Mangrove dan Gambut Pulau Padang


Setelah lama tidak melakukan kegiatan lapangan karena Covid 19, kunjungan ke Pulau Padang menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Pulau Padang sendiri merupakan wilayah Provinsi Riau yang terbagi atas 2 kecamatan yaitu kecamatan Tasik Puti Puyu dan Kecamatan Merbau.

Ekosistem Gambut di Pulau Padang

Pulau Padang secara ekologi merupakan wilayah dengan dominasi hutan gambut yang bertemu langsung dengan ekosistem mangrove di bagian pantai.

Ekosistem gambut sangat penting dalam sisi lingkungan sebagai penjaga wilayah dan merupakan wilayah ekonomi masyarakat.

Peran ekonomi ekosistem gambut yang menjadi wilayah ekonomi masyarakat sebagai penghasil tanaman sagu.
Pinang di Pulau Padang merupakan salah satu komiditas penting yang tumbuh subur di kawasan Pulau Padang.
Bibit mangrove untuk restorasi

Kawasan mangrove sendiri merupakan ekosistem dominan pantai di Pulau Padang. Peran mangrove sangat penting dari sisi lingkungan maupun dari sisi ekonomi. Dari sisi lingkungan mangrove merupakan penahan arus laut. Sementara dari sisi ekonomi mangrove merupakan penghasil sumber daya laut seperti ikan, kerang dan mulai dikembangkan restorasi.

Jasa Lingkungan, Penataan Ruang dan Pengentasan Bencana Banjir Kalimantan


Banjir di Kalimantan sudah menjadi agenda tahunan ketika musim hujan tiba. Wilayah-wilayah ibukota mulai dari Samarinda, Banjarmasin, Pontianak merupakan beberapa kota yang secara regular terkena banjir saat musim hujan. Kerugian dari akibat banjir di Kalsel pada Februari 2021 diperkirakan mencapai 1,2 triliun rupiah. Demikian juga dengan banjir Samarinda kerugian yang dikalkulasi mencapai milyaran dalam satu tahun kejadian, banjir pekan saja ditahun 2019 diperkirakan kerugian mencapai 40 milyar berdasarkan kalkulasi peneliti dari Universitas Mulawarman. Kalkulasi lain menyebutkan kerugian 20 tahun banjir di Samarinda mencapai triliunan rupiah.


Secara umum Kalimantan memang merupakan wilayah yang rentan dengan resiko banjir, ini tidak terlepas dari kondisi wilayah yang datar dengan sebaran ibukota dan kota lainnya di sepanjang sungai. Faktor sejarah pembentukan pemukiman di Kalimantan yang berbasis sungai memang harus selalu diperhatikan. Berdasarkan kajian tutupan lahan 2019 Kalimantan memiliki 12,7 juta hektar hutan lahan kering sekunder dan 9,4 juta hektar hutan lahan kering primer sedangkan hutan mangrove sekitar 484 ribu hektar dan hutan rawa 311 ribu hektar tetapi luasan semak belukar mencapat 4,6 juta hektar dan luas perkebunan (baca: kebun sawit) sekitar 6,2 juta hektar.

Fakta lainnya misalnya Ibu Kota Provinsi Kaltim Samarinda yang terbelah oleh Sungai Mahakam, secara topogafi merupakan kombinasi wilayah datar sepanjang sungai dan beberapa wilayah berbukit kecil. Dalam wilayah DAS, Samarinda masuk dalam DAS Mahakam Hilir dimana Sungai Mahakam ini terdiri atas bagian hulu sampai Kabupaten Mahakam Hulu, bagian tengah yang merupakan Kawasan rawa dan Sebagian gambut serta bagian hilir yang didominasi oleh dataran rendah.Berdasarkan tutupan lahan Kota Samarinda didominasi oleh pemukiman, lahan pertanian, pertambangan, dan semak. Sedangkan kalkulasi tutupan lahan 2019 dengan di DAS Hulu Mahakam atau wilayah sekeliling Samarinda didominasi oleh semak belukar 43 persen, hutan tanaman 8 persen, tambak, pertambangan dan perkebunan masing-masing 7 persenKondisi hidrologis Samarinda tentunya akan tergantung pada Kawasan dihulunya dimana tutupan hutan sudah semakin berkurang dan hanya menyisakan 68 persen hutan di bagian hulu,sisanya merupakan kawasan pertanian lahan kering, perkebunan dan belukar. Pada bagian tengah sungai Mahakam masuk DAS Belayan dan DAS Bongan didomoinasi oleh kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri serta Sebagian masuk kawasan konservasi.


Dalam banyak diskusi mengenai konservasi, salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah apa keuntungan ekonomi yang didapat jika konservasi didahulukan dari pembangunan ekonomi? Pada konteks pembangunan berkelanjutan jangka panjang pertanyaan ini mungkin sulit dijawab karena kalkulasi nilai-nilai lingkungan hidup memang berlaku dijangka panjang. Nilai dari jasa lingkungan memang tidak dapat dikalkukasi karena tidak akan sebanding dengan nilai-nilai ekonomi, nilai akan tergantung situasi yang ada misalnya nilai jasa lingkungan air akan tinggi ketika jumlah air terbatas dan kualitas air tidak dapat dikonsumsi. Apalagi pertanyaan yang mengkontradiksikan antara konservasi species misalnya orangutan dengan kebutuhan ekonomi saat ini yang selalu mengarah pada kebutuhan ekonomi saat ini akan lebih dimenangkan. Nilai keberadaaan hutan ini dapat dijawab jika dikaitkan dengan bencana alam, misalnya saat air sudah mengenangi kota dimana para pengambil kebijakan dapat melihat dampak bencana lingkungan secara langsung.


Kalkulasi nilai-nilai alam sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu, salah satunya adalah dengan konsep natural capital yang diartikan sebagai kumpulan asset atau sumber daya alam yang terdiri atas unsur geologi, tanah, udara, air dan makhluk hidup di dalamnya. Dari natural capital ini manusia dapat mengukur berbagai nilai manfaat yang disebut dengan jasa lingkungan yang sepenuhnya akan mendukung kehidupan manusia. Konsep natural capital ini dimulai melihat sumber-sumber daya alam baik yang hidup/hayati dan non hayati yang kemudian menjadi fungsi ekosistem menjadi apa yang dikenal dengan jasa-jasa lingkungan. Jasa lingkungan ini memberikan keuntungan bagi manusia dan kemudian dapat diukur nilai-nya. Konsep natural capital jika dikaitkan dengan konsep ekonomi konvensional, ini disebut dengan bioeconomy dimana penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dapat digantikan dengan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.


Konsep pembangunan dengan memperhitungkan jasa lingkungan harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, terutama pihak-pihak atau masyarakat yang melakukan kegiatan pengelolaan lahan. Penerapan prinsip menjaga natural capital ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat dengan dukungan pemerintah, misalnya dilakukan dengan memberikan insentif ketika masyarakat mengelola lahan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, menjaga tutupan pohon, membuat terasering dan mencegah polusi air dari sampah atau sisa pupuk.


Pada skala yang lebih besar peran kebijakan pemerintah dilakukan dengan membeli/mengambil alih pengelolaan kawasan sepadan sungai atau lahan basah (rawa, mangrove, dll), membatasi infrastruktur yang tidak ramah lingkungan (tutupan semen di kawasan resapan) dan mengatur bahan yang berbahaya yang menyebabkan polusi air.
Jasa lingkungan juga dapat dilakukan dengan melibatkan pihak swasta, misalnya memberikan insentif pengelolaan melalui pendanaan dari perusahaan yang memanfaatkan jasa lingkungan air seperti perusahaan air minum. Pada konteks Kalimantan Timur dan Samarinda, ini dapat dikaitkan dengan perusahaan tambang batubara atau perusahaan sawit yang menggunakan jasa lingkungan air dalam kegiatan bisnis-nya. Dalam konteks penanganan banjir di Kalimantan secara umum, terdapat beberapa kajian yang perlu dilakukan kajian daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan air, kajian modelling hidrologi dan kajian tutupan lahan.


Tahapan-tahapan penting dalam pelaksanaan kebijakan dengan memasukkan natural capital dan jasa lingkungan dimulai dengan mengidentifikasikan wilayah-wilayah yang penting untuk dikonservasi, dan atau dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip berkelanjutan, mengidentifikasi daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan air dan tanah, kedua adalah mengidentifikasi kebijakan pendukung seperti pemberian insentif dan desentif, kebijakan penerapan tata ruang dan yang terakhir adalah membangun sistem monitoring dalam pelaksanaan kebijakan. Apa yang menjadi tantangan dalam penerapan kebijakan ini adalah minimnya informasi, tidak adanya minat dari pengambil kebijakan, dan adanya oposisi politik yang bertolak belakang dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang baik. Pada prakteknya kebijakan yang mendukung perlindungan natural capital dan jasa lingkungan akan tergantung pada kemampuan menggerakkan masyarakat, peran multi-stakeholder terkait termasuk pengusaha. Keterlibatan pengusaha misalnya akan dikaitkan dengan penggunaan sumber-sumber daya alam dan jasa lingkungan (misalnya air) dalam proses produksi-nya.


Kembali pada konteks kebencanaan misalnya banjir konsep natural capital melalui jasa lingkungan air dapat dikalkulasikan dengan menghitung kerugian tahunan akibat banjir dan bagaimana ini diubah dengan melakukan pembangunan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan. Pada konteks kebencanaan misalnya dapat dilakukan kajian-kajian bagaimana menempatkan pemukiman, kegiatan usaha dan infrastruktur dengan menmperhatikan lingkungan, kedepannya dampak-dampak lingkungan yang bersifat bencana dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Ini bukan hal yang mudah dilakukan, misalnya pada konteks perencanaan di Kawasan perkotaan yang sudah terlanjur dibangun dan direncanakan tanpa kalkulasi nilai-nilai jasa lingkungan atau pada kegiatan usaha yang sudah terlanjur berjalan. Aspek keterlanjuran sering menjadi alasan kenapa konsep-konsep pembangunan yang memperhatikan jasa lingkungan sulit diterapkan, tetapi jika tidak dimulai maka akumulasi kerugian akibat bencana banjir dan longsor akan jauh lebih besar dari pada investasi yang diperlukan dengan kebijakan yang berwawasan lingkungan.

Natural Capital vs Disaster Risk dalam Konteks Kajian Geohidrologi dan Bencana.


Natural capital adalah kumpulan aset alam baik geologi, tanah, air dan udara dan semua makhluk hidup diatasnya. Natural capital can be defined as the world’s stocks of natural assets which include geology, soil, air, water and all living things. It is from this natural capital that humans derive a wide range of services, often called ecosystem services, which make human life possible.

Boleh dikatakan saat ini aset alam sudah banyak diabaikan dalam pembangunan ekonomi, buktinya rambu-rambu yang membatasi kerusakan aset alam ini sudah mulai ditabrak saat dilakukan pembangunan. Ambil contoh mudah seperti pembangunan dilakukan di kelerengan tinggi (lebih dari 40%), pembangunan di bantaran sungai, penggundulan hutan dan konversi lahan gambut.

Nilai dari alam atau jasa lingkungan sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi/finansial. Bayangkan jika kita tidak memiliki air atau udara bersih, maka semua nilai ekonomi/finansial yang dibangun bisa tidak berarti. Tetapi mengukur nilai finansial alami dapat menjadi pembelajaran untuk memahami dan lebih menghargai alam.

Kejadian longsor di Sumedang baru-baru ini misalnya memakan 40 korban jiwa dan kita bisa bandingkan nilai kerugian korban dengan nilai ekonomi saat lahan yang tidak layak dibangun, dijadikan pemukiman. Demikian pula dengan banjir dan longsor ditempat-tempat lain seperti di Jakarta, Manado, Banjarmasin, Samarinda, dll. Demikian juga dengan kejadian banjir tahunan di Jakarta, diperkirakan banjir ditahun 2020 saja menyebabkan kerugian sampai 10 triliun jika dihitung mundur ketahun-tahun sebelumnya, jumlahnya akan sangat besar. Kerugian banjir Samarinda selama 20 tahun diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Pertanyaan menarik adalah bagaimana kalau kerugian bencana digunakan untuk memperbaiki natural capital, misalnya digunakan untuk perbaikan kawasan sepadan sungai seperti relokasi pemukiman atau penghijauan kembali kawasan sepadan sungai, perbaikan penataan ruang seperti perbaikan perizinan atau penegakan hukum tata ruang. Dari mana dana untuk semua kegiatan itu? Ini dapat dilakukan baik dengan mengalokasikan pendanaan diawal sebagai bentuk mitigasi atau menggunakan pendanaan offset/pengganti pada kegiatan-kegiatan yang menggunakan sumberdaya air misalnya.

Secara mudah kesimpulan yang dapat diambil adalah DIBANDINGKAN MENERIMA DAMPAK KERUGIAN TRILIUNAN RUPIAH DALAM JANGKA PANJANG, LEBIH BAIK MELAKUKAN INVESTASI BERBASIS NATURAL CAPITAL DISAAT SEKARANG. Dalam jangka panjang investasi dengan mempertimbangkan faktor konservasi akan lebih menguntungkan.

Avoid, Minize/Restore dan Offset

Salah satu kajian yang mencoba menggabungkan antara kepentingan konservasi dan pembangunan adalah kajian Development by Design. Kajian ini sudah dilakukan sejak 2009 dan diaplikasikan pada banyak sektor pembangunan mulai dari energi, pertambangan, perkebunan dan kajian lain.

Konsep hirarki mitigasi sebenarnya dapat disusun diawal ketika pembangunan dalam proses perencanaan, misalnya pada penyusunan RPJM atau Rencana Tata Ruang (RTRW). Pada proses perencanaan misalnya dampak sebenarnya dapat dikalkulasi, ambil contoh pada perencanaan tingkat tapak (site) pembangunan pabrik saja bisa dilakukan kajian dampak melalui kajian AMDAL. Demikian juga dengan tata ruang, jika satu wilayah dialokasikan menjadi pemukiman, maka dampak terkait hidrologi dimana kawasan ini menjadi kawasan yang tidak/sedikit menyerap air dapat dikalkulasikan dengan modelling hidrologi (misalnya dengan soil water assessment tool/SWAT atau INVEST). Jika kawasan APL dijadikan perkebunan di Kalimantan (baca: sawit), maka dampaknya dapat dikalkulasi, berdasarkan kajian hidrologi, maka kebun sawit akan lebih rentan mengalami erosi dan sedikit menyerap air dibandingkan hutan atau semak belukar karena sudah terbangun karena aliran permukaan lebih tinggi.

Dalam konsep hirarki mitigasi, awal kegiatan adalah menentukan area-area mana yang penting untuk dikonservasi, ambil contoh mudahnya seperti kawasan sepadan sungai, kawasan berhutan (terutama kawasan hutan alam yang memiliki kekayaan biodiversity) atau kawasan karst dan gambut. Kemudian menyusun potensi dampak. Kemudian menyusun hirarki mitigasi.

Contoh penerapan hirarki mitigasi dalam konteks pengelolaan lingkungan yang memperhatikan aspek konservasi geohidrologi:

  • Avoid:
    • Sepadan sungai: 100 m, 50 m, 10m atau 5 meter tergantung karakteristik sungai
    • Sepadan danau : 100 m atau 50 m
    • Lereng curam : lebih dari 40%
    • Kawasan hutan: berdasarkan regulasi tata ruang pre- UU Cipta Karya disebutkan 30% kawasan hutan disatu DAS harus dilindungi. Dengan UU Cipta Karya pemerintah perlu melakukan kajian detail per DAS dan menentukan kawasan ini (PR Besar sebagai implikasi UU Cipta Karya).
  • Minimize:
    • Membuat teras sering pada kegiatan yang harus dilakukan di lereng dibawah 40%
    • Melakukan penataan ruang yang menjaga kawasan resapan pada pemukiman
    • Perkebunan berbasis agroforestry pada kawasan yang dekat dengan hutan
  • Restore:
    • Penanaman kembali kawasan terdegradasi
    • Mengembalikan sepada sungai atau danau sebagai kawasan hijau
    • Mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional atau cagar alam yang dirambah.
    • Mengembalikan fungsi kawasan gambut
  • Offset
    • Menyusun skenario offset pada kegiatan berbasis sumberdaya air, misalnya perusahaan produsen air minum harus membantu pendanaan untuk kegiatan restorasi kawasan.
    • Perusahaan yang terlanjur menggunakan gambut (tipis) dapat diminta offset untuk konservasi kawasan gambut dalam lebih dari 3 m.
    • Perusahaan pertambangan batubara membiayai restorasi kawasan konsesi dan kawasan sekitarnya yang terbuka.

Pada intinya ini semua dapat dilakukan dengan DUKUNGAN KEBIJAKAN, kita tidak dapat lagi menyalahkan curah hujan yang tinggi, pasang naik atau topografi negara kita yang landai, berbukit dan bergunung. Sudah saatnya berpikir jangka panjang dan bukan hanya memikirkan keuntungan sesaat dan menerima dampak sepanjang waktu.

Perencanaan Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Yuridiksi: Apa Mungkin Berkelanjutan?


Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.

Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.

Yuridiksi Perkebunan Berkelanjutan – Kajian Spatial

Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.

Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.

Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.

Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.

Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi

Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.

Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.

Sawit yang semakin merambah kawasan hutan

Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Usulan Model Pemanfaatan Berbasis Ekosistem


Berikut salah satu presentasi yang pernah saya buat terkait Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Memasukkan aspek lingkungan hidup dan konservasi didalamnya.

Nilai Kehilangan Hutan Mangrove


Hutan mangrove di seluruh dunia mencapai kawasan seluas 145.000 km2 merupakan salah satu ekosistem yang terancam kelestariannya, ada banyak ancaman atas keberadaan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas manusia.

Hutan mangrove memiliki nilai yang sangat penting, ekosistem mangrove merupakan ekosistem dengan spesies-spesies unik baik flora dan fauna. Nilai jasa ekosistem kawasan mangrove diperkirakan mencapai 9000 USD per hektar per tahun. Sementara studi lain menyebutkan nilai 32.000 USD per hektar per tahun hanya untuk jasa penghasil ikan/udang/kepiting.

Dari sisi perubahan iklim, ekosistem mangrove memiliki nilai carbon stock yang sangat tinggi diperkirakan nilainya antara rentang 200 megagrams per hectare sampai 2000 megagrams per hectare. Kalimantan sendiri memiliki nilai sektar 1200 megagrams perhektar. Nilai ekologi ini ditambah dengan kekayaan biodiversity endemik di Kalimantan seperti bekantan, dll.

Ancaman utama ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan tentu saja pembangunan infrastruktur lainnya. Kawasan mangrove umumnya merupakan kawasan pemukiman ini tidak terlepas dari nilai mangrove secara ekonomi yang menyediakan pangan dan kebutuhan lainnya.

Berikut beberapa peta perubahan hutan mangrove di Kalimantan dengan menggunakan peta tahun 2012 dan 2019. Dalam jangka waktu 7 tahun saja perubahan mangrove sudah sangat luar biasa..

Perubahan di Kalimantan Utara
Perubahan di Kalimantan Timur
Perubahan di Kalimantan Timur

Penyebab perubahan per lokasi pasti akan berbeda-beda, untuk Kalimantan penyebab utama antara lain perubahan menjadi tambak. Pada beberapa lokasi diperkirakan perubahan disebabkan oleh pembangunan pemukiman serta infrastruktur lain seperti pelabuhan, pertambangan.

Melihat Peluang Biodiversity Offset


LAMPIRAN XII
Peta Konsesi Tambang di RTRW Kalimantan Timur 2016-2036

Dalam pendekatan Development by Design yang digunakan The Nature Conservancy, hirarki mitigasi mengacu pada standar yang diperkenalkan oleh BBOP (Business and Biodivesity Offset Programme) yang me-ranking mitigasi atas avoid, minimize, restore dan offset) dimana offset adalah pilihan terakhir dalam menyusun skenario mitigasi.

Perkembangan pembangunan pada sektor pembangunan berbasis sumberdaya alam seperti minyak dan gas bumi, batubara, kehutanan (kayu) dan perkebunan sawit merupakan tulang punggung pembangunan di Indonesia dalam kurun waktu yang lama. Pada saat kegiatan dilakukan mungkin belum pernah terpikirkan sebuah skenario mitigasi yang baik. Beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan yang saya tahu telah menyusun dalam bentuk restorasi dan rehabilitasi kawasan. Tetapi apakah itu disusun dalam sebuah skenario mitigasi, perlu dikaji lebih jauh.

Skenario mitigasi idealnya dilakukan pada tahapan perencanaan kegiatan pembangunan atau kegiatan sektoral tertentu baik pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Ini dilakukan dengan tujuan agar pembangunan tersebut tidak memberikan dampak yang besar serta agar dampak tersebut dapat dimitigasi dengan sebaik-baiknya. Sayangnya sektor seperti pertambangan sudah berjalan puluhan tahun bahkan beberapa sudah selesai. Salah satu peren

Kejadi terbaru di April 2018 dengan matinya pesut di Teluk Balikpapan mengingatkan kita bahwa mitigasi tidak direncanakan dengan baik. Sebuah pertanyaan singkat akan menarik untuk dikaji seperti “Apa yang sudah diberikan/dilakukan oleh perusahaan perminyakan di Teluk Balikpapan dalam kegiatan konservasi pesut?” Bayangkan jika semua perusahaan minyak di Kaltim melakukan offset atas dampak kegiatannya dengan memberikan dukungan kegiatan atau pendanaan pada penyelamatan pesut, bekantan atau spesies lain yang ada di wilayah kerja mereka. Saya percaya akan bisa dilakukan sebuah kegiatan konservasi yang sangat besar dan mampu menjaga kekayaaan biodiversity di Kalimantan Timur.

Kehilangan habitat orangutan di Kalimantan berdasarkan beberapa riset diakibatkan expansi perkebunan (sawit). Riset menyebutkan 78% kawasan habitat orangutan berada di luar kawasan lindung dimana sebagian adalah kawasan untuk kegiatan kehutanan (HPH dan HTI) dan perkebunan (sawit). Jika saja hirarki mitigasi diberlakukan, maka dapat dikembangkan skenario avoid (pada kawasan yang memang memiliki NKT tinggi), minimize/restore pada kawasan terdampak dengan potensi pembangunan tinggi dan secara NKT tidak terlalu tinggi, atau offset pada kawasan yang sudah terlanjur dibuka tanpa kajian bidoviversity yang baik.

Pembangunan pada sektor kehutanan mengharuskan adanya setoran dana reboisasi, sektor sawit (anggota RSPO) menyebutkan adanya kompensasi dan remediasi. Bisa dibayangkan jika pada wilayah yang sudah terlanjut dibuka dilakukan offset yang kemudian digunakan untuk kegiatan penyelamatan keanekaragaman hayati dan biodiversity.

Saya yakin bahwa kekayaan biodiversity  yang ada baik yang diperairan seperti pesut, bekantan di mangrove, orangutan dan badak di hutan dataran rendah atau spesies lain, semua dapat dikonservasi dengan lebih baik jika pilihan offset dilakukan pada kegiatan yang sudah memberikan dampak ke lingkungan hidup selama puluhan tahun. Bukan untuk orangutan dan atau pesut tetapi perlindungan keanekaragaman hayati akan menjadi kunci bagi keberlanjutan ekosistem dan lingkungan hidup manusia yang tinggal didalamnya.

Pengelolaan DAS dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis


Latar Belakang

  • Peran Sungai dan pengelolaan DAS

Sungai merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat secara umum, sungai merupakan sumber air untuk semua kebutuhan dan sebagai wadah transportasi dimana pengangkutan barang dan manusia dilakukan melalui sungai. Secara umum di Kalimantan sungai merupakan urat nadi masyarakat Kalimantan.

Sungai di Berau juga merupakan satu urat nadi kehidupan masyarakat, secara kasat mata dapat dilihat dari pola pemukiman di kabupaten Berau dimana desa-desa yang ada terdapat di sepanjang sungai.

IUCN_DAS
Peran DAS (sumber: IUCN)

Keterkaitan sungai dan pengelolaan DAS merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, DAS merupakan satuan unit pengelolaan dimana semua unsur mulai dari landscape hutan, pemukiman dan lahan pertanian akan memberikan pengaruh timbal balik.

Sungai memberikan banyak sekali manfaat, gambar berikut berasal dari IUCN 2008 tentang Pay – Establishing payments for watershed services, dimana dalam dokumen tersebut dijelaskan secara detail manfaat sungai dan pentingnya kebijakan PES untuk mendukung perlindungan sungai dan DAS.

WRI_DAS
Enter a caption

Tidak hanya di Berau, hampir di seluruh Indonesia, pengelolaan sungai tidak dilakukan dengan baik. Ambil saja Jakarta  dengan Ciliwung-nya, mulai dari hulu-nya di wilayah Bogor, sungai ini tidak dikelola karena pada wilayah tangkapan air-nya tidak dijaga, akibatnya setiap tahun sungai ini mengalami proses pendangkalan. Penempatan pabrik di sepanjang Ciliwung menjadikan kualitas air tercemar dan memerlukan proses pengolahan yang mahal untuk dijadikan bahan baku PDAM di DKI Jakarta. Pembangunan kota dengan pemukiman yang tidak teratur dimana terdapat pemukiman yang tepat dipinggir sungai menyebabkan proses polusi yang lebih besar dengan adanya limbah domestic dan pendangkalan sungai. Akibat lainnya yang dialami oleh Bogor dan DKI Jakarta sebagai wilayah yang masuk dalam DAS Ciliwung adalah bencana banjir yang menjadi bencana tahunan.

Model pembangunan yang tidak baik itu kemudian ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia, seperti pengelolaan sungai di Brantas yang tidak mengedepankan aspek lingkungan. Sungai-sungai di Berau mulai dikelola dengan tidak memperhitungkan dampak-dampak-nya.

Gambaran umum sungai dan DAS di Kabupaten Berau dan Kaltim pada umunya.

Kabupaten Berau terdiri atas beberapa DAS dengan DAS Berau sebagai DAS yang paling besar. DAS Berau terdiri atas 3 sungai utama yaitu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang kemudian menyatu menjadi sungai Berau di Tanjung Redeb.

Sungai Kelay memiliki hulu di wilayah Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang terletak di perbatasan antara Berau dan Kutai Timur, sungai ini bermuara di Tanjung Redeb

Sungai Segah bertemu dengan sungai Kelay menjadi sungai Berau dan kemudian bermuara di laut.

Menilik Tata Ruang Kabupaten Berau dan wilayah lain di Kalimantan dan Indonesia secara umum, sebenarnya belum terlihat jelas pengelolaan kawasan DAS di kabupaten Berau. Pola ruang misalnya masih menempatkan pengembangan pertanian pada kawasan sepanjang sungai. Padahal wilayah tersebut seharusnya di buffer dengan jarak yang lebih tinggi. Dalam RPJMD telah sangat bagus dengan memasukkan indikator pencemaran sungai sebagai target dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam RPJMD Berau ditargetkan pengurangan pencematan dibawa Indeks Pencemaran <5. Ini adalah sebuah strategi yang baik. Permasalahannya adalah bagaimana menterjemahkan kedalam bentuk-bentuk kegiatan pengelolaan DAS, karena kualitas air sungai berkorelasi langsung dengan pengelolaan DAS.

Kajian Dampak

Kajian dampak akan sangat penting dilakukan pada seluruh kawasan DAS. Pembagian kajian dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Kajian Dampak Pengelolaan DAS Berau
  • Berdasarkan kejadian yang ada saat ini maka kondisi yang ada di wilayah DAS di Kabupaten Berau antara lain
  • Dampak penutupan lahan di sekitar DAS Segah dan Kelay pada sector Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan
  • Penutupan lahan sepanjang sungai Segah dan Sungai Kelay akan berpengaruh pada kondisi peraiaran sungai.
  • Penutupan lahan dengan perkebunan akan memberikan dampak yang dapat digali melalui kajian literature
  • Pentupan lahan pertambangan batubara akan memberikan dampak terkait dengan alih fungsi lahan yang menyerap air dengan yang tidak menyerap dan meningkatkan limpasan air.
  • Dampak pengelolaan limbah domestik/rumah tangga
  • Limbah domestic/rumah tangga akan memberikan dampak berupa pencemaran ke sungai.
  • Limbah ini akan terus berkembang sesuai dengan penambahan jumlah penduduk dan perkembangan pemukiman pada sungai Segah, sungai Kelay dan sungai berau sekaligus pada anak sungainya.

Rekomendasi Kebijakan Rencana dan Program Pengelolaan DAS

Rekomendasi dilakukan melalui kegiatan seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dimana integrasi dan rekomendasi dapat dimasukkan ke dalam berbagai dokumen perencanaan misalnya:

  • Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Sungai untuk RPJMD, ini dapat dikaitkan dengan kebijakan lain misalnya ketersediaan air, transportasi, wisata, dll.
  • Rekomendasi Perencanaan Ruang terkait Sungai dan DAS pada dokumen Draft Tata Ruang Kabupaten
  • Rekomendasi Program Pengelolaan DAS yang mengedepankan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Referensi

Smith, M., de Groot, D., Perrot-Maîte, D. and Bergkamp, G. (2006). Pay – Establishing payments for watershed services. Gland, Switzerland: IUCN. Reprint, Gland, Switzerland: IUCN, 2008.

Ancaman Kerusakan Lingkungan Ekosistem Karst di Kalimantan Timur


Karst diambil dari nama sebuah wilayah dibagian timur laut italia dan Slovenia, yang merupakan wilayah yang didominasi oleh batuan karbonal. Karst merupakan formasi morfologi dan hidrologi yang terbentuk dari proses pelarutan baruan karbonat (biasanya gipsum  juga halite dan quartize) (Guitierez, et all 2014).

Karst di Indonesia tersebar di wilayah yang luas mulai dari Aceh sampai Papua, berikut adalah peta sebaran gamping (limestone) di Indonesia yang merupakan wilayah dengan ekosistem karst di dalamnya.

gamping-di-indonesia
Sebaran limestone di Indonesia

Di Kalimantan wilayah karst terdapat di Kalimantan Timur dapat dilihat dari peta beikut ini.

karst-kalimantan
Sebaran karst di Kalimantan, sumber REPPPROT

Kalimantan memiliki karst seluas hampir 2 juta hektar yang terancam dari kegiatan ektraksi seperti rencana pendirian pabrik semen, rencana tambang galian batu gamping, perkebunan sawit besar di kawasan karst. Sebagai sebuah ekosistem, karst memiliki peran dan nilai lingkungan, ekonomi,sosisal dan budaya. Karst merupakan wilayah yang memiliki nilai penting dari sisi lingkungan. karena sifat ekosistem karst yang rentan dan unik.

Sebuah studi menyebutkan bahwa karst ini memiliki kekayaan biodiversity yang besar. Clement, et al (2006) merangkum kekayaan biodiversity di wilayah karst sebagai berikut.

tabel-threatened-species-karst

Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Kawasan karst di Kalimantan Timur yang paling luas adalah bentang ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Lokasinya terdapat di perbatasan antara Kabupaten Berau dengan Kabupaten Kutai Timur.

 

karst_kaltim_ekosistem_polaruang
Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Ancaman Perluasan Wilayah Desa/Kota

Perluasan pemukiman baik pemukiman pedesaan dan perkotaan adalah ancaman untuk sumberdaya alam secara keseluruhan termasuk sumberdaya karst., terdapat bebetapa wilayah karst yang berdekatan dengan pemukiman seperti karst-karst di pulau Jawa.

Kawasan karts yang terbangun ini kemudian akan mengubah pola-pola akifer yang ada di karst tersebut. Beberapa riset menunjukkan bahwa kawasan karst yang terbangun juga rentan akan bencana seperti subsiden/penurunan permukaan,longsor dan banjir.

Ancaman Industri Semen

Industri semen merupakan ancaman terbesar untuk karst, wilayah-wilayah karst yang mengandung batuan gamping/limestone merupakan batuan yang digunakan dalam industri semen.

Industri semen memberikan dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa:

  • Polusi udara

Polusi udara dihasilkan dari proses pengolahan seperti penghancuran material gamping dan proses lainnya yang melepaskan polutan debu ke udara. Polusi udara juga berasal dari penggunaan energi, karena industri semen merupakan industri yang boros dalam penggunaan energi. Kebanyakan energi dihasilkan dari fosil seperti batubara atau minyak bumi.

Polusi udara berupa partikel yang terbawa yang mengandung NOx, SOx dan COx

  • Polusi air

Polusi air berasal dari pabrik penglolahan yang akan masuk ke akifer, proses ini berupa limbah cair yang masuk ke sinkhole dari karst. Karst tidak seperti tanah (mineral) tidak memiliki kemampuan penyaringan sebesar tanah. Sehingga sangat rentan dalam mengalirkan limbah melalui akifer karst tersebut.

Ancaman Bagi Pertanian

Sebuah studi yang dilakukan di Kentucky (USA) dan Southwest China oleh Baket et al 2006 menunjukkan dampak pertanian dan perkebunan terhadap kualitas air di wilayah karst. Misalnya di wilayah Kenticky disebutkan ada sekitar setengah juta penduduk yang menggantungkan sumber airnya dari karst dan akibat pencemaran menyebabkan sumber air ini mengandung bakteria.

Ancaman lain dari pertanian adalah pupuk dan pestisida, termasuk bakteri coli dan bakteri lain di wilayah yang peternakan dan minim saluran pengolahan (Aharonson et al. 1987).

Sebuah studi yang dilakukan di Nigeria menunjukkan bahwa polutan partikel terbawa oleh udara mencapai jarak 6 km dan menggangu pertanian sekitar karena partikel debu halus ini kemudian menutupi daun dan menggangu fotosintesa. Akibatnya tumbuhan tidak maksimal pertumbuhannya.

Ancaman Bagi Kesehatan

Ancaman kesehatan terbesar kesehatan adalah ancaman terbesar dari kegiatan pengambilan dan industri semen.

Di wilayah karst sumberdaya air sangat sensitif terhadap kontaminasi dan polusi (Hao, et all). Tidak seperti tanah mineral, karst tidak menyaring polutan dengan baik sehingga materi terbawa air cenderung akan dialirkan dengan kondisi yang lebih buruk.

Ancaman kesehatan terbesar berasal dari polutan debu yang dihirup melalui udara.

Dampak-dampak tersebut seharusnya sudah bisa diperhitungkan dalam kajian AMDAL, tetapi sayangnya AMDAL semen di beberapa lokasi di Indonesia tidak dilengkapi dengan kajian teknis yang mencukupi untuk membantu menjelaskan dampak serta merekomendasikan mitigasinya. Berikut satu tulisan menarik mengenai AMDAL industri semen yang dilakukan di Mesir: cement-en.

 

Karst Sangkulirang-Mangkalihat


Karst Sangkulirang – Mangkahaliat lies between Berau and East Kutai district. It is known for its unusual geology with limestone being formed by ancient coral reefs, and is one of the largest karst topographies in Southeast Asia about 420,000 acre wide. With jagged limestone formation, the area also has cavernous structure, which is important for underground aquifers.[1] The area has a significant amount of forest carbon stock, is home to unique biodiversity, and provides vital environmental services for local population.

karst_kaltim_sk718_eng

Biodiversity

Home to unique and endemic species, Karst Sangkulirang – Mangkahaliat is recognized by International Union for Conservation of Nature (IUCN) as a global center for plant biodiversity richness. It was also identified as one of the top 10 endangered karst ecosystems by international karst specialists[2].

TNC and the Indonesian Institute of Science (LIPI) conducted a rapid biological survey in 2004 on the area’s unique and rich biodiversity. The research found approximately 120 species of birds, 38 species of fish, 38 species of bats, dozens of aquatic troglobitic or troglophilic arthropods, 147 species of snails and several hundred species of cave arthropod in the area. The survey also found four endemic species of fish, 37 of snails, and hundreds of species of arthropods that are new to science.

Another research led by TNC in 2009 focused on the existence of endangered species in the area. The survey predicted a significant size of orangutan population exists in the Sangkulirang karst.

Economical Values

Karst Sangkulirang – Mangkahaliat has high economical value. The 240 caves in the areas are important for the collection of white and black swiftlets’ nests. The area also provides water sources for up to 90,000 people who inhabited the area. The population is spread into 8 villages and 3 new transmigration settlements.

There are five rivers from the area that flow to East Kutai district, and three rivers to Berau district. These rivers provide modes of transportation, clean water and irrigation to the communities.

Karst Sangkulirang – Mangkahaliat also provides a living to the residents, many of whom collect gaharu (Eagle wood), harvest wild honey – particularly among the Dayak communities- and other minor forest products. The area has its tourism potential, offering not only its beauty but also adventure through eco-tourism.

Karst Sangkulirang – Mangkahaliat provides an opportunity for sustainable financing and conservation through REDD mechanism.  Preliminary estimate indicates that the vegetation and karst rocks store more than 339 million tones of carbon dioxide equivalent.

Social Cultural Heritage

Out of some 240 caves in the area, a total of 30 sites show invaluable evidence of prehistoric arts. The area especially in Marang area is an archeological treasure. The caves are famous for Mesolithic (Middle Stone Age) paintings that are estimated to be 9,800 years old.[3] Decorating caves are known to be a part of spiritual and cultural activities in the prehistoric time.

Threats facing the area

But despites its ecological, scientific, socio-cultural and economic value, the area is constantly facing threats of degradation mostly caused by forest fire, illegal logging, treasure hunting, and conversion into farms, timber plantations and mines. The habitat alteration caused by these factors will have significant consequences for the biodiversity and also the people whose lives depend on the area.

 

Source: TNC reports on Karst

_______

[1] Gilbert amd Deharveng (2002) from Salas et. al (2005). Biodiversity, endemism and the conservation of limestone karsts in the Sangkulirang Peninsula, Borneo.Biodiversity 6 (2), pg. 15 – 23.

[2] Tronvig, K. A. and Belson, C. S (1999) Top Ten List of Endangered Karst Ecosystems. Karst Waters Institute, (http://www.karstwaters.org/TopTen3/topten3.htm, downloaded 25 March 2010)

[3] Pindi. Tantangan Kawasan Lindung Karst: Kerja Besar Pemda Kutim untuk Masa Depan. On Seminar of Rencana Aksi Pengelolaan Kawasan Kars Sangkulirang. Date: 9 August 2010.