Perencanaan Pembangunan berbasis Data dan Informasi


Lebih dari 20 tahun bekerja di sektor pembangunan membuat saya mampu menarik beberapa kesimpulan yang tentunya dikaitkan dengan perencanaan pembangunan. Meskipun sebagian besar bidang yang saya lakukan terkait konservasi, tetapi tidak pernah terpisahkan dari perencanaan pembangunan dan perencanaan ruang secara umum.

Salah satu permasalahan utama dalam perencanaan pembangunan di Indonesia adalah buruknya data dasar untuk perencanaan, baik data kuantitatif, kualitatif dan tentunya data spatial. Misalnya kegiatan yang terakhir yang dilakukan untuk menyusun dokumen tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goals (SDGs), dimana indikator yang sudah disusun pada tingkat nasional untuk diimplementasikan di tingkat provinsi dan kabupaten kesulitan mendapatkan data dasar. Ada banyak sekali indikator TPB yang tidak dapat diturunkan menjadi program kegiatan nyata karena keterbatasan data.

Demikian juga dengan dokumen RPJP dan RPJM, dimana penyusunan ini dilakukan dengan menetapkan indikator kondisi awal dan kemudian menjabarkan target tahunan atau 5 tahunan. Pada kebanyakan penyusunan RPJM di daerah, data-data tidak tersedia dengan baik, misalnya ketika akan membangunan fasilitas pendidikan maka data jumlah fasilitas tidak tersedia secara lengkap. Akibatnya rencana disusun dengan data asumsi dan peningkatan berdasarkan prosentase yang dalam prakteknya tidak akurat.

Bagaimana dengan rencana tata ruang? Nasibnya sama dimana proses ini banyak mengalami hambatan dengan keterbatasan data spatial di tingkat kabupaten. Meskipun dengan adanya kebijakan satu peta dan turunan kebijakan percepatan-nya, tetap saja banyak kabupaten atau provinsi yang kesulitan membangun rencana tata ruang dengan data spatial yang baik.

Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan

Salah satu kelemahan pendataan di daerah, baik propinsi dan kabupaten adalah masalah kelembagaan, koordinasi dan pendanaan. Dalam banyak pendampingan di daerah, data sebagian besar dimiliki oleh Bappeda diluar lembaga khusus pendataan seperti BPS. Bappeda berkepentingan memiliki data-data tersebut, tetapi dalam banyak kasus Bappeda tidak secara spesifik membangun unit dan kapasitas pengelolaan data. Misalnya terjadi pergantian staff atau pergantian kepemimpinan data yang ada kadangkala tidak dapat dilacak.

Koordinasi dapat menjadi faktor lain yang perlu dibenahi dalam rangka pembangunan data di tingkat daerah. Koordinasi yang tidak selaras bisa terjadi antara unit OPD atau antara level kabupaten, provinsi dan kabupaten.

Satu hal yang penting dan sering luput dilakukan adalah menyusun anggaran secara jangka panjang untuk membangun data dan pengelolaan data. Hampir semua kabupaten atau provinsi misalnya menggangap ini menjadi hanya tugas BPS, sementara disisi lain BPS memerlukan support dan koordinasi berkala dari pemerintah daerah yang hanya bisa berjalan jika dilakukan dengan pengangaran yang baik.

Bekerja (Spatial) Pasca Covid 19


Riset yang dirilis Nature menyebutkan bahwa pandemi mungkin akan bertahan sampai 2025, dimana kejadian ini akan bervariasi di berbagai tempat tergantung pada penanganan dan antisipasi yang dilakukan.

Saya sudah bekerja WFH sejak tahun lalu dan akan mungkin masih WFH sampai waktu yang belum jelas. Ini akan sangat tergantung pada penurunan angka penularan dan program vaksin. Tanpa disangkal, Covid 19 mempengaruhi pola dan juga ketersediaan pekerjaan, karena ada banyak dampak negatif yang diterima pekerja dimanapun di dunia ambil contoh PHK dan pengurangan jam kerja.

Salah satu tulisan yang menarik yang saya baca adalah tentang masa depan pekerjaan sesudah Covid 19. Disebutkan bahwa beberapa jenis pekerjaan 25% harus beradaptasi dengan situasi Covid 19, terutama bagaimana mengganti pekerjaan yang sifatnya interaksi langsung dengan kegiatan penggantinya. Tulisan juga menyoroti tentang bagaimana Covid 19 mempengaruhi pekerjaan diberbagai sektor seperti terlihat digrafik ini:

Otomatisasi dan Artificial Intelligence (AI)

Ada banyak riset dan pendapat para ahli ekonomi yang menyebutkan bahwa Covid 19 meningkatkan kebutuhan akan sistem bekerja dengan otomatisasi dan bekerja dengan berbasis digital. Kajian lain dari McKinsey dengan melalui survey ke 800 pimpinan perusahaan menyebutkan perubahan terkait perkembangan otomatisasi dan digitalisasi.

Responses to a McKinsey global survey of 800 executives suggest a disruptive period of workplace changes lies ahead due to acceleration of automation, digitization, and other trends.

Platform-platform digital misalnya semakin mengembangkan artificial intelligence yang memungkinkan pengguna dapat melakukan kegiatan dengan lebih cepat.

Demikian juga dengan kajian-kajian spatial atau analisis-analisis yang dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografi dan remote sensing. Raksasa-raksasa digital platform seperti Google misalnya sudah menambahkan semua fungsi-fungsi berbasis kecerdasan buatan, misalnya Google Earth dan Google Map. Google Earth menyediakan fungsi machine learning dimana fungsi ini memungkin proses analisis berbasis input secara simultan yang diolah menjadi pola kajian spatial. Dalam kajian spatial berbasis online kecerdasan buatan atau artificial intelligence kadang disebut dengan Location Intelligence dimana kemampuan mesin dalam meng-capture sebanyak mungkin input akan menghasilkan proses analisis berbasis online yang lebih cepat dan akurat.

Pekerjaan terkait spatial dan keruangan juga akan mengarah pada penggunaan aplikasi berbasis cloud. Software-software GIS misalnya telah terhubungkan dengan lokasi-lokasi portal online.

Kita bisa bahas mengenai Location Intelligence lebih lanjut, yang pasti perkembangan kajian dan pekerjaan terkait GIS dan remote sensing akan mengarah pada penggunaan Artificial Intelligence dan Bekerja berbasis online.

Knowledge Management


Pengertian

Knowledge management atau pengelolaan pengetahuan adalah kegiatan yang mencakup kegiatan untuk memperoleh dan kemudian membagi pengetahuan tersebut.Knowledge management dapat memperbaiki inovasi dan pengembangan pengetahuan.

Knowledge management merupakan sesuatu yang baru berkembangan didasawarsa terakhir ini,  pendekatan ini dikembangkan oleh sektor profit yang kemudian berkembang juga ke sektor non profit. ODI mengidentifikasikan pembahasan mengenai Knowledge management dalan tulisan Mosse ditahun 1998 yang berjudul Development Process.

Proses pengelolaan pengetahuan adalah sebuah siklus yang tidak pernah berhenti dan terus berkembang. Dimulai dengan IDENTIFIKASI PENGETAHUAN lalu PENCIPTAAN PENGETAHUAN lalu PENGKODEAN dan PENYIMPANAN PENGETAHUAN dan yang terakir sebelum kembali ke proses awal adalah PENGGUNAAN PENGETAHUAN.

Sebagai sebuah siklus maka pengetahuan akan terus bertambah selama proses ini terus terjaga.

Proses pengetahuan juga berubah dari TACIT Knowledge yang ada dikepala menjadi EXPLICIT knowledge yang diaplikasikan dan dipraktekkan. Proses ini merupakan juga proses yang membutuhkan sarana, misalnya dari TACIT Knowledge dituangkan kedalam buku atau tulisan.

Tantangan utama dalam pengelolaan pengetahuan di banyak tempat adalah:

– Bagaimana memidahkan tacit knowledge ke bentuk explisit

– Bagaimana memastikan bahwa knowledge bisa di sharing yang kemudian memberikan dampak perubahan yang berguna

– Bagaimana menghindari adanya pengulangan dengan memanfaatkan sebanyak mungkin knowledge yang telah terbangun., sehingga menghindari proses “reinventing the wheel”

Pada banyak organisasi misalnya Knowledge Management masih merupakan barang langka yang belum dipraktekkan. Padahal dengan mengaplikasikan Knowledge Management keuntungan yang didapat akan banyak sekali. Pada lembaga misalnya, ada banyak kegiatan yang sebenarnya sudah dilakukan akan dilakukan lagi karena tidak adanyanya inisiatif terkait knowledge management.