Perubahan regulasi UU Penataan Ruang no 26 tahun 2007 dalam UU Cipta Kerja no 11 tahun 2020


UU no 11 tahun 2020 sudah ditetapkan sejak November 2020 ini. Sesuai dengan minat saya pada isu tata ruang maka saya kemudian membandingkan perubahan isi UU baru ini dengan UU no 26 tahun 2007 yang isinya mengikuti perubahan dari UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun dokumen salinan UU saya dapatkan melalui web resmi pemerintah: https://jdih.setneg.go.id/Produk

Karena tidak memiliki keahlian bidang hukum maka tulisan ini hanya memperlihatkan perubahan yang ada. Selanjutnya terkait konsekwensi kedepannya masih perlu dikaji secara lebih detail bagaimana perubahan ini akan mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan tata ruang di Indonesia.


Beberapa highlight yang saya dapatkan antara lain:

  • Izin Pemanfaatan Ruang diganti dengan istilah ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Dimana ketentuan mengenai Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang akan dijabarkan detail dalam Peraturan Pemerintah.
  • Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten tidak masuk dalam kategori Rencana Rinci Tata Ruang, hanya RDTR.
  • Aturan mengenai penetapan Kawasan Hutan minimal 30% dihilangkan.
  • Penetapan Rencana Tata Ruang bukan mendapat persetujuan Menteri tetapi tertulis persetujuan Pemerintah Pusat.
  • Pidana denda untuk pelanggaran Tata Ruang oleh koorporasi mendapatkan diskon dari sisi pemberatan yang dalam UU 26 tahun 2007 disebutkan3 (tiga) kali, tetapi dengan UU Cipta Kerja hanya 1/3 (sepertiga) kali.

Perubahan secara detail berdasarkan perbandingan yang saya lakukan adalah sebagai berikut

  1. Pasal 1 tentang pengertian terdapat perubahan dari UU 26 dimana Izin Pemanfaatan Ruang diganti dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
  2. Pasal 6 UU 26 mendapatkan tambahan beberapa ayat mengenai misalnya ayat 4 tentang Penataan Ruang Wilayah secara berjenjang dan ayat 5 mengenai penataan ruang wilayah secara komplementer. Ayat 8 yang menyebutkan Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara pola ruang rencana tata ruang dan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  3. Pasal 8 UU 26 terdapat perubahan dimana Pemerintah menjadi pemerintah pusat adanya tugas terkait pemberian bantuan teknis bdan pembinaan teknis bagi penyusunan tata ruang. Masih belum clear buat saya apa beda pemberian bantuan teknis dan pembinaan teknis. Serta tentang ayat 4 mengenai tugas pemerintah daerah terkait kawasan strategis nasional melalui dekonsentrasi dihilangkan. Pada ayat 5 UU no 11 disebutkan menyebarluaskan informasi yang dikurangi bagian untuk mmenyebarkan informasi arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
  4. Pasal 9 UU 26 diubah dimana penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Menteri diganti dengan Pemerintah Pusat serta cakupan dihilangkan dan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
  5. Pasal 10 dan 11 dalam UU 26 mengenai kewenangan pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten dalam penataan ruang, diubah yang sebelumnya detail 7 ayat menjadi ringkas dimana yang saya tangkap adalah perencanaan kawasan strategis provinsi atau kabupaten dihilangkan. Selanjutnya tugas detail lainnya dihilangkan. Ayat 6 juga dihilangkan yang sebelumnya tertulis Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bag penyusunan peraturan zonasi.
  6. Pasal 14 UU 26 juga diubah dimana rencana kawasan strategis provinsi tidak masuk dalam kriteria rencana rinci tata ruang. Juga terdapat tambahan pasal 14a dumana pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang harus MEMPERHATIKAN daya dukung dan daya tampung wilayah serta KLHS. Termasuk tambahan mengenai ketelitian peta rencana yang mengikuti Peta Dasar.
  7. Pasal 17 UU 26 mengalami perubahan dimana ayat 5 mengenai ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas DAS dihilangkan. Ini diganti dengan penetapan berdasarkan pulau, DAS, provinsi dan kabupaten/kota dengan memperharikan kondisi biogeofisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dalam penjelasan UU no 11 tahun 2011 disebutkan bahwa Distribusi luas kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Menghilangkan keharusan adanya kawasan hutan 30% ini menjadi bahan diskusi menarik, karena ambang batas minimal 30% adalah angka dimana kondisi ini diharapkan mendukung faktor kelestarian lingkungan yang nantinya akan membantu pelestarian kawasan. Menurut saya dengan tidak adanya ambang batas 30% konsekwensinya adalah diperlukan KAJIAN ILMIAH DETAIL per wilayah dapat diacu sehingga dipastikan kawasan hutan yang tersisa memang mampu memenuhi tujuan kelestarian keanekaragaman hayati dan juga jasa lingkungan seperti air dan kualitas udara. Maka dari itu PP yang akan disusun untuk rencana penataan ruang harus memastikan bahwa kawasan hutan di setiap wilayah benar-benar dikaji dan ditetapkan.
  8. Pasal 18 mengalami perubahan dimana penetapan rencana tata ruang bukan lagi mendapat persetujuan Menteri tetapi kata Menteri diganti dengan Pemerintah Pusat. Demikian juga dengan tambahan diharuskan ada konsultasi publik dengan DPRD untuk rencana detail tata ruang. Dalam prakteknya ini memang sudah dilakukan di semua wilayah, tetapi sesuai dengan PP ini dalam bentuk pengesahan dan bukan konsultasi publik.
  9. Pasal 20 mengalami perubahan diantaranya yang saya tangkap adalah mengenai peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari 1 kali dalam 5 tahun dapat dilakukan dengan tambahan adanya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Ini juga berlaku untuk Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten. Tentu saja ini masuk akal jika strategis kemudian seperti rencana IKN.
  10. Pasal 22 dan 23 pada UU no 26 diubah dimana rencana tata Ruang Provinsi tidak lagi memuat penetapan kawasan strategis provinsi. Pada bagian f sebelumnya di UU 26 yang menjadi bagian e pada UU no 11 tahun 2020 ini arahan perizinan menjadi arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  11. Pasal 25 dan 26 diubah dimana kemudian yang saya tangkap adalah RTRWP atau RTRWK tidak lagi menjadi dasar dalam penetapan kawasan strategis provinsi atau kabupaten.
  12. Pasal 24 dihapus karena digabungkan dalam pasal 23 terkait penetapan melalui Perda dan harus dilakuan penetapan sesudah 2 bulan mendapat persetujuan Pemerintah Pusat dan ditetapkan Gubernur 3 bulan jika Perda belum ditetapkan yang saya tangkap adalah rencana rinci tata ruang provinsi atau kabupaten seperti kawasan strategis tidak ada lagi.
  13. Pasal 25 dan pasal 26 UU 26 tahun 2007 mengenai tata ruang kabupaten mengalami perubahan yang sama dengan tata ruang provinsidimana diubah dimana ayat 2 bagian g di UU 26 tentang rencana kawasan strategis kabupaten dihilangkan. Demikian pula dengan penjelasan mengenai ketentuan perizinan yang keseluruhannya berubah menjadi Ketentian Kesesuanan Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  14. Pada 27 UU no 27 tahun 2007 dihapus dan isinya digabungkan ke pasal 26 pada UU no 11 tahun 2020 dengan deskripsi yang sama dengan provinsi terkait penetapan tata ruang menjadi peraturan daerah dan PerBup.
  15. Terdapat tambahan pasal 34A yang menyebutkan bahwa perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum dibuat dalam rencana tata ruang dan atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilakusanakan melalui setelah mendapatkan rekomendasi kesesuaian pemanfaatan ruang dari Pemerintah Pusat.
  16. Pasal 35 UU no 26 diubah dalam UU Cipta Keja dimana pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan melalui ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan ruang yang menggantikan penetapan peraturan zonasi dan perizinan. Ini dapat menjadi bahan diskusi karena terkait bagaimana zonasi-zonasi yang sudah ditetapkan apakah dapat digantikan dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  17. Pasal 37 UU no 26 menjadi dirombak karena tidak ada lagi istilah izin pemanfaatan ruang, tetapi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Untungnya ada ayat 4 yang menyebutkan bahwa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Secara detail ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  18. Pasal 48 UU 26 diubah dimana bentuk kawasan agropolitan dihilangkan.
  19. Kemudian pasal 49 sampai 54 di UU no 26 yang menjelaskan mengenai Tat Ruang Kawasan Perdesaan dihapus karena akan disusun Peraturan Pemerintah.
  20. Pasal 60 UU 26 diubah dimana hak masyarakat dalam penataan ruang bagian e. diganti terkait istilah izin dengan Persetujuan Kegiatan Penataan Ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang. Demikian pula dengan bagian f.
  21. Pasal 61 diubah menyesuaian dengan perubahan izin pemanfaatan ruang dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  22. Pasal 62 diubah dengan penambahan sanksi terkai perubahan fungsi ruang.
  23. Pasal 65 UU 26 diubah dengan menambahkan definsi masyarakat yang dapat berupa orang perorangan atau pelaku usaha.
  24. Pasal 69, 70 dan 71 UU no 26 diubah dengan penambahan nilai sanksi denda yang jumlahnya sekita 2 kali dari UU sebelumnya. Tetapi terkait dengan pidana kerugian maka tuntutan pidana penjara berkurang dari 8 tahun dan 5 tahun di UU no 26 tahun 2007 menjadi hanya 4 tahun di UU no 11 tahun 2020.
  25. Pasal 72 UU no 26 dihapuskan, isinya; Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  26. Pasal 74 mengalami perubahan isinya sekarang menjadi: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 71 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, atau Pasal 72. Padahal dalam UU no 26 tahun 2007 denda untuk koorporasi adalah 3 (tiga) kali. Buat saya yang awam soal hukum masih belum tahu apa dasar pertimbangannya perubahan denda ini.
  27. Pasal 75 UU 26 mengalami perubahan; dimana ayat 2 yang berbunyi: Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana. Dalam UU Cipta Kerja ini dubah menjadi Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata. Hanya satu kata yang berubah dari PIDANA menjadi PERDATA. Saya bukan ahli hukum dan tidak tahu konsekwensinya.

Spatial Planning in Indonesia: where no planner found in remote area


I can not counting how many days since my last visit to all remote and isolated area in Indonesia… plenty. In every place I was visited I learn many things and also leaned very same thing. Same thing I learned was gap knowledge between urban and rural/remote area.

I area of planning/regional planning, I learned that huge gap in spatial planning, development planning in government. As a planner I also questioned ‘ where all planner go…?” Are they all in town ? Why they had no intention to visit rural area or remote area where development planning or spatial planning needed?

Can you imagined that even planning regulation such as regulation from ministry such as regulation no 16 about District Planning is a new knowledge when I give a presentation about that. Same with regulation no 54 year 2010 about development planning.

This could be an answer a question ‘ why development planning and or spatial planning walk with very slow progress?”.

 

 

The Role and Scope of Spatial Planning (Vincent Nadin University of the West of England, Bristol, UK)


The emergence of the planning reforms and ‘the spatial planning approach’ have

been influenced by many factors. There is no simple equation showing how the

factors came together. The perceived marginalisation of the planning system from

wider decision making and outcomes, and particularly its limited influence on

the factors that are shaping spatial development provide the context. The spur

for change comes from awareness of the need for a spatial dimension in the task

of joining-up government in order to achieve critical economic and social

outcomes and avoid the costs of non-coordination. This is strongly supported by

advocacy for a renewed approach to planning in support of sustainable

development. In that context, the European spatial planning discourse and

emerging or renewed concepts of space and place have provided some

inspiration for the direction of change. But all this leaves many questions for

how spatial planning is put into practice.

Detail :

just click this: rolespatialplanning

 

Mengapa Rencana Tata Ruang Daerah Banyak Yang Belum DiSahkan?


Membaca berita di Kompas jumat 4 maret 2011 mengenai perumahan, disebutkan bahwa baru 18 dokumen tata ruang kabupaten/kota yang baru disahkan dari 491 kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Luar biasa…

Kekawatiran saya mengenai stagnannya perencanaan ruang dan aplikasi spatial di Indonesia ternyata bersambut dengan berita IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) yang menggelar konferensi pers mengenai Kondisi Tata Ruang Indonesia yang dikatakan dalam kondisi darurat. Baca: ( http://properti.kompas.com…..Tata.Ruang.Indonesia.dalam.Kondisi.Darurat).

Disebutkan misalnya sejak kewenangan otonomi dibebankan kepada daerah, proses legalisasi peraturan daerah RTRW baru terlaksana di 7 propinsi, 14 Kabupaten, dan 4 kota. “Dari target 500-an Kabaputen dan Kota, baru 14 kabupaten dan 4 kota yang memiliki kepastian hukum berdasarkan UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Indonesia (TMII)

Dokumen Tata Ruang Wilayah seperti diamanatkan UU no 26 tahun 2007 memang memiliki kekuatan hukum yang mengikat kabupaten dan kota.

Mengacu pada PP No 68 TAHUN 2010, sebenarnya patut menjadi keprihatinan bersama bahwa penetapan dan pembuatan tata ruang di kabupaten-kabupaten di Indonesia belum selesai.  Dalam pasal 6 disebutkan:

Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa:

a. masukan mengenai:

1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;

2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;

3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;

4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau

5. penetapan rencana tata ruang.

b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

Mengapa Daerah Sulit Menetapkan Rencana tata Ruang Wilayah

Jawabannya bisa dua:

1. Kurangnya kapasitas penyelenggara perencanaan di daerah dalam membuat Rencana Tata Ruang Wilayah. Kondisi ini juga diikuti oleh kurangnya kapasitas pengambil kebijakan daerah (Bupati, Walikota) dan kurangnya kapasitas legislatif (DPRD) untuk memahami pentingya aspek perencanaan pembangunan dalam memberikan arah bagi pembangunan daerah.

2. Konsekwensi hukum dari Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah, dimana ketika Dokumen Tata Ruang sudah ditetapkan maka sifatnya mengikat dan mejadi acuan dalam perencanaan ruang. Perubahan alokasi ruang tidak dimungkinkan tanpa proses yang melibatkan aspek hukum.