development, the World Bank (World Bank), The United Nations (UN) and non-governmental organizations (NGOs) like Oxfam International. Wide usage of the term has resulted in controversy over its true meaning. Capacity building often refers to strengthening the skills, competencies and abilities of people and communities in developing societies so they can overcome the causes of their exclusion and suffering.

 

Tidak semudah teorinya capacity building dalam implementasinya ternyata sulit sekali dengan beberapa alasan.

 

1.  Tanpa assessment awal

Tanpa kajian awal program pengembangan kapasitas bisa menjadi program yang sia-sia.

 

2. Ekpektasi yang terlalu tinggi

Program pengembangan kapasitas adalah program jangka panjang.

 

3. Kecenderungan memasukkan hal yang totally baru 

Gabungan dari tanpa kajian awal dan ekpekasi yang terlalu tinggi menyebabkan banyak program pengembangan kapasitas yang dilakukan cenderung memberikan program atau intervensi yang sama sekali baru. Pada banyak kasus program yang sama sekali baru akan selalu gagal karena memerlukan proses adopsi yang panjang sebelum bisa dilakukan.

GIS-Partisipatif: Sudah Saatnya Diaplikasikan di Indonesia


Ini merupakan re-posting dari tulisan saya yang pernah dimuat di web Buana Katulistiwa, Tulisan ini pernah di re-posting oleh beberapa rekan geograf dalam beberapa blog. Saya melakukan sedikit  dengan sedikit perbaikan sebelum re-posting di blog pribadi saya:

_______________________________________________________________

As much as guns and warships, maps have been the weapons of imperialism. Insofar as maps were used in colonial promotion, and lands claimed on paper before they were effectively occupied, maps anticipated empire. Surveyors marched alongside soldiers, initially mapping for reconnaissance, then for general information, and eventually as tools of pacification, civilization, and exploitation in the defined colonies. But there is more to this than the drawing of boundaries for the practical political or military containment of subject populations. Maps were used to legitimize the reality of conquest and empire. They helped create myths which would assist in the maintenance of the territorial status quo. As communicators of an imperial message, they have been used as an aggressive complement to the rhetoric of speeches, newspapers, and written texts, or to the histories and popular songs extolling the virtues of empire.”

Pemanfaatan peta dan pendekatan spatial bisa menjadi alat bantu dalam proses imperialisme seperti dikutip dari Harley (1988).

Mengembangkan proses-proses serta kegiatan yang mampu menjadikan peta dan pendekatan spatial sebagai alat bantu dalam pengembangan masyarakat merupakan tantangan bagi semua masyarakat Indonesia dalam menuju masyarakat yang mandiri serta mampu mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri. Membalik apa yang dilakukan sebelumnya peta sebagai alat kolonialisme, maka peta dapat digunakan dalam advokasi pengembangan pemanfaatan SDA oleh masyarakat dan klaim aatas hak atas tanah oleh masyarakat. Pemetaan partisipatif sudah digunakan dalam mengaplikasikan kegiatan pengembangan masyarakat.

Bicara mengenai pendekatan partisipatif bukan merupakan hal baru di Indonesia. Banyak sekali LSM sudah melakukan kegiatan ini dalam kaitann dengan tujuan kegiatan masing-masing terutama yang berkaitan dengan kegiatan pengembangan masyarakat/community development. Secara resmi pendekatan inipun sudah menjadi bahan wajib dalam perencanaan pembangunan di Indonesia.

Pengertian GIS-Partispatif

Dalam bahasa Inggris dikenal dengan Participatory GIS dapat juga diartikan sebagai SIG-Partisipatif (Sistem Informasi Geografis yang Partisipatif), konsep ini berkembang tahun 90-an merupakan pengembangan dari pemetaan partisipatif tahun 1980-an yang mengadopsi pendekatan Participatory Rural Apraisal (PRA) dan Participatory Learning Action (PLA) digabungkan dengan penggunaan GIS sebagai tools. GIS Partisipatif merupakan pendekatan yang mengintegrasikan pendekatan partisipatif dengan metode dan teknik GIS sebagai suatu pendekatan baru . konsep ini dikenal juga dengan nama Public Participation GIS yang diperkenalkan pertama kali dalam sebuah seminar International Conference on Empowerment, Marginalization and Public Participation GIS, Santa Barbara, California 14-17 Oktober 1998, yang mencakup spesifik kajian wilayah Amerika Utara.

Participatory GIS adalah praktek nyata yang dikembangkan dari pendekatan PRA/PLA dan kajian keruangan serta manajemen komunikasi; merupakan proses yang berkelanjutan, fleksibel, dan dapat diadaptasi dalam sosial serta kultur serta aspek lingkungan bio-fisik yang berbeda tergantung dari interaksi secara partisipatif oleh stakeholder dalam menghasilkan dan mengatur spatial data, dan menggunakan hasil informasi tersebut dalam pengambilan keputusan, memudahkan proses dialog antar komponen, mengefektikan proses komunikasi serta mendukung advokasi dan pelaksanaannya.

Aberley dan Siebe (2005) menyebutkan beberapa aspek penting dalam penerapan Public Paticipation GIS yang terdiri atas:

  • Merupakan pendekatan interdisipliner, alat bantu bagi program pengembangan masyarakat dan penyelamatan lingkungan hidup yang mengedepankan aspek keseimbangan sosial, kelangsungan ekologi, pengembangan kualitas hidup.
  • Dipraktekan secara luas, dalam kaitan ruang (bisa kota atau desa), organisasi (LSM, pemerintah, masyarakat adat, dll), kelompok umur (orang tua, ibu-ibu atau kaum muda, atau bahkan golongan yang termarginalkan)
  • Berbasis fungsi dan sangat luas aplikasinya, dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah dalam sektor-sektor tertentu di dalam masyarakat atau menyediakan penilaian yang menyeluruh dalam suatu wilayah atau bioregion tertentu.
  • Akan sangat baik diaplikasikan melalui proses kerjasama antara individu, masyarakat, organisasi pemerintah, intitusi akademik, LSM, organisasi keagamaan dan swasta.
  • Mencakup proses untuk penguatan kelembagaan dalam aplikasinya.
  • Menghubungkan teori-teori sosial dan metode-metode dalam bidang perencanaan, antropologi, geografi, dan ilmu sosial lainnya.
  • Menghubungkan metode riset kualitatif dengan pendekatan PRA dan pendekatan partisipatif lainnya yang berbasis fakta lapang.
  • Merupakan alat bantu yang mengaplikasikan berbagai variasi mulai dari data manual, data digital sampai data 3 dimensi dan pengindraan jauh.
  • Memungkinkan akses masyarakat atas data kondisi budaya, ekonomi, biofisik, dimana data ini dihasilkan oleh pemerintah, swasta atau perguruan tinggi.
  • Mendukung interaksi yang beragam mulai dari pertemuan tatp muka sampai ke aplikasi dengan menggunakan website.
  • Memungkinkan untuk adanya kegiatan pembangunan perangkat lunak yang dapat diakses, mudah didapatkan dan mudah digunakan oleh masyarakat.
  • Mendukung proses belajar yang terus-menerus prak praktisi kegiatan ini yang menghubungkan antara pihak yang berbeda budaya, disiplin ilmu, gender dan kelas.
  • Merupakan proses berbagi baik itu tantangan/masalah atau peluang antara satu tempat dengan tempat lain secara transparan.

Aspek-aspek di atas merupakan peluang pemanfaatan GIS Partisipatif, beberapa peluang dengan mudahnya bisa kita adaptasi di Indonesia dengan menjadikan GIS Partisipatif sebagai salah satu alat bantu dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya sendiri. Beberapa peluang memerlukan dukungan dari semua pihak, sehingga apa yang menjadi tujuan aplikasi GIS Partisipatif bisa terwujud.

GIS Partisipatif di Indonesia

Secara partial GIS Partisipatif sudah dipraktekan oleh banyak lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Contohnya Buana Katulistiwa pernah melakukan proses pemetaan partisipatif dengan menggunakan teknik GIS, demikian juga dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang menggunakan GPS sebagai alat bantu dalam pemetaan partisipatif dan ditampilkan dalam perangkat lunak GIS. JKPP sebagai jaringan LSM sendiri melakukan pemetaan partisipatif dibanyak lokasi. Data mengenai pemetaan partisipatif oleh JKPP dapat diakses melalui web: http://www.jkpp.or.id.

Pengalaman penulis sendiri pernah membantu secara teknis proses GIS Partisipatif yang dilakukan di wilayah Kemtuk Gresi dan Nimboran atas prakarsa pt. PPMA Papua bekerjasama dengan WWF-Indonesia dan DFID. Kegiatan ini menggunakan pendekatan GIS partisipatif yang menggabungkan proses sosialisasi, pembuatan sketsa oleh masyarakat dan identifikasi melalui citra satelit dengan menggunakan Landsat 7 etm dan IKONOS dengan resolusi 1m. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah identifikasi fungsi hutan, identifikasi model pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat adat Sentani, Kemtuk Gresie dan Nimboran.

Pengalaman terakhir penulis adalah di Merauke pada masyarakat adat Marind, proses ini dilakukan atas prakarsa WWF-Indonesia dalam rangka melihat pentingnya aspek konservasi dan wilayah hutan yang penting untuk dikonservasi berdasarkan penilaian masyarakat adat Marind. Kegiatan ini juga menghasilkan beberapa kriteria pentingnya kawasan berdasarkan pola hidup masyarakat Marind. Dari kegiatan ini diharapkan dalam melakukan perencanaan disuatu wilayah harus mampu memperhatikan pola hidup masyarakat yang ada sehingga program pembangunan yang dibuat sejalan dengan kepentingan masyarakat serta timbal baliknya kegiatan pembangunan mampu didukung oleh masyarakat.

Perlunya Aplikasi GIS Partisipatif di Indonesia Secara Menyeluruh

Fakta di atas menunjukkan kegiatan yang menggunakan pendekatan GIS Partisipatif telah dilakukan di Indonesia. Pemikiran selanjutnya adalah bagaimana kegiatan ini dilakukan secara menyeluruh dan dilakukan secara bersama dengan melakukan kolaborasi antara masyarakat, LSM, organisasi pemerintah, perguruan tinggi. Dukungan dari organisasi terkait dengan perencanaan, konservasi dan pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam mensukseskan kegiatan GIS sebagai salah satu tools yang mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat.

Contoh paling mudah aplikasi yang membutuhkan GIS Partisipatif misalnya dalam proses pemetaan tanah masyarakat di Aceh Pasca Tsunami. Kegiatan community land mapping menjadi program dari berbagai lembaga pemerintah dan LSM di Aceh, dengan menggunakan pendekatan GIS Partisipatif tentunya usaha ini bisa dilakukan lebih mudah. Usaha yang paling penting adalah melakukan proses kerjasama/kolaborasi antar semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemetaan tanah masyarakat.

Contoh lain misalnya adanya kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di Sumatera dan Kalimantan dapat diidentifikasikan secara mudah dengan pendekatan GIS Partisipatif melalui proses penentuan lokasi kebakaran yang melibatkan masyarakat, pihak perkebunan dan HPH. Masih banyak peluang aplikasi GIS Partisipatif lainnya yang perlu dilakukan di Indonesia dalam rangka menuju proses pembangunan masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang.

Pengembangan GIS Partisipatif saat ini sudah bisa lebih berkembang lagi dengan melakukan aplikasi di perkotaan. Wilayah perkotaan dengan sumber data yang lebih banyak misalnya, mampu memungkinkan pengembangan GIS Partisipatif melalui google maps, wikimapia, dll.

Bahan Bacaan :

  • J. Brian Harley, 1988, “Maps, Knowledge, and Power,” in The Iconography of Landscape: Essays on the Symbolic Representation, Design, and Use of Past Environment, edited by Denis Cosgrove and Stephen Daniels, Cambridge University Press, 1988.
  • http://www.iapad.org/
  • http://www.iapad.org/ppgis_principles.htm

Working with Community for Development


Sometimes  it is hard to define best ways to work with community, best approach mostly became untested approach and need to be tested.

Wikipedia define Community development (CD) as  a broad term applied to the practices and academic disciplines of civic leaders, activists, involved citizens and professionals to improve various aspects of local communities.

Community development seeks to empower individuals and groups of people by providing these groups with the skills they need to affect change in their own communities. These skills are often concentrated around building political power through the formation of large social groups working for a common agenda. Community developers must understand both how to work with individuals and how to affect communities’ positions within the context of larger social institutions.

There are complementary definitions of community development. The Community Development Challenge report, which was produced by a working party comprising leading UK organisations in the field (including Community Development Foundation, Community Development Exchange and the Federation of Community Development Learning) defines community development as: “A set of values and practices which plays a special role in overcoming poverty and disadvantage, knitting society together at the grass roots and deepening democracy. There is a CD profession, defined by national occupational standards and a body of theory and experience going back the best part of a century. There are active citizens who use CD techniques on a voluntary basis, and there are also other professions and agencies which use a CD approach or some aspects of it.”

Working with community for development sometimes so hard, specially when some of colleagues  working in same area using wrong approach and this influence ways to community to see all programs come.

Working in Papua, perhaps must face two kinds of obstacle; one caused  by remoteness and second by lack of capacity among community developer it self.

Managing resource centers in Papua as my task involved with at least 14 community facilitators. Each location at least one or two community facilitator placed to accompanying community in area of poverty reduction, health and education. This involved series of training to community, education trough resource center library and some accompanying in implementation of appropriate technology.

Konsep Permberdayaan Masyarakat


Bekerja dengan masyarakat memiliki tantangan yang kadang sulit untuk diprediksi. Setiap masyarakat memiliki akar kebudayaan yang bisa menjadi faktor pendorong keberhasilan atau mungkin bisa menjadi hambatan. Itu kesimpulan yang saya ambil beberapa tahun lalu ketika masih bekerja di beberapa lokasi dan menemui hambatan. Sampai pada satu kesimpulan lain yang membuat saya sadar bahwa semua konsep dan asumsi bisa dikalahkan oleh niat dan kerja keras.

Wikipedia menulis bahwa pendekatan community development dikembangkan oleh LSM, lembaga-lembaga lain seperti kampus, dll dalam rangka memunculkan daya yang ada di masyarakat.

Community development, often linked with Community Work or Community Planning, is often formally conducted by non-government organisations(NGOs), universities or government agencies to progress the social well-being of local, regional and, sometimes, national communities. Less formal efforts, called community building or community organizing, seek to empower individuals and groups of people by providing them with the skills they need to effect change in their own communities.[14] These skills often assist in building political power through the formation of large social groups working for a common agenda. Community development practitioners must understand both how to work with individuals and how to affect communities’ positions within the context of larger social institutions.

Formal programs conducted by universities are often used to build a knowledge base to drive curricula in sociology and community studies. The General Social Survey from the National Opinion Research Center at the University of Chicago and the Saguaro Seminar at the John F. Kennedy School of Government at Harvard University are examples of national community development in the United States. In The United Kingdom, Oxford University has led in providing extensive research in the field through its Community Development Journal,[15] used worldwide by sociologists and community development practitioners.

Praktisi pemberdayaan saat ini terdiri atas LSM-LSM, lembaga pemerintah juga, lembaga keagamaan dan bahkan perusahaan profit dengan program CSR-nya. Mengapa konsep-konsep ini dilakukan kadang tidak bisa berjalan di lapangan. Salah satu permasalahan adalah adapatasi metode yang tidak didasarkan pada kondisi dan daya yang dimiliki masyarakat dan cenderung memaksakan konsep tanpa melihat kondisi dan kapasitas masyarakat.

Pada kasus program yang saya ikuti saat ini, konsep pemberdayaan seringkali gagal karena lemahnya komitmen pelaku kegiatan dilapangan. Kondisi yang sulit tentunya menjadi alasan, meskipun disini lain mejadi suatu alasan diperlukan upaya-upaya pemberdayaan pada masayarakat yang terpencil dan belum tersentuh.