Perambahan dan Perlunya Perbaikan Pada Delineasi Izin HGU Perkebunan Sawit


Salah satu hal yang sangat disayangkan dari perizinan perkebunan sawit di Indonesia adalah pemetaan kawasan HGU yang dilakukan dengan mengeluarkan wilayah sepadan sungai dari konsesi konsesi besar. Untuk perusahaan ini memang sangat menguntungkan, karena kawasan sepadan sungai berdasarkan regulasi tata ruang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan tidak boleh ditanami.

Salah satu Peta HGU Konsesi di Kalimantan

Pada peta di atas kawasan sungai dikeluarkan dari HGU, dengan dikeluarkannya kawasan ini dari ijin perusahaan, maka perusahaan tentu saja dapat lepas tangan jika ini kemudian dibuka pihak lain.

Pada peta zoom akan terlihat bahwa kawasan yang tidak masuk HGU akan menjadi kawasan yang rentang untuk dibuka baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang merasa bahwa kawasan ini sebagai kawasan kelola baru dengan peluang menanam sawit dan hasilnya dapat ditampung oleh perusahaan.

Buffer Sungai menjadi kawasan di luar konsesi perkebunan

Buffer sungai dan mengeluarkan wilayah dari perijinan seperti melepas kewajiban konsesi untuk menjaga wilayah sepadan sungai. Karena itu regulasi ISPO yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kawasan sepadan sungai menjadi tidak berarti.

Perambahan di wilayah sepadan sungai

Gambar diatas merupakan satu dari banyaknya kejadian dimana kawasan sepadan sungai bukan merupakan wilayah kelola konsesi. Jadi ketika ada yang menggunduli kawasan sepadan sungai, maka perusahaan bisa lepas dari tanggung jawabnya.

Ini mungkin bisa menjadi bahan pelajaran untuk lembaga pemberi izin HGU, bahwa sebaiknya memberikan izin termasuk pada kawasan buffer sungai dan termasuk kewajiban perusahaannya untuk menjaga kualitas lingkungan sepanjang sepadan sungai.

Perencanaan Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Yuridiksi: Apa Mungkin Berkelanjutan?


Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.

Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.

Yuridiksi Perkebunan Berkelanjutan – Kajian Spatial

Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.

Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.

Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.

Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.

Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi

Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.

Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.

Sawit yang semakin merambah kawasan hutan

Nilai Kehilangan Hutan Mangrove


Hutan mangrove di seluruh dunia mencapai kawasan seluas 145.000 km2 merupakan salah satu ekosistem yang terancam kelestariannya, ada banyak ancaman atas keberadaan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas manusia.

Hutan mangrove memiliki nilai yang sangat penting, ekosistem mangrove merupakan ekosistem dengan spesies-spesies unik baik flora dan fauna. Nilai jasa ekosistem kawasan mangrove diperkirakan mencapai 9000 USD per hektar per tahun. Sementara studi lain menyebutkan nilai 32.000 USD per hektar per tahun hanya untuk jasa penghasil ikan/udang/kepiting.

Dari sisi perubahan iklim, ekosistem mangrove memiliki nilai carbon stock yang sangat tinggi diperkirakan nilainya antara rentang 200 megagrams per hectare sampai 2000 megagrams per hectare. Kalimantan sendiri memiliki nilai sektar 1200 megagrams perhektar. Nilai ekologi ini ditambah dengan kekayaan biodiversity endemik di Kalimantan seperti bekantan, dll.

Ancaman utama ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan tentu saja pembangunan infrastruktur lainnya. Kawasan mangrove umumnya merupakan kawasan pemukiman ini tidak terlepas dari nilai mangrove secara ekonomi yang menyediakan pangan dan kebutuhan lainnya.

Berikut beberapa peta perubahan hutan mangrove di Kalimantan dengan menggunakan peta tahun 2012 dan 2019. Dalam jangka waktu 7 tahun saja perubahan mangrove sudah sangat luar biasa..

Perubahan di Kalimantan Utara
Perubahan di Kalimantan Timur
Perubahan di Kalimantan Timur

Penyebab perubahan per lokasi pasti akan berbeda-beda, untuk Kalimantan penyebab utama antara lain perubahan menjadi tambak. Pada beberapa lokasi diperkirakan perubahan disebabkan oleh pembangunan pemukiman serta infrastruktur lain seperti pelabuhan, pertambangan.

Tutupan Lahan dan Wacana Pembangunan Lahan Pertanian


Pandemi Covid 19 menjadi salah satu pemicu untuk kembali memikirkan ketahanan pangan di Indonesia. Ketergantungan pada produk pertanian  impor memang tidak memberikan rasa aman terkait ketahanan pangan di Indonesia.

Salah satu kebijakan yang muncul belakangan adalah instruksi presiden untuk pencetakan 600.000 hektar lahan pertanian baru dengan komposisi sekitar 400.000 hektar di lahan gambut dan sisanya di lahan mineral.

Tentu saja kebijakan pembukaan lahan di gambut menuai protes dari banyak pihak, mulai dari lembaga swadaya masyarakat sampai beberapa ahli yang menanyakan alasan dibalik memilih lahan gambut, mengingat kegagalan pada kebijakan pembukaan 1 juta hektar di lahan gambut yang dilakukan di Kalimantan Tengah.

Lalu bagaimana sebenarnya profil penggunaan lahan di Indonesia?

LC_2018

Berdasarkan data land cover 2018 terdapat sekitar 7,9 juta hektar sawh di Indonesia, 9,7 juta hektar pertanian lahan kering, 27,6 juta hektar pertanian lahan kering campuran dan sekitar 16 juta hektar lahan perkebunan yang 99,9 persen mungkin sawit. Secara mudah mungkin bisa dilihat ada 13,5 juta hektar semak belukar dan 3,2 juta hektar lahan terbuka, ini mungkin  bisa menjadi potensi pengembangan lahan pertanian baru. Tetapi kita harus ingat bahwa lahan pertanian seharusnya dikembangkan di wilayah fungsi non hutan atau area penggunaan lain/APL. 

LC_2018_APL

Dengan tanah terbuka 878 ribu hektar dan semak belukar 5,3 juta hektar di APL, maka potensi pengembangan hanya 6,2 juta hektar. Inipun baru perhitungan berdasarkan landcover tanpa melihat kesesuaian lahan, kepemilikan lahan dan distribusi secara spatial.

Target 600 ribu hektar jika dilihat memang sangat kecil, dibandingkan luas lahan tanah terbuka dan semak belukar. Tentu saja jika ingin membuka lahan baru, maka beberapa persyaratan seharusnya dilakukan:

  1. Lahan gambut seharusnya menjadi pilihan terakhir untuk dibuka menjadi lahan pertanian.
  2. Lahan gambut tidak cocok untuk menjadi sawah padi, kondisi ekosistem gambut memerlukan penyesuaian dan biaya besar untuk dapat ditanami.
  3. Lahan gambut merupakan cadangan karbon yang tinggi, mengubah fungsi kawasan ini akan berisiko pada kerusakan lingkungan, termasuk kebakaran hutan.

Pilihan yang lain dalam kaitan peningkatan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan antara lain.

  1. Intensifikasi lahan; melalui kegiatan peningkatan produksi baik di lahan sawah yang hampir 8 juta hektar ini ataupun 37,1 juta hektar lahan kering di Indonesia.
  2. Diversifikasi komoditas; bicara pangan tentunya tidak hanya padi, perlu diversifikasi produk pangan seperti jenis-jenis ubi, singkong, jagung dan tentunya sagu.

Jika kita bisa menanam 16 juta hektar sawit (data dari perhitungan peta) atau lebih luas lagi, pasti kita bisa menanam tanaman pangan juga.

Tutupan lahan Kalimantan

Dari peta tutupan hutan Kalimantan, terlihat bahwa tutupan hutan untuk hutan dataran rendah primer sudah semakin sedikit dan menyisakan wilayah dibagian perbatasan sepanjang Kalimantan dan negara Malaysia.

Tutupan lahan Sulawesi_Maluku

Sementara di Sulawesi dan Maluku, kawasan hutan juga semakin menipis.

 

 

 

 

 

 

 

Luas Kebun Sawit 21 juta ha, tetapi luas bawang putih 2 ribu hektar.


petaasawit

Peta di atas adalah hasil browsing saya untuk data kesesuaian lahan sawit di Indonesia, hasilnya adalah peta jpg yang mungkin hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang mencari dengan keyword yang benar. Peta bukan dirilis oleh lembaga resmi dan entah bagaimana proses-nya bisa di rilis untuk publik.  Peta diatas menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil wilayah Indonesia yang sangat sesuai untuk Sawit sekitar 8 juta ha, sisanya kebanyakan adalah sesuai bersyarat atau tidak sesuai.

Salah satu peta tematik pertanian dan perkebunan adalah peta kesesuaian lahan yang dapat digunakan untuk menjadi panduan bagi kegiatan pertanian dan perkebunan. Peta pertanian mustinya akses publik ini akan sangat membantu untuk mendorong kegiatan pertanian sehingga kita tidak lagi tergantung ekspor.

INDEKS_LOKASI_TANAMAN-HORTI_BAWANG-PUTIH

Peta di atas adalah peta lokasi tanaman bawang putih. Saya yang awam pertanian cukup kaget bahwa bawang putih ternyata bisa ditanam di Indonesia dengan baik. Lalu kenapa selama ini kita impor dan menjadikan harga bawang putih sampai 100 ribu per kg.

Luas Produksi Bawang Putih Indonesia hanya 2.100 hektar tetapi Luas Sawit 21 juta hektar. Harga bawang putih Rp. 100 ribu / kg dan harga Sawit Rp. 1500 per kg.

Disisi lain kita banyak-banyak menanam sawit yang harganya sekarang ini hanya 1.000 sampai 2.000 rupiah per kg. Sementara jumlah kebun sawit bisa mencapai 22 juta hektar di seluruh Indonesia dan disisi lain jumlah luas kebun bawang putih di Indonesia hanya di angka 2100 hektar seluruh Indonesia.

Seandainya saja ada niatan berhenti menjadi pengimport komoditas bawang putih tentu saja yang pertama kali dilakukan adalah melakukan edukasi tentang komoditas ini. Salah satunya adalah memberi akses ke peta kesesuaian lahan di Indonesia secara gratis. Tentu saja saat ini kita bisa mendapatkan peta kesesuaian lahan pertanian dan perkebunan tetapi tidak murah BPPP Sumberdaya Lahan Pertanian di Bogor menjual data kesesuaian Rp. 1000 /kb dan jika ingin mendapatkan data kesesuaian lahan spatial SHP se provinsi Kaltim untuk semua komoditas pertanian perlu mengeluarkan dana Rp. 300 juta. Wow… Sekali lagi saya mempertanyakan keseriusan dalam hal transparansi data spatial.