fifth e-bulletin from the ICT4D programme


FYI… from PPGIS

We are pleased to attach the fifth e-bulletin from the ICT4D programme which focuses on forestswhich is one of the themes of our research programme. Our e-bulletin is issued every 3 months, aimed at updating readers on an IDRC-funded pan-African research programme looking at Participatory-GIS and food security in Africa, and is edited by team members from Enda Lead Africa.

 Just to remind you, it’s a 3 year programme implemented in a number of African countries and looking at P-GIS in:

·         Water resources management, Benin

·         Community management of forests, Kenya and Rwanda; 

·         Adaptation to the effects of climate change, Malawi;

·         Land management, Senegal;

·         Management of traditional knowledge in the field of irrigation, Tunisia.

 Kindly distribute within your networks and pass on to us any contact details for interested persons and institutions.

 Many thanks,

 The coordination team

ICT4D programme


GIS-Partisipatif: Sudah Saatnya Diaplikasikan di Indonesia


Ini merupakan re-posting dari tulisan saya yang pernah dimuat di web Buana Katulistiwa, Tulisan ini pernah di re-posting oleh beberapa rekan geograf dalam beberapa blog. Saya melakukan sedikit  dengan sedikit perbaikan sebelum re-posting di blog pribadi saya:

_______________________________________________________________

As much as guns and warships, maps have been the weapons of imperialism. Insofar as maps were used in colonial promotion, and lands claimed on paper before they were effectively occupied, maps anticipated empire. Surveyors marched alongside soldiers, initially mapping for reconnaissance, then for general information, and eventually as tools of pacification, civilization, and exploitation in the defined colonies. But there is more to this than the drawing of boundaries for the practical political or military containment of subject populations. Maps were used to legitimize the reality of conquest and empire. They helped create myths which would assist in the maintenance of the territorial status quo. As communicators of an imperial message, they have been used as an aggressive complement to the rhetoric of speeches, newspapers, and written texts, or to the histories and popular songs extolling the virtues of empire.”

Pemanfaatan peta dan pendekatan spatial bisa menjadi alat bantu dalam proses imperialisme seperti dikutip dari Harley (1988).

Mengembangkan proses-proses serta kegiatan yang mampu menjadikan peta dan pendekatan spatial sebagai alat bantu dalam pengembangan masyarakat merupakan tantangan bagi semua masyarakat Indonesia dalam menuju masyarakat yang mandiri serta mampu mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri. Membalik apa yang dilakukan sebelumnya peta sebagai alat kolonialisme, maka peta dapat digunakan dalam advokasi pengembangan pemanfaatan SDA oleh masyarakat dan klaim aatas hak atas tanah oleh masyarakat. Pemetaan partisipatif sudah digunakan dalam mengaplikasikan kegiatan pengembangan masyarakat.

Bicara mengenai pendekatan partisipatif bukan merupakan hal baru di Indonesia. Banyak sekali LSM sudah melakukan kegiatan ini dalam kaitann dengan tujuan kegiatan masing-masing terutama yang berkaitan dengan kegiatan pengembangan masyarakat/community development. Secara resmi pendekatan inipun sudah menjadi bahan wajib dalam perencanaan pembangunan di Indonesia.

Pengertian GIS-Partispatif

Dalam bahasa Inggris dikenal dengan Participatory GIS dapat juga diartikan sebagai SIG-Partisipatif (Sistem Informasi Geografis yang Partisipatif), konsep ini berkembang tahun 90-an merupakan pengembangan dari pemetaan partisipatif tahun 1980-an yang mengadopsi pendekatan Participatory Rural Apraisal (PRA) dan Participatory Learning Action (PLA) digabungkan dengan penggunaan GIS sebagai tools. GIS Partisipatif merupakan pendekatan yang mengintegrasikan pendekatan partisipatif dengan metode dan teknik GIS sebagai suatu pendekatan baru . konsep ini dikenal juga dengan nama Public Participation GIS yang diperkenalkan pertama kali dalam sebuah seminar International Conference on Empowerment, Marginalization and Public Participation GIS, Santa Barbara, California 14-17 Oktober 1998, yang mencakup spesifik kajian wilayah Amerika Utara.

Participatory GIS adalah praktek nyata yang dikembangkan dari pendekatan PRA/PLA dan kajian keruangan serta manajemen komunikasi; merupakan proses yang berkelanjutan, fleksibel, dan dapat diadaptasi dalam sosial serta kultur serta aspek lingkungan bio-fisik yang berbeda tergantung dari interaksi secara partisipatif oleh stakeholder dalam menghasilkan dan mengatur spatial data, dan menggunakan hasil informasi tersebut dalam pengambilan keputusan, memudahkan proses dialog antar komponen, mengefektikan proses komunikasi serta mendukung advokasi dan pelaksanaannya.

Aberley dan Siebe (2005) menyebutkan beberapa aspek penting dalam penerapan Public Paticipation GIS yang terdiri atas:

  • Merupakan pendekatan interdisipliner, alat bantu bagi program pengembangan masyarakat dan penyelamatan lingkungan hidup yang mengedepankan aspek keseimbangan sosial, kelangsungan ekologi, pengembangan kualitas hidup.
  • Dipraktekan secara luas, dalam kaitan ruang (bisa kota atau desa), organisasi (LSM, pemerintah, masyarakat adat, dll), kelompok umur (orang tua, ibu-ibu atau kaum muda, atau bahkan golongan yang termarginalkan)
  • Berbasis fungsi dan sangat luas aplikasinya, dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah dalam sektor-sektor tertentu di dalam masyarakat atau menyediakan penilaian yang menyeluruh dalam suatu wilayah atau bioregion tertentu.
  • Akan sangat baik diaplikasikan melalui proses kerjasama antara individu, masyarakat, organisasi pemerintah, intitusi akademik, LSM, organisasi keagamaan dan swasta.
  • Mencakup proses untuk penguatan kelembagaan dalam aplikasinya.
  • Menghubungkan teori-teori sosial dan metode-metode dalam bidang perencanaan, antropologi, geografi, dan ilmu sosial lainnya.
  • Menghubungkan metode riset kualitatif dengan pendekatan PRA dan pendekatan partisipatif lainnya yang berbasis fakta lapang.
  • Merupakan alat bantu yang mengaplikasikan berbagai variasi mulai dari data manual, data digital sampai data 3 dimensi dan pengindraan jauh.
  • Memungkinkan akses masyarakat atas data kondisi budaya, ekonomi, biofisik, dimana data ini dihasilkan oleh pemerintah, swasta atau perguruan tinggi.
  • Mendukung interaksi yang beragam mulai dari pertemuan tatp muka sampai ke aplikasi dengan menggunakan website.
  • Memungkinkan untuk adanya kegiatan pembangunan perangkat lunak yang dapat diakses, mudah didapatkan dan mudah digunakan oleh masyarakat.
  • Mendukung proses belajar yang terus-menerus prak praktisi kegiatan ini yang menghubungkan antara pihak yang berbeda budaya, disiplin ilmu, gender dan kelas.
  • Merupakan proses berbagi baik itu tantangan/masalah atau peluang antara satu tempat dengan tempat lain secara transparan.

Aspek-aspek di atas merupakan peluang pemanfaatan GIS Partisipatif, beberapa peluang dengan mudahnya bisa kita adaptasi di Indonesia dengan menjadikan GIS Partisipatif sebagai salah satu alat bantu dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya sendiri. Beberapa peluang memerlukan dukungan dari semua pihak, sehingga apa yang menjadi tujuan aplikasi GIS Partisipatif bisa terwujud.

GIS Partisipatif di Indonesia

Secara partial GIS Partisipatif sudah dipraktekan oleh banyak lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Contohnya Buana Katulistiwa pernah melakukan proses pemetaan partisipatif dengan menggunakan teknik GIS, demikian juga dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang menggunakan GPS sebagai alat bantu dalam pemetaan partisipatif dan ditampilkan dalam perangkat lunak GIS. JKPP sebagai jaringan LSM sendiri melakukan pemetaan partisipatif dibanyak lokasi. Data mengenai pemetaan partisipatif oleh JKPP dapat diakses melalui web: http://www.jkpp.or.id.

Pengalaman penulis sendiri pernah membantu secara teknis proses GIS Partisipatif yang dilakukan di wilayah Kemtuk Gresi dan Nimboran atas prakarsa pt. PPMA Papua bekerjasama dengan WWF-Indonesia dan DFID. Kegiatan ini menggunakan pendekatan GIS partisipatif yang menggabungkan proses sosialisasi, pembuatan sketsa oleh masyarakat dan identifikasi melalui citra satelit dengan menggunakan Landsat 7 etm dan IKONOS dengan resolusi 1m. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah identifikasi fungsi hutan, identifikasi model pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat adat Sentani, Kemtuk Gresie dan Nimboran.

Pengalaman terakhir penulis adalah di Merauke pada masyarakat adat Marind, proses ini dilakukan atas prakarsa WWF-Indonesia dalam rangka melihat pentingnya aspek konservasi dan wilayah hutan yang penting untuk dikonservasi berdasarkan penilaian masyarakat adat Marind. Kegiatan ini juga menghasilkan beberapa kriteria pentingnya kawasan berdasarkan pola hidup masyarakat Marind. Dari kegiatan ini diharapkan dalam melakukan perencanaan disuatu wilayah harus mampu memperhatikan pola hidup masyarakat yang ada sehingga program pembangunan yang dibuat sejalan dengan kepentingan masyarakat serta timbal baliknya kegiatan pembangunan mampu didukung oleh masyarakat.

Perlunya Aplikasi GIS Partisipatif di Indonesia Secara Menyeluruh

Fakta di atas menunjukkan kegiatan yang menggunakan pendekatan GIS Partisipatif telah dilakukan di Indonesia. Pemikiran selanjutnya adalah bagaimana kegiatan ini dilakukan secara menyeluruh dan dilakukan secara bersama dengan melakukan kolaborasi antara masyarakat, LSM, organisasi pemerintah, perguruan tinggi. Dukungan dari organisasi terkait dengan perencanaan, konservasi dan pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam mensukseskan kegiatan GIS sebagai salah satu tools yang mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat.

Contoh paling mudah aplikasi yang membutuhkan GIS Partisipatif misalnya dalam proses pemetaan tanah masyarakat di Aceh Pasca Tsunami. Kegiatan community land mapping menjadi program dari berbagai lembaga pemerintah dan LSM di Aceh, dengan menggunakan pendekatan GIS Partisipatif tentunya usaha ini bisa dilakukan lebih mudah. Usaha yang paling penting adalah melakukan proses kerjasama/kolaborasi antar semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemetaan tanah masyarakat.

Contoh lain misalnya adanya kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di Sumatera dan Kalimantan dapat diidentifikasikan secara mudah dengan pendekatan GIS Partisipatif melalui proses penentuan lokasi kebakaran yang melibatkan masyarakat, pihak perkebunan dan HPH. Masih banyak peluang aplikasi GIS Partisipatif lainnya yang perlu dilakukan di Indonesia dalam rangka menuju proses pembangunan masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang.

Pengembangan GIS Partisipatif saat ini sudah bisa lebih berkembang lagi dengan melakukan aplikasi di perkotaan. Wilayah perkotaan dengan sumber data yang lebih banyak misalnya, mampu memungkinkan pengembangan GIS Partisipatif melalui google maps, wikimapia, dll.

Bahan Bacaan :

  • J. Brian Harley, 1988, “Maps, Knowledge, and Power,” in The Iconography of Landscape: Essays on the Symbolic Representation, Design, and Use of Past Environment, edited by Denis Cosgrove and Stephen Daniels, Cambridge University Press, 1988.
  • http://www.iapad.org/
  • http://www.iapad.org/ppgis_principles.htm

Using Participatory GIS for Remote Area Mapping


Summary

Spatial planning in remote area always have problem with availability of spatial data. Spatial data available only from satellite imageries and some rough topographic maps in small  scale.

Combination of participatory GIS approach and technical mapping be able to solve the problem. Using satellite imagery for participatory mapping be able to collect more information as base for spatial planning.

Dalam perencanaan ruang wilayah terpencil ada kendala terkait dengan keberadaan data-data spatial yang sangat minim. Sumber data spatial yang ada terbatas hanya pada data peta topografi sekala  kecil misalnya peta dengan sekala 1:250.000.  Sumber data lain yang valid hanyalah citra satelit yang merupakan sumber data valid terbaru sesuai dengan pengambilan datanya. Bagaimana ini bisa dikombinasikan dan dilengkapi, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif.

Langkah-langkah Pendekatan

Pendekatan dilakukan dengan membuat sebuah perencanaan awal yang sama dengan kegiatan pemetaan lainnya.

1. Dimulai dengan menggumpulkan data-data spatial.

– peta topography yang tersedia; pada wilayah-wilayah yang terpencil peta-peta topografi yang tersedia, sangat terbatas pada sekala peta 1;250.000 atau paling detail adalah peta-peta dengan sekala 1:100.000. Sumber peta bisa digunakan dari peta Bakosurtanal atau pada wilayah-wilayah seperti Papua misalnya ada peta JOG dengan skala 1:100.000

– citra satelit; citra satelit merupakan foto kondisi wilayah terkini yang bisa didapatkan. berbagai jenis citra dapat digunakan mulai dari Landsat (www.landsat.org), IKONOS (www.satimagingcorp.com),

– DEM data; juga merupakan data yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan  gambaran mengenai kondisi topografi serta analisis lainnya terkait dengan kelerengan, dll.

2. Proses partisipatif

Participatory GIS atau GIS partisipatif bukan merupakan pendekatan baru, pendekatan ini telah diaplikasikan di banyak negara dan beberapa wilayah di Indonesia.

Pendekatan partisipatif mampu memberikan masukan bukan hanya terkait dengan usaha menjaring aspirasi, tetapi mampu dijadikan alat untuk mendapatkan data primer.

Beberapa langkah yang dilakukan terkait dengan pendekatan partisipatif ini adalah:

– sosialiasi ke stakeholder; jika kegiatan akan dilakukan ditingkat kampung misalnya dilakukan suatu sosialiasasi ketingkat kampung mulai dari staff pemerintahan, tokoh masyarakat dan juga beberapa tokoh munci lainnya.

– kegiatan workshop awal; dilakukan ditingkat kampung, kegiatan ini bisa dimulai dengan pemetaan dengan pembuatan sketsa kampung. lanjutannya adalah diskusi terarah dalam rangka melengkapi data-data yang ada di lokasi mulai dari nama-nama lokasi, nama-kampung, nama sungai serta yang juga bisa dilakukan adalah membuat peta gambaran penggunaan tanah. Pada tingkat yang lain, peta citra misalnya mampu digenerate menghasilkan peta landcover tetapi peta landuse harus digenerate dengan menggunakan pendekatan ini yang nantinya ditambahkan dengan survey.

– kegiatan survey lapangan; model pendekatan PRA seperti pembuatan transek mampu memberikan masukan bagi peta penggunaan tanah yang ada.  Survey yang dilakukan mampu memberikan gambaran mengenai penggunaan tanah yang sebenarnya.

Penggambaran hasil landcobver seperti tanah kosong, hutan, dll bisa dikoreksi menjadi ladang (terlihat kosong karena pada saat pemotretan citra sedang selesai panen), hutan (yang ternyata adalah mix kebun dengan belukar) atau bentukan land use yang lain.

– workshop akhir; merupakan tahap verifikasi bersama masyarakat, hasil gabungan analisis dengan GIS, workshop awal dan survey dipresentasikan kembali untuk kemudian diselesaikan sebagai hasil akhir peta. Beberapa data seperti batas kampung misalnya dapat ditarik sebagai bagian akhir dari kegiatan ini.

– mozaiking; kegiatan yang dilakukan di beberapa wilayah kampung, digabungkan dalam wilayah yang lebih luas seperti kecamatan. Proses ini mampu menghasilkan peta yang lebih luas cakupan areanya.

Output

Urutan kegiatan di atas sudah mampu memberikan gambaran mengenai output yang dapat dihasilkan dari kegiatan ini.

–  Update peta rupabumi dengan penambahan informasi dan data toponimi, penggunaan tanah, lokasi-lokasi penting.

–  Update informasi terkait dengan beberapa aspek seperti aspirasi terkait usulan pembangunan yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan kondisi medan dimana perencanaan ruang akan dilakukan.