Perencanaan Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Yuridiksi: Apa Mungkin Berkelanjutan?


Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.

Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.

Yuridiksi Perkebunan Berkelanjutan – Kajian Spatial

Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.

Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.

Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.

Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.

Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi

Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.

Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.

Sawit yang semakin merambah kawasan hutan

Apakah Pencemaran Air Sungai di Segah adalah Bencana Alam atau Pencemaran?


Berau Post merilis bahwa kejadian di Berau dengan perubahan warna sungai dan kematian biotanya diakibatkan oleh cyanobacteria. Sumber dari internet dan kutipan riset berbagai Universitas di dunia menyebutkan bahwa bakteri ini sudah ada sejak 3, juta tahun yang lalu. Bakteri inilah yang menjadi awal dalam teori evolusi karena dapat hidup di wilayah beroksigen rendah dan kemudian melakukan fotosintesa untuk menghasilkan oksigen. Siklus hidup bakteri ini yang pendek kemudian menjadi masalah karena ketika mati proses peruraiannya menggunakan oksigen.

Perubahan warna air sungai Segah menjadi hijau dan diikuti kematian semua jenis ikan, termasuk ikan gabus dan lele, disebabkan keberadaan cyanobacteria. Cyanobacteria atau sianobakteria adalah sebuah filum bakteri yang mendapatkan kebutuhan energinya melalui fotosintesis. http://www.beraupost.co.id/berita/detail/disebut-faktor-cyanobacteria.html

Yang berbahaya adalah ketika populasi ini berkembang sangat cepat atau proses nya disebut blooming. Kandungan phospor dan amoniak yang tinggilah yang menyebabkan perkembangan cyanobacteria

Cyanobacteria can produce neurotoxins, cytotoxins, endotoxins, and hepatotoxins (i.e. the microcystin-producing bacteria species microcystis), and are called cyanotoxins.

Specific toxins include, anatoxin-a, anatoxin-as, aplysiatoxin, cyanopeptolin, cylindrospermopsin, domoic acid, nodularin R (from Nodularia), neosaxitoxin, and saxitoxin. Cyanobacteria reproduce explosively under certain conditions. This results in algal blooms, which can become harmful to other species, and pose a danger to humans and animals, if the cyanobacteria involved produce toxins. Several cases of human poisoning have been documented, but a lack of knowledge prevents an accurate assessment of the risks.[48][49][50] Recent studies suggest that significant exposure to high levels of some species of cyanobacteria producing toxins such as BMAA can cause amyotrophic lateral sclerosis (ALS). The Lake Mascoma ALS cluster [51] and Gulf War veterans’ cluster are two notable examples.[49][50][52]”sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Cyanobacteria

Freshwater algal blooms are the result of an excess of nutrients, particularly some phosphates.[2][3] The excess of nutrients may originate from fertilizers that are applied to land for agricultural or recreational purposes. They may also originate from household cleaning products containing phosphorus.[4] These nutrients can then enter watersheds through water runoff.[5] Excess carbon and nitrogen have also been suspected as causes. Presence of residual sodium carbonate acts as catalyst for the algae to bloom by providing dissolved carbon dioxide for enhanced photo synthesis in the presence of nutrients. sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Algal_bloom

Phospate sekali lagi harus dilihat lebih detail karena ini bisa saja dihasilkan dari proses pertambangan misalnya pertambangan

Phosphate deposits can contain significant amounts of naturally occurring heavy metals. Mining operations processing phosphate rock can leave tailings piles containing elevated levels of cadmium, lead, nickel, copper, chromium, and uranium. Unless carefully managed, these waste products can leach heavy metals into groundwater or nearby estuaries. Uptake of these substances by plants and marine life can lead to concentration of toxic heavy metals in food products. In Germany, the use of uranium-contaminated standard phosphate fertilizers in farming has been linked to significantly raised uranium levels in drinking water.[15] In some areas, it has led to recommendations to use bottled water, instead of tap water, to prepare food for babies and small children. sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Phosphate

Sekali lagi menurut saya yang perlu di uji secara detail  adalah kandungan logam, kandungan material di air, bukan hanya ikan atau biota yang mati saja. Dan ini dilakukan pada lokasi lokasi yang merupakan penyebab kandungan phospate dan amoniak.