Perlunya Keseriusan Dalam Penerapan Kebijakan Lingkungan Hidup


Baru-baru saja secara beruntun terjadi bencana lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari banjir besar di Kalimantan Selatan dengan meluapnya sungai Martapura, banjir di Mahulu, Berau dan tentunya tanah longsor di banyak lokasi di Jawa. Saya percaya kesemua bencana itu dapat dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ketika kita bicara kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, saya selalu merasa bahwa payung kebijakan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah sangat banyak. Mulai dari kebijakan makro skala nasional dan daerah misalnya kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis sampai pada keharusan penerapan di skala operasional atau AMDAL. Belum lagi kebijakan sektoral yang pada semua lini dipayungi dengan kebijakan lingkungan hidup.

Tapi mengapa permasalahan lingkungan hidup terus berjalan dan tentu saja kerugian yang dialami tidaklah sedikit dimana ribuan rumah dan penduduk di banjir Kalsel terdampak. Salah satu yang terjadi adalah lemahnya pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup. Ambil contoh KLHS sebagai screening awal kebijakan mulai dari RTRW dan RPJM mulai dari nasional, provinsi sampai kabupaten. Saya yang pernah mendampingi pelaksanaan KLHS mulai dari Papua sampai Kalimantan melihat ada banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya mulai dari banyaknya daerah yang melakukan KLHS hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban, sehingga mutu dan hasil kajian akan sangat rendah. Untuk yang bekerja dengan AMDAL pasti menyadari bahwa kebanyakan AMDAL hanya berhenti pada penyusunan dokumen. Misalnya saja mengenai AMDAL pertambangan batubara yang mengatur kualitas air dan pengelolaan bekas wilayah tambang, sesudah operasional, tidak banyak pengecekan untuk memastikan ini sesuai dengan AMDAL-nya.

Kebijakan lingkungan lainnya yang belum diterapkan adalah kebijakan perlindungan hutan, meskipun ada kebijakan untuk penurunan emisi mulai dari nasional sampai daerah, sangat jarang ditemukan roadmap yang sangat detail mengenai bagaimana ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertanyaan lain misalnya jika penyebab emisi gas rumah kaca adalah perubahan land use hutan menjadi non hutan, maka berapa banyak daerah yang mampu menetapkan batas-batas konversi kawasan hutan. Apakah nantinya akan memberikan ijin di di kawasan berhutan di APL? Padahal luasan sawit di Sumater dan Kalimantan sudah belasan juta hektar.

Hari lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari perlindungan satwa, akan tetapi kebijakan mengenai perlindungan satwa sepertinya masih belum optimal. Indonesia masih menjadi sumber perdagangan satwa liar di dunia dan ini akan menjadi penyebab utama kehilangan dan kepunahan spesies di Indonesia.

Peta di atas menunjukkan bahwa luas kota Jambi hanya 1/10 dari luas kebun sawit di sekitar-nya.
Tambang terbuka batubara, lebih luas dari Kota Tengarong dan akumulasi tambang -nya akan lebih luas dari wilayah terbangun kota Samarinda.

Secara kasat mata kebijakan lingkungan hidup memang tercermin dari bagaimana kita mengelola kawasannya. Tentu saja tidak bisa dengan dalih pembangunan semua kawasan yang punya nilai lingkungan besar seperti hutan, gambut, mangrove atau laut diperbolehkan untuk dibuka. Kita kadang harus belajar dari negara lain, misalnya Finlandia yang makmur saja masih memiliki 72% hutan di daratannya.

Keseriusan dalam penanganan lingkungan tentunya bukan agenda jangka pendek, kita bisa mulai dengan serius melakukan penerapan kebijakan lingkungan hidup jika ingin menjadi negara makmur suatu saat nanti.

Natural Capital vs Disaster Risk dalam Konteks Kajian Geohidrologi dan Bencana.


Natural capital adalah kumpulan aset alam baik geologi, tanah, air dan udara dan semua makhluk hidup diatasnya. Natural capital can be defined as the world’s stocks of natural assets which include geology, soil, air, water and all living things. It is from this natural capital that humans derive a wide range of services, often called ecosystem services, which make human life possible.

Boleh dikatakan saat ini aset alam sudah banyak diabaikan dalam pembangunan ekonomi, buktinya rambu-rambu yang membatasi kerusakan aset alam ini sudah mulai ditabrak saat dilakukan pembangunan. Ambil contoh mudah seperti pembangunan dilakukan di kelerengan tinggi (lebih dari 40%), pembangunan di bantaran sungai, penggundulan hutan dan konversi lahan gambut.

Nilai dari alam atau jasa lingkungan sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi/finansial. Bayangkan jika kita tidak memiliki air atau udara bersih, maka semua nilai ekonomi/finansial yang dibangun bisa tidak berarti. Tetapi mengukur nilai finansial alami dapat menjadi pembelajaran untuk memahami dan lebih menghargai alam.

Kejadian longsor di Sumedang baru-baru ini misalnya memakan 40 korban jiwa dan kita bisa bandingkan nilai kerugian korban dengan nilai ekonomi saat lahan yang tidak layak dibangun, dijadikan pemukiman. Demikian pula dengan banjir dan longsor ditempat-tempat lain seperti di Jakarta, Manado, Banjarmasin, Samarinda, dll. Demikian juga dengan kejadian banjir tahunan di Jakarta, diperkirakan banjir ditahun 2020 saja menyebabkan kerugian sampai 10 triliun jika dihitung mundur ketahun-tahun sebelumnya, jumlahnya akan sangat besar. Kerugian banjir Samarinda selama 20 tahun diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Pertanyaan menarik adalah bagaimana kalau kerugian bencana digunakan untuk memperbaiki natural capital, misalnya digunakan untuk perbaikan kawasan sepadan sungai seperti relokasi pemukiman atau penghijauan kembali kawasan sepadan sungai, perbaikan penataan ruang seperti perbaikan perizinan atau penegakan hukum tata ruang. Dari mana dana untuk semua kegiatan itu? Ini dapat dilakukan baik dengan mengalokasikan pendanaan diawal sebagai bentuk mitigasi atau menggunakan pendanaan offset/pengganti pada kegiatan-kegiatan yang menggunakan sumberdaya air misalnya.

Secara mudah kesimpulan yang dapat diambil adalah DIBANDINGKAN MENERIMA DAMPAK KERUGIAN TRILIUNAN RUPIAH DALAM JANGKA PANJANG, LEBIH BAIK MELAKUKAN INVESTASI BERBASIS NATURAL CAPITAL DISAAT SEKARANG. Dalam jangka panjang investasi dengan mempertimbangkan faktor konservasi akan lebih menguntungkan.

Avoid, Minize/Restore dan Offset

Salah satu kajian yang mencoba menggabungkan antara kepentingan konservasi dan pembangunan adalah kajian Development by Design. Kajian ini sudah dilakukan sejak 2009 dan diaplikasikan pada banyak sektor pembangunan mulai dari energi, pertambangan, perkebunan dan kajian lain.

Konsep hirarki mitigasi sebenarnya dapat disusun diawal ketika pembangunan dalam proses perencanaan, misalnya pada penyusunan RPJM atau Rencana Tata Ruang (RTRW). Pada proses perencanaan misalnya dampak sebenarnya dapat dikalkulasi, ambil contoh pada perencanaan tingkat tapak (site) pembangunan pabrik saja bisa dilakukan kajian dampak melalui kajian AMDAL. Demikian juga dengan tata ruang, jika satu wilayah dialokasikan menjadi pemukiman, maka dampak terkait hidrologi dimana kawasan ini menjadi kawasan yang tidak/sedikit menyerap air dapat dikalkulasikan dengan modelling hidrologi (misalnya dengan soil water assessment tool/SWAT atau INVEST). Jika kawasan APL dijadikan perkebunan di Kalimantan (baca: sawit), maka dampaknya dapat dikalkulasi, berdasarkan kajian hidrologi, maka kebun sawit akan lebih rentan mengalami erosi dan sedikit menyerap air dibandingkan hutan atau semak belukar karena sudah terbangun karena aliran permukaan lebih tinggi.

Dalam konsep hirarki mitigasi, awal kegiatan adalah menentukan area-area mana yang penting untuk dikonservasi, ambil contoh mudahnya seperti kawasan sepadan sungai, kawasan berhutan (terutama kawasan hutan alam yang memiliki kekayaan biodiversity) atau kawasan karst dan gambut. Kemudian menyusun potensi dampak. Kemudian menyusun hirarki mitigasi.

Contoh penerapan hirarki mitigasi dalam konteks pengelolaan lingkungan yang memperhatikan aspek konservasi geohidrologi:

  • Avoid:
    • Sepadan sungai: 100 m, 50 m, 10m atau 5 meter tergantung karakteristik sungai
    • Sepadan danau : 100 m atau 50 m
    • Lereng curam : lebih dari 40%
    • Kawasan hutan: berdasarkan regulasi tata ruang pre- UU Cipta Karya disebutkan 30% kawasan hutan disatu DAS harus dilindungi. Dengan UU Cipta Karya pemerintah perlu melakukan kajian detail per DAS dan menentukan kawasan ini (PR Besar sebagai implikasi UU Cipta Karya).
  • Minimize:
    • Membuat teras sering pada kegiatan yang harus dilakukan di lereng dibawah 40%
    • Melakukan penataan ruang yang menjaga kawasan resapan pada pemukiman
    • Perkebunan berbasis agroforestry pada kawasan yang dekat dengan hutan
  • Restore:
    • Penanaman kembali kawasan terdegradasi
    • Mengembalikan sepada sungai atau danau sebagai kawasan hijau
    • Mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional atau cagar alam yang dirambah.
    • Mengembalikan fungsi kawasan gambut
  • Offset
    • Menyusun skenario offset pada kegiatan berbasis sumberdaya air, misalnya perusahaan produsen air minum harus membantu pendanaan untuk kegiatan restorasi kawasan.
    • Perusahaan yang terlanjur menggunakan gambut (tipis) dapat diminta offset untuk konservasi kawasan gambut dalam lebih dari 3 m.
    • Perusahaan pertambangan batubara membiayai restorasi kawasan konsesi dan kawasan sekitarnya yang terbuka.

Pada intinya ini semua dapat dilakukan dengan DUKUNGAN KEBIJAKAN, kita tidak dapat lagi menyalahkan curah hujan yang tinggi, pasang naik atau topografi negara kita yang landai, berbukit dan bergunung. Sudah saatnya berpikir jangka panjang dan bukan hanya memikirkan keuntungan sesaat dan menerima dampak sepanjang waktu.

Perambahan dan Perlunya Perbaikan Pada Delineasi Izin HGU Perkebunan Sawit


Salah satu hal yang sangat disayangkan dari perizinan perkebunan sawit di Indonesia adalah pemetaan kawasan HGU yang dilakukan dengan mengeluarkan wilayah sepadan sungai dari konsesi konsesi besar. Untuk perusahaan ini memang sangat menguntungkan, karena kawasan sepadan sungai berdasarkan regulasi tata ruang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan tidak boleh ditanami.

Salah satu Peta HGU Konsesi di Kalimantan

Pada peta di atas kawasan sungai dikeluarkan dari HGU, dengan dikeluarkannya kawasan ini dari ijin perusahaan, maka perusahaan tentu saja dapat lepas tangan jika ini kemudian dibuka pihak lain.

Pada peta zoom akan terlihat bahwa kawasan yang tidak masuk HGU akan menjadi kawasan yang rentang untuk dibuka baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang merasa bahwa kawasan ini sebagai kawasan kelola baru dengan peluang menanam sawit dan hasilnya dapat ditampung oleh perusahaan.

Buffer Sungai menjadi kawasan di luar konsesi perkebunan

Buffer sungai dan mengeluarkan wilayah dari perijinan seperti melepas kewajiban konsesi untuk menjaga wilayah sepadan sungai. Karena itu regulasi ISPO yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kawasan sepadan sungai menjadi tidak berarti.

Perambahan di wilayah sepadan sungai

Gambar diatas merupakan satu dari banyaknya kejadian dimana kawasan sepadan sungai bukan merupakan wilayah kelola konsesi. Jadi ketika ada yang menggunduli kawasan sepadan sungai, maka perusahaan bisa lepas dari tanggung jawabnya.

Ini mungkin bisa menjadi bahan pelajaran untuk lembaga pemberi izin HGU, bahwa sebaiknya memberikan izin termasuk pada kawasan buffer sungai dan termasuk kewajiban perusahaannya untuk menjaga kualitas lingkungan sepanjang sepadan sungai.

Perencanaan Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Yuridiksi: Apa Mungkin Berkelanjutan?


Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.

Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.

Yuridiksi Perkebunan Berkelanjutan – Kajian Spatial

Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.

Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.

Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.

Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.

Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi

Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.

Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.

Sawit yang semakin merambah kawasan hutan

Lesson Unlearned: Pengembangan Food Estate


Pemerintah mencanangkan program pembangunan food estate di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah. Target area-nya mencapai 600-an ribu hektar, dimana di Kalteng ditargetkan 168.000 hektar dengan lokasi di Pulang Pisau. Pada 2020 akan dikerjakan seluas 30.000 ha sebagai model percontohan. Lahan ini akan ada di Kabupaten Pulang Pisau seluas 10.000 ha dan Kapuas 20.000 ha.

Rencana pembangunan food estate ini mendapat banyak reaksi negatif dan positif. Beberapa lembaga lingkungan hidup misalnya menyoroti rencana ini karena dianggap akan mengulangi kesalahan yang sama ketika program dilakukan sebelumnya dalam program PLG dengan target 1 juta hektar, dimana sampai saat ini kawasan ini masih merupakan kawasan didominasi kawasan terbuka dan tidak diusahakan. Protes lainnya dari masyarakat lokal yang merasa bahwa progran PLG sebelumnya merugikan masyarakat baik dari sisi kualitas lingkungan yang menurun maupun terkait hak masyarakat adat. Tanggapan positif misalnya dari dunia usaha, dimana kawasan ini direncanakan di kelola oleh bisnis korporasi petani, BUMN dan rencananya akan melibatkan kelompok tani.

Terlepas dari tanggapan positif dan negatif, sebagai pelaku bidang konservasi ada banyak pertanyaan terkait dengan rencana ini.

Evaluasi Project Food Estate Sebelumnya.

Salah satu titik awal yang bisa diambil pada pengambilan kebijakan berskala besar adalah melakukan evaluasi dari kebijakan sebelumnya. Dalam konteks Kalimantan misalnya perlu sekali melakukan kajian Evaluasi dari PLG 1 juta hektar. Evaluasi dalam konteks saat ini termasuk evaluasi kegagalan dan evaluasi program penanganan kegagalan dari mega proyek 1 juta hektar. Hasil evaluasi akan menjadi bahan dalam menyusun kebijakan baru yang serupa dengan kondisi wilayah yang sama.

Ada banyak kajian yang sudah dilakukan untuk menilai project PLG 1 juta hektar, beberapa kajian misalnya menyebutkan mengenai kondisi lahan gambut yang memang unik dan sangat berbeda dengan lahan mineral sehingga diperlukan effort besar untuk memastikan kawasan dapat ditanami dan produktif. Ekosistem gambut yang unik lainnya terkait dengan tata air, dimana air di kawasan ini bersifat asam dan tidak bisa langsung digunakan untuk tanaman yang bukan dari habitat gambut. Ada banyak evaluasi lain terkait dengan masyarakat baik masyarakat adat maupun masyarakat transmigran yang didatangkan saat project berjalan. Pendapat kontra antara lain terkait dengan mengabaikan pola-pola tradisonal pengelolaan gambut yang lestari yang ada sebelumnya.

Wilayah lain dengan rencana food estate adalah kawasan Merauke, yang juga mendapat banyak pro dan kontra. Ada banyaknya pendapat kontra terkait dengan project MIFEE dikaitkan dengan isu lingkungan hidup dan juga sosial. Ada banyak riset mengenai pelaksanaan MIFEE di Merauke, tetapi mungkin perlu kajian detail pemerintah untuk menilai kebijakan food estate sebelumnya sebagai bahan pelajaran.

Infrastruktur Pendukung

Pengembangan food estate dilakukan dengan rencana penerapan sistem pertanian berbasis teknologi dan hilirisasi. Rencana ini hanya dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur pendukung yang memadai. Dari berbagai sumber berita, dapat disimpulkan bahwa program akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis Industri 4.0 dan ‘precision agriculture’ dimana konsep ini akan menggunakan teknologi terbaru dalam merencanakan program pertanian yang ada.

Beberapa tulisan mengenai kegagalan project PLG dan MIFEE misalnya menggarisbawahi ketidak siapan infrastruktur pendukung seperti infrastruktur transportasi dan penyedia alat produksi.

Beberapa ide di kebijakan food estate 2020 misalnya muncul terkait penggunaan drone untuk pemupukan. Ini akan menjadi sebuah lompatan teknologi dalam pertanian. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah teknologi dan infrastruktur-nya sudah siap? Berapa drone dibutuhkan untuk 168.000 hektar? Bagaimana jalur terbangnya? Apakah dibutuhkan infrastruktur tambahan seperti ketersediaan akses internet?

Sumber Daya Manusia Pendukung

Sumberdaya manusia pada sektor pertanian menjadi satu modal dasar penting. Rencana program untuk mengikut sertakan kelompok masyarakat petani lokal harus dilakukan dengan melakukan kajian detail mengenai kuantitas dan kualitas SDM yang ada. Berdasarkan beberapa sumber berita disebutkan kegiatan ini akan dilakukan oleh koorporasi dengan melibatkan kelompok tani per 100 hektar dan gabungan kelompok tani per 1000 hektar. Rencana ini tentunya perlu didukung dengan baseline yang detail mengenai ada berapa kelompok tani di Kalteng saat ini dan ada berapa gabungan kelompok tani di Kalteng.

Sumberdaya manusia dalam konteks kualitas tentunya menjadi hal lain, mengingat kegiatan akan dilakukan dengan menerapkan teknologi. Pertanyaannya adalah apakah masyarakat yang ada sudah memiliki kemampuan beradaptasi dalam penggunaan teknologi pertanian? Jika belum tentunya apakah sudah direncanakan proses pembangunan kapasitas untuk menggunakan teknologi pertanian.

Ketersediaan sumberdaya manusia dari sisi kuantitas juga menjadi sorotan lain. Project PLG 1 juta hektar misalnya menggandalkan ketersedian dengan program transmigrasi. Apakah ini sebuah jawaban atas kekurangan SDM lokal atau justru menjadi awal dari permasalahan lainnya. Beberapa kajian misalnya menyebutkan bahwa transmigran kemudian menjual lahannya kepada jenis kegiatan perkebunan dan beralih menjadi pekerja perkebunan.

Jangan Abaikan Aspek Konservasi Lingkungan Hidup

Ini merupakan concern terbesar yang akan saya kupas lebih jauh. Aspek lingkungan hidup menjadi pelajaran berharga pada program PLG 1 juta hektar. Salah satu kajian ilmiah menyebutkan bahwa kanal/saluran air yang membelah kawasan PLG sepanjang 187 km merupakan salah satu kegiatan yang mengabaikan aspek konservasi, karena merusak tata air yang ada di wilayah gambut.

Mengukur Nilai Jasa Lingkungan

Salah satu yang belum dihitung dengan baik pada kebijakan berbasis lahan berupa konversi kawasan alami adalah tidak dilakukannya kalkulasi nilai-nilai kawasan sebelum dilakukan konversi. Misalnya bagaimana perubahan kondisi ekosistem kemudian menghilangkan nilai-nilai jasa lingkungan terkait air dan sumber-sumber pangan tradisional. Suatu sore tahun 2004 di kawasan hutan rawa di Merauke, saya memancing ikan bersama masyarakat disela-sela waktu pemetaan partisipatif yang saya lakukan. Sebagai pemancing kelas pemula dalam 1/2 jam saya mendapat sekitar 5 ekor ikan/ 3 kg . Di Jakarta nilai ikan yang saya pancing mungkin sekitar 75 ribu rupiah. Saat ini kawasan itu sebagian berubah menjadi kawasan food estate dan sebagian ditanami sawit.

Jasa lingkungan dapat dibedakan atas jasa lingkungan penyedia jasa pangan, penyedia jasa air dan tentunya karbon dalam konteks. Nilai-nilai ini semestinya dikalkulasi dengan secara kuantitatif dan kemudian bisa dibandingkan dengan nilai yang didapat ketika lahan diubah menjadi kawasan food estate.

Mengukur Nilai Kekayaan Keanakaragaman Hayati/Biodiversity

Nilai biodiversity merupakan satu nilai yang paling tidak diperhitungkan dalam kajian awal wilayah yang akan digunakan sebagai kawasan food estate. Kawasan-kawasan gambut di Kalimantan dan hutan tropis lainnya serta kawasan hutan savanna di selatan Papua merupakan kawasan ekosistem unik dengan nilai biodiversity yang tinggi. Bayangkan bahwa wallaby di Indonesia hanya ditemukan di bagian selatan Papua yaitu di Merauke. Demikian juga dengan orangutan Kalimantan yang habitat nya berisisan dengan lokasi PLG di Kalimantan.

Hutan Kalimantan

Di luar aspek diatas, sebagai geograf saya mempertanyakan lokasi pilihan food estate di kawasan yang remote area. Apakah sudah dikalkulasikan biaya-biaya transportasi hasil-hasil pertanian pangan dan olahannya tersebut ke pasar, misalnya Jawa sebagai pasar terbesar?

Nilai Kehilangan Hutan Mangrove


Hutan mangrove di seluruh dunia mencapai kawasan seluas 145.000 km2 merupakan salah satu ekosistem yang terancam kelestariannya, ada banyak ancaman atas keberadaan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas manusia.

Hutan mangrove memiliki nilai yang sangat penting, ekosistem mangrove merupakan ekosistem dengan spesies-spesies unik baik flora dan fauna. Nilai jasa ekosistem kawasan mangrove diperkirakan mencapai 9000 USD per hektar per tahun. Sementara studi lain menyebutkan nilai 32.000 USD per hektar per tahun hanya untuk jasa penghasil ikan/udang/kepiting.

Dari sisi perubahan iklim, ekosistem mangrove memiliki nilai carbon stock yang sangat tinggi diperkirakan nilainya antara rentang 200 megagrams per hectare sampai 2000 megagrams per hectare. Kalimantan sendiri memiliki nilai sektar 1200 megagrams perhektar. Nilai ekologi ini ditambah dengan kekayaan biodiversity endemik di Kalimantan seperti bekantan, dll.

Ancaman utama ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan tentu saja pembangunan infrastruktur lainnya. Kawasan mangrove umumnya merupakan kawasan pemukiman ini tidak terlepas dari nilai mangrove secara ekonomi yang menyediakan pangan dan kebutuhan lainnya.

Berikut beberapa peta perubahan hutan mangrove di Kalimantan dengan menggunakan peta tahun 2012 dan 2019. Dalam jangka waktu 7 tahun saja perubahan mangrove sudah sangat luar biasa..

Perubahan di Kalimantan Utara
Perubahan di Kalimantan Timur
Perubahan di Kalimantan Timur

Penyebab perubahan per lokasi pasti akan berbeda-beda, untuk Kalimantan penyebab utama antara lain perubahan menjadi tambak. Pada beberapa lokasi diperkirakan perubahan disebabkan oleh pembangunan pemukiman serta infrastruktur lain seperti pelabuhan, pertambangan.

Trend Titik Api 2020


Trend angka hotspots di beberapa tempat di Indonesia nampaknya mulai naik terutama pada wilayah-wilayah yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Beberapa wilayah yang merupakan kawasan dengan ekosistem gambut menjadi kawasan yang rentan kebakaran. Tetapi ternyata terdapat anomali yang cukup unik dimana dibulan Mei sampai Juli ini ternyata terjadi penurunan titik api yang cukup drastis.

Anomali atau faktor lain?

Beberapa wilayah seperti Riau, Kalimantan mengalami tren penurunan drastis titik api berdasarkan data Sipongi di bulan Mei dan Juni. Apakah ini karena faktor cuaca?

Perkiraan saya adalah ini lebih karena menurunnya kegiatan pembakaran hutan dan lahan di wilayah tersebut. Kemungkinan lain yang menarik adalah wilayah seperti Sulawesi Selatan memiliki tren yang tidak berubah dan tetap naik, apakah ini karena memang minim kegiatan usaha perkebunan skala besar / PBS di wilayah ini?

Pemahaman Pentingnya Keanekaragaman Hayati Dapat Menjadi Kunci Suksesnya Konservasi


IMG_0502
Bekantan (Proboscis Monkey) asli Indonesia yang ada di Kebun Binatang Singapore. Satu waktu mungkin hanya tersisa di kebun binatang, jika tidak dijaga.

Pertanyaan ini muncul ketika saya membaca kembali artikel  tentang wilderness map global yang menggambarkan kondisi kawasan yang benar-benar masih sangat baik. Baca: https://www.theguardian.com/environment/2018/oct/31/five-countries-hold-70-of-worlds-last-wildernesses-map-reveals 

Secara detail bisa dilihat juga di: https://www.nature.com/articles/d41586-018-07183-6 

1048
Peta Global Wilderness Areas

Indonesia tidak masuk dalam negara yang masih menyisakan kawasan yang belum terjamah yang merupakan sisa kawasan di dunia yang masih memiliki biodiversity yang tinggi.

Dalam banyak diskusi tentang pembangunan berkelanjutan dan konservasi, saya sering mendengar beberapa pertanyaan seperti. “Mana yang lebih penting antara pembangunan dan konservasi?” atau “Kita harus mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan orangutan!”. Kesimpulan yang saya ambil adalah rendahnya pemahaman mengenai kepentingan mempertahankan keberlangsungan biodiversity di masyarakat.

Tulisan di The Guardian sangat menarik untuk dibaca, sebuah tulisan semi science yang menggambarkan pentingnya biodiversity: https://www.theguardian.com/news/2018/mar/12/what-is-biodiversity-and-why-does-it-matter-to-us 

Menilik buku-buku sekolah keponakan saya, pemahaman akan pentingnya keanekaragaman hayati masih belum tersampaikan. Pelajaran biologi yang saya lihat lebih mengedepankan hapalan akan taksonomi atau pengertian rumit tentang ekosistem. Padahal pemahaman mengenai pentingnya orangutan misalnya akan menjadi sebuah alur cerita yang menarik. Orangutan, burung dan kelelawar memiliki fungsi sebagai penyebar bijih yang sangat efektif, diciptakan Tuhan dengan menjadi seperti petani yang menjadi perantara tumbuhnya pohon-pohon baru. Seperti pertanyaan anak saya dipagi hari tentang kenapa banyak sisa-sisa jambu biji dibawah pohon, dan saya menjawab bahwa kelelawar menyebarkan bijih untuk kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Semut “sipekerja keras” merupakan agen pembersih yang laur biasa, tanpa semut maka proses dekomposisi sampah akan menjadi sulit. Biodiversity lainnya memberikan sumbangsih luar biasa terkait dengan dunai kedokteran, obat-obatan.

Biodiversity juga dapat dikaitkan dengan persediaan suplai makanan untuk manusia, dulunya sapi dan kambing juga merupakan hewan liar yang kemudian di domestikasi menjadi peliharaan. Ketik sapi atau kambing terkena wabah global misalnya, mungkin satu waktu rusa atau binatang liar lainnya bisa menjadi pilihan persediaan makanan.

Untuk menjaga biodiversity, maka menjaga keutuhan kawasan kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan Suaka Margasatwa menjadi kunci. Menjaga kawasan hutan sebagai habitat hewan-hewan tersebut akan menjaga sebuah siklus kehidupan, dimana manusia yang berada dalam puncak piramida memiliki kewajiban menjaga siklus ini.

Melihat Peluang Biodiversity Offset


LAMPIRAN XII
Peta Konsesi Tambang di RTRW Kalimantan Timur 2016-2036

Dalam pendekatan Development by Design yang digunakan The Nature Conservancy, hirarki mitigasi mengacu pada standar yang diperkenalkan oleh BBOP (Business and Biodivesity Offset Programme) yang me-ranking mitigasi atas avoid, minimize, restore dan offset) dimana offset adalah pilihan terakhir dalam menyusun skenario mitigasi.

Perkembangan pembangunan pada sektor pembangunan berbasis sumberdaya alam seperti minyak dan gas bumi, batubara, kehutanan (kayu) dan perkebunan sawit merupakan tulang punggung pembangunan di Indonesia dalam kurun waktu yang lama. Pada saat kegiatan dilakukan mungkin belum pernah terpikirkan sebuah skenario mitigasi yang baik. Beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan yang saya tahu telah menyusun dalam bentuk restorasi dan rehabilitasi kawasan. Tetapi apakah itu disusun dalam sebuah skenario mitigasi, perlu dikaji lebih jauh.

Skenario mitigasi idealnya dilakukan pada tahapan perencanaan kegiatan pembangunan atau kegiatan sektoral tertentu baik pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Ini dilakukan dengan tujuan agar pembangunan tersebut tidak memberikan dampak yang besar serta agar dampak tersebut dapat dimitigasi dengan sebaik-baiknya. Sayangnya sektor seperti pertambangan sudah berjalan puluhan tahun bahkan beberapa sudah selesai. Salah satu peren

Kejadi terbaru di April 2018 dengan matinya pesut di Teluk Balikpapan mengingatkan kita bahwa mitigasi tidak direncanakan dengan baik. Sebuah pertanyaan singkat akan menarik untuk dikaji seperti “Apa yang sudah diberikan/dilakukan oleh perusahaan perminyakan di Teluk Balikpapan dalam kegiatan konservasi pesut?” Bayangkan jika semua perusahaan minyak di Kaltim melakukan offset atas dampak kegiatannya dengan memberikan dukungan kegiatan atau pendanaan pada penyelamatan pesut, bekantan atau spesies lain yang ada di wilayah kerja mereka. Saya percaya akan bisa dilakukan sebuah kegiatan konservasi yang sangat besar dan mampu menjaga kekayaaan biodiversity di Kalimantan Timur.

Kehilangan habitat orangutan di Kalimantan berdasarkan beberapa riset diakibatkan expansi perkebunan (sawit). Riset menyebutkan 78% kawasan habitat orangutan berada di luar kawasan lindung dimana sebagian adalah kawasan untuk kegiatan kehutanan (HPH dan HTI) dan perkebunan (sawit). Jika saja hirarki mitigasi diberlakukan, maka dapat dikembangkan skenario avoid (pada kawasan yang memang memiliki NKT tinggi), minimize/restore pada kawasan terdampak dengan potensi pembangunan tinggi dan secara NKT tidak terlalu tinggi, atau offset pada kawasan yang sudah terlanjur dibuka tanpa kajian bidoviversity yang baik.

Pembangunan pada sektor kehutanan mengharuskan adanya setoran dana reboisasi, sektor sawit (anggota RSPO) menyebutkan adanya kompensasi dan remediasi. Bisa dibayangkan jika pada wilayah yang sudah terlanjut dibuka dilakukan offset yang kemudian digunakan untuk kegiatan penyelamatan keanekaragaman hayati dan biodiversity.

Saya yakin bahwa kekayaan biodiversity  yang ada baik yang diperairan seperti pesut, bekantan di mangrove, orangutan dan badak di hutan dataran rendah atau spesies lain, semua dapat dikonservasi dengan lebih baik jika pilihan offset dilakukan pada kegiatan yang sudah memberikan dampak ke lingkungan hidup selama puluhan tahun. Bukan untuk orangutan dan atau pesut tetapi perlindungan keanekaragaman hayati akan menjadi kunci bagi keberlanjutan ekosistem dan lingkungan hidup manusia yang tinggal didalamnya.

Pengelolaan DAS dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis


Latar Belakang

  • Peran Sungai dan pengelolaan DAS

Sungai merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat secara umum, sungai merupakan sumber air untuk semua kebutuhan dan sebagai wadah transportasi dimana pengangkutan barang dan manusia dilakukan melalui sungai. Secara umum di Kalimantan sungai merupakan urat nadi masyarakat Kalimantan.

Sungai di Berau juga merupakan satu urat nadi kehidupan masyarakat, secara kasat mata dapat dilihat dari pola pemukiman di kabupaten Berau dimana desa-desa yang ada terdapat di sepanjang sungai.

IUCN_DAS
Peran DAS (sumber: IUCN)

Keterkaitan sungai dan pengelolaan DAS merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, DAS merupakan satuan unit pengelolaan dimana semua unsur mulai dari landscape hutan, pemukiman dan lahan pertanian akan memberikan pengaruh timbal balik.

Sungai memberikan banyak sekali manfaat, gambar berikut berasal dari IUCN 2008 tentang Pay – Establishing payments for watershed services, dimana dalam dokumen tersebut dijelaskan secara detail manfaat sungai dan pentingnya kebijakan PES untuk mendukung perlindungan sungai dan DAS.

WRI_DAS
Enter a caption

Tidak hanya di Berau, hampir di seluruh Indonesia, pengelolaan sungai tidak dilakukan dengan baik. Ambil saja Jakarta  dengan Ciliwung-nya, mulai dari hulu-nya di wilayah Bogor, sungai ini tidak dikelola karena pada wilayah tangkapan air-nya tidak dijaga, akibatnya setiap tahun sungai ini mengalami proses pendangkalan. Penempatan pabrik di sepanjang Ciliwung menjadikan kualitas air tercemar dan memerlukan proses pengolahan yang mahal untuk dijadikan bahan baku PDAM di DKI Jakarta. Pembangunan kota dengan pemukiman yang tidak teratur dimana terdapat pemukiman yang tepat dipinggir sungai menyebabkan proses polusi yang lebih besar dengan adanya limbah domestic dan pendangkalan sungai. Akibat lainnya yang dialami oleh Bogor dan DKI Jakarta sebagai wilayah yang masuk dalam DAS Ciliwung adalah bencana banjir yang menjadi bencana tahunan.

Model pembangunan yang tidak baik itu kemudian ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia, seperti pengelolaan sungai di Brantas yang tidak mengedepankan aspek lingkungan. Sungai-sungai di Berau mulai dikelola dengan tidak memperhitungkan dampak-dampak-nya.

Gambaran umum sungai dan DAS di Kabupaten Berau dan Kaltim pada umunya.

Kabupaten Berau terdiri atas beberapa DAS dengan DAS Berau sebagai DAS yang paling besar. DAS Berau terdiri atas 3 sungai utama yaitu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang kemudian menyatu menjadi sungai Berau di Tanjung Redeb.

Sungai Kelay memiliki hulu di wilayah Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang terletak di perbatasan antara Berau dan Kutai Timur, sungai ini bermuara di Tanjung Redeb

Sungai Segah bertemu dengan sungai Kelay menjadi sungai Berau dan kemudian bermuara di laut.

Menilik Tata Ruang Kabupaten Berau dan wilayah lain di Kalimantan dan Indonesia secara umum, sebenarnya belum terlihat jelas pengelolaan kawasan DAS di kabupaten Berau. Pola ruang misalnya masih menempatkan pengembangan pertanian pada kawasan sepanjang sungai. Padahal wilayah tersebut seharusnya di buffer dengan jarak yang lebih tinggi. Dalam RPJMD telah sangat bagus dengan memasukkan indikator pencemaran sungai sebagai target dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam RPJMD Berau ditargetkan pengurangan pencematan dibawa Indeks Pencemaran <5. Ini adalah sebuah strategi yang baik. Permasalahannya adalah bagaimana menterjemahkan kedalam bentuk-bentuk kegiatan pengelolaan DAS, karena kualitas air sungai berkorelasi langsung dengan pengelolaan DAS.

Kajian Dampak

Kajian dampak akan sangat penting dilakukan pada seluruh kawasan DAS. Pembagian kajian dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Kajian Dampak Pengelolaan DAS Berau
  • Berdasarkan kejadian yang ada saat ini maka kondisi yang ada di wilayah DAS di Kabupaten Berau antara lain
  • Dampak penutupan lahan di sekitar DAS Segah dan Kelay pada sector Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan
  • Penutupan lahan sepanjang sungai Segah dan Sungai Kelay akan berpengaruh pada kondisi peraiaran sungai.
  • Penutupan lahan dengan perkebunan akan memberikan dampak yang dapat digali melalui kajian literature
  • Pentupan lahan pertambangan batubara akan memberikan dampak terkait dengan alih fungsi lahan yang menyerap air dengan yang tidak menyerap dan meningkatkan limpasan air.
  • Dampak pengelolaan limbah domestik/rumah tangga
  • Limbah domestic/rumah tangga akan memberikan dampak berupa pencemaran ke sungai.
  • Limbah ini akan terus berkembang sesuai dengan penambahan jumlah penduduk dan perkembangan pemukiman pada sungai Segah, sungai Kelay dan sungai berau sekaligus pada anak sungainya.

Rekomendasi Kebijakan Rencana dan Program Pengelolaan DAS

Rekomendasi dilakukan melalui kegiatan seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dimana integrasi dan rekomendasi dapat dimasukkan ke dalam berbagai dokumen perencanaan misalnya:

  • Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Sungai untuk RPJMD, ini dapat dikaitkan dengan kebijakan lain misalnya ketersediaan air, transportasi, wisata, dll.
  • Rekomendasi Perencanaan Ruang terkait Sungai dan DAS pada dokumen Draft Tata Ruang Kabupaten
  • Rekomendasi Program Pengelolaan DAS yang mengedepankan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Referensi

Smith, M., de Groot, D., Perrot-Maîte, D. and Bergkamp, G. (2006). Pay – Establishing payments for watershed services. Gland, Switzerland: IUCN. Reprint, Gland, Switzerland: IUCN, 2008.