Wajib Menjaga Hutan di Kawasan APL


Salah satu zonasi wilayah yang paling rentan untuk dikonversi adalah kawasan hutan yang terdapat di zonasi tata ruang APL. APL atau area penggunaan lain merupakan zonasi tata ruang nasional dimana kawasan inilah lokasi pembangunan dan kegiatan non kehutanan dapat dilakukan. Zonasi APL merupakan wilayah yang dapat digunakan untuk konsesi perkebunan sawit, meskipun sempat diberikan di HPK (hutan produksi konversi) sebenarnya regulasi kawasan untuk pertanian dan perkebunan diberikan dizonasi APL sejak dulu.

Terdapat 69,3 juta hektar APL dimana ditahun 2021 luas yang masih berhutan adalah 7,48 jta hektar atau hanya 4 persen dari luas darata Indonesia (Laporan Kinerja Dirjen IPSDH). Di Kalimantan sendiri sisa tutupan hutan sekitar 2,2 juta hektar di APL sementara luas tutupan sawit sudah hampir mencapai 6 juta hektar.

Pertanyaan menarik nya adalah Apakah semua APL yang tersisa akan dikonversi menjadi wilayah terbangun dengan dominasi sawit atau memang perlu disisakan demi aspek lingkungan hidup?

Secara spatial kawasan APL berada pada wilayah daratan rendah dimana secara ekologi harus ada keterwakilan wilayah dataran rendah yang perlu dijaga untuk kepentingan lingkungan hidup, ini mencakup jasa lingkungan penyediaan air, jasa lingkungan pencegah bencana maupun aspek konservasi dimana terdapat spesies penting yang masuk kategori dilindungi.

Sebaran APL dengan tutupan hutan di Kalimantan (tutupan lahan tahun 2020)

APL dan tutupan hutan di Kalbar (tutupan lahan 2020)

Pada peta d iatas tersisa tutupan hutan sekala kecil di APL yang terpecah dalam bentuk sebaran hutan yang jika dilihat dalam peta. Jika dilihat dalam skala lebih besar akan terlihat bagaimana dominasi kebun sawit pada wilatah ini.

Kawasan Lindung Lokal

Dalam UU Tata Ruang terdapat kewajiban menyisakan kawasan yang tidak dibangun di APL yaitu kawasan lindung setempat atau kawasan lindung lokal. Kawasan lindung lokal misalnya diatur pada kawasan sepadan sungai, sepadan pantai, sepadan danau serta kawasan ruang terbuka hijau.

Perencanaan pembangunan semestinya dapat mengalokasikan kawasan lindung lokal dalam RTRW dalam proyeksi waktu RTRW selama 20 tahun. Ini tampaknya lolos dari perencanaan ruang dimana ketika kawasan terbangun ditetapkan menjadi kota, kawasan bertutupan hutan pada sepadan sungai, sepadan pantai dan danau telah berubah tutupannya menjadi kawasan terbuka dan kawasan terbangun.

Menjaga kawasan berhutan di APL merupakan salah satu kewajiban dalam tata ruang untuk menyisakan kawasan lindung setempat. Strategi ini perlu dibangun dengan memastikan tidak semua APL perlu dikonversi menjadi kawasan terbangun.

Mendorong Adanya Peta HCV/ANKT Indikatif Provinsi

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong dibangunnya peta Indikatif Areal dengan Nilai Konservasi Tinggi (ANKT) atau High Conservation Value (HCV) di alokasi ruang APL pada tingkat provinsi dan kabupaten sejak awal. Ini akan menjadi sebuah strategi untuk menyelamatkan sisa kawasan berhutan dari konversi ke penggunaan lain.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menyusun kajian ANKT / HCV pada tingkat landscape
  2. Menyusun prioritas kawasan dengan menggunakan skenario mitigasi (avoid. minimize dan restore) dimana kawasan avoid merupakan kawasan yang tidak akan dikonversi lebih lanjut.

Ada banyak keuntungan dimasa depan jika kawasan berhutan di APL tidak seluruhnya di konversi, misalnya terkait dengan jasa lingkungan air, faktor kebencanaan dan tentunya akan menimalkan biaya restorasi kawasan hutan, gambut dan mangrove di masa depan.

kajian landscape HCV Kalimantan Timur
Avoid area sebagai wilayah yang harus dipertahankan untuk tidak dikonversi.

Perlunya Keseriusan Dalam Penerapan Kebijakan Lingkungan Hidup


Baru-baru saja secara beruntun terjadi bencana lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari banjir besar di Kalimantan Selatan dengan meluapnya sungai Martapura, banjir di Mahulu, Berau dan tentunya tanah longsor di banyak lokasi di Jawa. Saya percaya kesemua bencana itu dapat dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ketika kita bicara kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, saya selalu merasa bahwa payung kebijakan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah sangat banyak. Mulai dari kebijakan makro skala nasional dan daerah misalnya kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis sampai pada keharusan penerapan di skala operasional atau AMDAL. Belum lagi kebijakan sektoral yang pada semua lini dipayungi dengan kebijakan lingkungan hidup.

Tapi mengapa permasalahan lingkungan hidup terus berjalan dan tentu saja kerugian yang dialami tidaklah sedikit dimana ribuan rumah dan penduduk di banjir Kalsel terdampak. Salah satu yang terjadi adalah lemahnya pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup. Ambil contoh KLHS sebagai screening awal kebijakan mulai dari RTRW dan RPJM mulai dari nasional, provinsi sampai kabupaten. Saya yang pernah mendampingi pelaksanaan KLHS mulai dari Papua sampai Kalimantan melihat ada banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya mulai dari banyaknya daerah yang melakukan KLHS hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban, sehingga mutu dan hasil kajian akan sangat rendah. Untuk yang bekerja dengan AMDAL pasti menyadari bahwa kebanyakan AMDAL hanya berhenti pada penyusunan dokumen. Misalnya saja mengenai AMDAL pertambangan batubara yang mengatur kualitas air dan pengelolaan bekas wilayah tambang, sesudah operasional, tidak banyak pengecekan untuk memastikan ini sesuai dengan AMDAL-nya.

Kebijakan lingkungan lainnya yang belum diterapkan adalah kebijakan perlindungan hutan, meskipun ada kebijakan untuk penurunan emisi mulai dari nasional sampai daerah, sangat jarang ditemukan roadmap yang sangat detail mengenai bagaimana ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertanyaan lain misalnya jika penyebab emisi gas rumah kaca adalah perubahan land use hutan menjadi non hutan, maka berapa banyak daerah yang mampu menetapkan batas-batas konversi kawasan hutan. Apakah nantinya akan memberikan ijin di di kawasan berhutan di APL? Padahal luasan sawit di Sumater dan Kalimantan sudah belasan juta hektar.

Hari lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari perlindungan satwa, akan tetapi kebijakan mengenai perlindungan satwa sepertinya masih belum optimal. Indonesia masih menjadi sumber perdagangan satwa liar di dunia dan ini akan menjadi penyebab utama kehilangan dan kepunahan spesies di Indonesia.

Peta di atas menunjukkan bahwa luas kota Jambi hanya 1/10 dari luas kebun sawit di sekitar-nya.
Tambang terbuka batubara, lebih luas dari Kota Tengarong dan akumulasi tambang -nya akan lebih luas dari wilayah terbangun kota Samarinda.

Secara kasat mata kebijakan lingkungan hidup memang tercermin dari bagaimana kita mengelola kawasannya. Tentu saja tidak bisa dengan dalih pembangunan semua kawasan yang punya nilai lingkungan besar seperti hutan, gambut, mangrove atau laut diperbolehkan untuk dibuka. Kita kadang harus belajar dari negara lain, misalnya Finlandia yang makmur saja masih memiliki 72% hutan di daratannya.

Keseriusan dalam penanganan lingkungan tentunya bukan agenda jangka pendek, kita bisa mulai dengan serius melakukan penerapan kebijakan lingkungan hidup jika ingin menjadi negara makmur suatu saat nanti.

Perambahan dan Perlunya Perbaikan Pada Delineasi Izin HGU Perkebunan Sawit


Salah satu hal yang sangat disayangkan dari perizinan perkebunan sawit di Indonesia adalah pemetaan kawasan HGU yang dilakukan dengan mengeluarkan wilayah sepadan sungai dari konsesi konsesi besar. Untuk perusahaan ini memang sangat menguntungkan, karena kawasan sepadan sungai berdasarkan regulasi tata ruang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan tidak boleh ditanami.

Salah satu Peta HGU Konsesi di Kalimantan

Pada peta di atas kawasan sungai dikeluarkan dari HGU, dengan dikeluarkannya kawasan ini dari ijin perusahaan, maka perusahaan tentu saja dapat lepas tangan jika ini kemudian dibuka pihak lain.

Pada peta zoom akan terlihat bahwa kawasan yang tidak masuk HGU akan menjadi kawasan yang rentang untuk dibuka baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang merasa bahwa kawasan ini sebagai kawasan kelola baru dengan peluang menanam sawit dan hasilnya dapat ditampung oleh perusahaan.

Buffer Sungai menjadi kawasan di luar konsesi perkebunan

Buffer sungai dan mengeluarkan wilayah dari perijinan seperti melepas kewajiban konsesi untuk menjaga wilayah sepadan sungai. Karena itu regulasi ISPO yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kawasan sepadan sungai menjadi tidak berarti.

Perambahan di wilayah sepadan sungai

Gambar diatas merupakan satu dari banyaknya kejadian dimana kawasan sepadan sungai bukan merupakan wilayah kelola konsesi. Jadi ketika ada yang menggunduli kawasan sepadan sungai, maka perusahaan bisa lepas dari tanggung jawabnya.

Ini mungkin bisa menjadi bahan pelajaran untuk lembaga pemberi izin HGU, bahwa sebaiknya memberikan izin termasuk pada kawasan buffer sungai dan termasuk kewajiban perusahaannya untuk menjaga kualitas lingkungan sepanjang sepadan sungai.

Perencanaan Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Yuridiksi: Apa Mungkin Berkelanjutan?


Wacana mengenai perkebunan berkelanjutan dan pendekatan berbasis yuridiksi bukan hal baru buat saya. Sejak 2014 konsep yuridiksi sudah saya pelajari dan mencoba memahami apakah konsep berkelanjutan (apapun temanya) berbasis yuridiksi dapat berjalan? Konsep berbasis yuridiksi menurut saya merupakan konsep yang menekankan pada pada pendekatan berbasis batasan landscape administrasi yang didukung oleh aktor utama pemerintah melalui kebijakan dan perencanaan serta tentunya dukungan dari semua pihak yang masuk dalam kawasan yuridiksi tersebut.

Konsep pembangunan berkelanjutan menurut saya sangat jelas, ambil saja guidance global yang dikeluarkan United Nations dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep pembangunan berkelanjutan telah sangat jelas menaruk kepentingan konservasi dan perlindungan sumber daya alam. Semuanya ditujukan untuk memastikan bahwa umat manusia tidak semena-mena melakukan pembangunan dan menyesal kemudian hari karena kerusakan alam.

Yuridiksi Perkebunan Berkelanjutan – Kajian Spatial

Yuridiksi perkebunan berkelanjutan dalam banyak diskusi menjadi hal menarik. Ketika program oil palm berkelanjutan yang digulirkan sebuah lembaga PBB didiskusikan di kementrian terkait yang berlokasi di Ragunan, saya ikut diskusi dan terkaget-kaget menangkap bahwa sebagian dari kementrian tersebut sepertinya menterjemahkan perkebunan berkelanjutan adalah kebun sawit-nya berkelanjutan. Pandangan mengenai berkelanjutan sangat jauh dari semangat yang ditawarkan SDGs.

Lalu kembali ke masa kini kita diskusi mengenai perkebunan berlanjutan di Kalimantan dan saya tidak terkaget-kaget lagi ketika pemahaman berkelanjutan ini masih ada dibanyak kepala orang-orang sebagai keberlanjutan kebun itu sendiri, aspek lainnya disisihkan saja.

Kalau saya menggunakan logika spatial dan berhitung secara matematika SD kelas 1 maka konsep yuridiksi pekebunan saat ini boleh dibilang tidaklah berkelanjutan (yang sebenarnya mengedepankan aspek konservasi untuk kemaslahatan umat manusia di masa depan). Tanpa harus menyebutkan banyak riset spatial yang mengkalkulasikan luasan hutan yang dikonversi menjadi kebun (sawit), saya coba mengkalkulasikan luasan kebun sawit dibandingkan dengan luasan kawasan tata ruang area penggunaan lain (APL) yang memang ditujukan untuk pembangunan kebun (sawit). Misalkan Kalimanyan Barat memiliki luas APL sekitar 6 juta hektar dengan luasan izin sawit 4,8 juta hektar dan luas terbangun sekitar 2 juta hektar. Jika dihitung luas tanaman sawit saja maka kawasan menguasai 30% kawasan APL dan ijin nya menguasai 80% dimana kebun, pertanian, pemukiman dan infrastruktur dapat dibangun.

Bagaimana dari sisi pendapatan daerah? Ini merupakan investasi rugi menurut hitungan awam seperti saya maka sawit dalam secara rata-rata memberikan kontribusi ke PDRB. Kontribusi perebunan, kehutanan dan pertanian (sawit masuk didalamnya di Kalbar hanya 20% ke APBD, sangat kecil karena dibandingkan lahan yang dipakai 30% dan izin nya 80%, Bayangkan jika kita menyewakan 80% lahan kita dan hanya dapat pendapatan dibawah itu.

Pesimistis di Balik Perkebunan (Sawit) Berkelanjutan berbasis Yuridiksi

Sikap pesimitis saya jauh lebih besar jika berbicara sawit berkelanjutan berbasis Yuridiksi. Pertama adalah terkait kebijakan tata ruang yang memang tidak menyisakan kawasan-kawasan berhutan di APL. Kalaupun ada komitmen ini, luasanya sangat kecil dibandingkan yang sudah dibuka untuk perkebunan. Alokasi lahan perkebunan yang 80% lebih dikuasai sawit akan menyisakan kawasan berhutan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Kedua adalah kebijakan perlindungan kawasan bernilai konservasi di konsesi kebun sangat lemah, aturan pemerintah masih sangat lemah dan hanya melindungi kawasan sepada sungai (yang kemudian digunakan smallholder) dan kawasan berlereng tinggi yang memang tidak ekonomis buat ditanam. Ketiga adalah pendekatan berbasis yuridiksi akan sangat tergantung pada leadership, jika kepemimpinan daerah yuridiksi tidak perduli lingkungan maka pendekatan akan tidak berjalan.

Lalu dimana pertanian skala besar dengan tujuan ketahanan pangan dapat dibangun jika APL sudah dikuasai kebun? Uppss… katanya sudah boleh di hutan lindung.

Sawit yang semakin merambah kawasan hutan

Trend Titik Api 2020


Trend angka hotspots di beberapa tempat di Indonesia nampaknya mulai naik terutama pada wilayah-wilayah yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Beberapa wilayah yang merupakan kawasan dengan ekosistem gambut menjadi kawasan yang rentan kebakaran. Tetapi ternyata terdapat anomali yang cukup unik dimana dibulan Mei sampai Juli ini ternyata terjadi penurunan titik api yang cukup drastis.

Anomali atau faktor lain?

Beberapa wilayah seperti Riau, Kalimantan mengalami tren penurunan drastis titik api berdasarkan data Sipongi di bulan Mei dan Juni. Apakah ini karena faktor cuaca?

Perkiraan saya adalah ini lebih karena menurunnya kegiatan pembakaran hutan dan lahan di wilayah tersebut. Kemungkinan lain yang menarik adalah wilayah seperti Sulawesi Selatan memiliki tren yang tidak berubah dan tetap naik, apakah ini karena memang minim kegiatan usaha perkebunan skala besar / PBS di wilayah ini?

Menilik Kebakaran Hutan di musim hujan dengan LAPAN Hotspot Data


Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa kebakaran lahan dan hutan karena akibat alami, maka menilik kejadian kebakaran di musim basah akan menjadi counter untuk melihat kejadian kebakaran dan kemungkinan penyebabnya. Asumsi-nya adalah kebakaran pada musim basah/musim hujan pemicu terbesarnya adalah akibat dibakar.

Kebakaran hutan dan lahan sebenarnya dapat dipantau melalui web milik LAPAN Hotspot Information. Ditampilkan dalam format WebGIS, web ini menampilkan hotspot terbaru diseluruh Indonesia.

Web ini dapat diakses melalui link: http://modis-catalog.lapan.go.id/monitoring/hotspot/index 

Yang menariknya adalah kita dapat melihat sebaran hotspot dengan background citra terbaru sehingga bisa melihat secara kasat kemungkinan akan menjadi apa ketika lahan terbakar. Dua screenshot yang saya ambil dengan jelas menggambarkan kemungkinan kebaran adalah untuk perluasan lahan kelapa sawit. Apalagi ini diambil pada musim hujan, dengan asumsi bahwa kejadian kebakaran lahan dan hutan secara alami kemungkinan tidak akan terjadi.

kebakaran_april2018-2 (2)
Kalimantan

kebakaran_april2018-1 (2)
Kalimantan

 

kebakaran_april2018-3
Sumatera

kebakaranhutan
Sumatera

Dari peta di atas sebaran hotspots pada wilayah-wilayah tepi perluasan perkebunan.

Silahkan cek kembali pada web diatas dan akan terlihat pola-pola yang jelas pada wilayah yang kemungkinan akan menjadi expasi perkebunan.

Sumber webGIS lain yang bisa diakses adalah GFW Fires:  http://fires.globalforestwatch.org/map/  Pada web ini bisa dilakukan kalkulasi dan analisis sederhana.

Pengelolaan DAS dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis


Latar Belakang

  • Peran Sungai dan pengelolaan DAS

Sungai merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat secara umum, sungai merupakan sumber air untuk semua kebutuhan dan sebagai wadah transportasi dimana pengangkutan barang dan manusia dilakukan melalui sungai. Secara umum di Kalimantan sungai merupakan urat nadi masyarakat Kalimantan.

Sungai di Berau juga merupakan satu urat nadi kehidupan masyarakat, secara kasat mata dapat dilihat dari pola pemukiman di kabupaten Berau dimana desa-desa yang ada terdapat di sepanjang sungai.

IUCN_DAS
Peran DAS (sumber: IUCN)

Keterkaitan sungai dan pengelolaan DAS merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, DAS merupakan satuan unit pengelolaan dimana semua unsur mulai dari landscape hutan, pemukiman dan lahan pertanian akan memberikan pengaruh timbal balik.

Sungai memberikan banyak sekali manfaat, gambar berikut berasal dari IUCN 2008 tentang Pay – Establishing payments for watershed services, dimana dalam dokumen tersebut dijelaskan secara detail manfaat sungai dan pentingnya kebijakan PES untuk mendukung perlindungan sungai dan DAS.

WRI_DAS
Enter a caption

Tidak hanya di Berau, hampir di seluruh Indonesia, pengelolaan sungai tidak dilakukan dengan baik. Ambil saja Jakarta  dengan Ciliwung-nya, mulai dari hulu-nya di wilayah Bogor, sungai ini tidak dikelola karena pada wilayah tangkapan air-nya tidak dijaga, akibatnya setiap tahun sungai ini mengalami proses pendangkalan. Penempatan pabrik di sepanjang Ciliwung menjadikan kualitas air tercemar dan memerlukan proses pengolahan yang mahal untuk dijadikan bahan baku PDAM di DKI Jakarta. Pembangunan kota dengan pemukiman yang tidak teratur dimana terdapat pemukiman yang tepat dipinggir sungai menyebabkan proses polusi yang lebih besar dengan adanya limbah domestic dan pendangkalan sungai. Akibat lainnya yang dialami oleh Bogor dan DKI Jakarta sebagai wilayah yang masuk dalam DAS Ciliwung adalah bencana banjir yang menjadi bencana tahunan.

Model pembangunan yang tidak baik itu kemudian ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia, seperti pengelolaan sungai di Brantas yang tidak mengedepankan aspek lingkungan. Sungai-sungai di Berau mulai dikelola dengan tidak memperhitungkan dampak-dampak-nya.

Gambaran umum sungai dan DAS di Kabupaten Berau dan Kaltim pada umunya.

Kabupaten Berau terdiri atas beberapa DAS dengan DAS Berau sebagai DAS yang paling besar. DAS Berau terdiri atas 3 sungai utama yaitu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang kemudian menyatu menjadi sungai Berau di Tanjung Redeb.

Sungai Kelay memiliki hulu di wilayah Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang terletak di perbatasan antara Berau dan Kutai Timur, sungai ini bermuara di Tanjung Redeb

Sungai Segah bertemu dengan sungai Kelay menjadi sungai Berau dan kemudian bermuara di laut.

Menilik Tata Ruang Kabupaten Berau dan wilayah lain di Kalimantan dan Indonesia secara umum, sebenarnya belum terlihat jelas pengelolaan kawasan DAS di kabupaten Berau. Pola ruang misalnya masih menempatkan pengembangan pertanian pada kawasan sepanjang sungai. Padahal wilayah tersebut seharusnya di buffer dengan jarak yang lebih tinggi. Dalam RPJMD telah sangat bagus dengan memasukkan indikator pencemaran sungai sebagai target dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam RPJMD Berau ditargetkan pengurangan pencematan dibawa Indeks Pencemaran <5. Ini adalah sebuah strategi yang baik. Permasalahannya adalah bagaimana menterjemahkan kedalam bentuk-bentuk kegiatan pengelolaan DAS, karena kualitas air sungai berkorelasi langsung dengan pengelolaan DAS.

Kajian Dampak

Kajian dampak akan sangat penting dilakukan pada seluruh kawasan DAS. Pembagian kajian dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Kajian Dampak Pengelolaan DAS Berau
  • Berdasarkan kejadian yang ada saat ini maka kondisi yang ada di wilayah DAS di Kabupaten Berau antara lain
  • Dampak penutupan lahan di sekitar DAS Segah dan Kelay pada sector Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan
  • Penutupan lahan sepanjang sungai Segah dan Sungai Kelay akan berpengaruh pada kondisi peraiaran sungai.
  • Penutupan lahan dengan perkebunan akan memberikan dampak yang dapat digali melalui kajian literature
  • Pentupan lahan pertambangan batubara akan memberikan dampak terkait dengan alih fungsi lahan yang menyerap air dengan yang tidak menyerap dan meningkatkan limpasan air.
  • Dampak pengelolaan limbah domestik/rumah tangga
  • Limbah domestic/rumah tangga akan memberikan dampak berupa pencemaran ke sungai.
  • Limbah ini akan terus berkembang sesuai dengan penambahan jumlah penduduk dan perkembangan pemukiman pada sungai Segah, sungai Kelay dan sungai berau sekaligus pada anak sungainya.

Rekomendasi Kebijakan Rencana dan Program Pengelolaan DAS

Rekomendasi dilakukan melalui kegiatan seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dimana integrasi dan rekomendasi dapat dimasukkan ke dalam berbagai dokumen perencanaan misalnya:

  • Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Sungai untuk RPJMD, ini dapat dikaitkan dengan kebijakan lain misalnya ketersediaan air, transportasi, wisata, dll.
  • Rekomendasi Perencanaan Ruang terkait Sungai dan DAS pada dokumen Draft Tata Ruang Kabupaten
  • Rekomendasi Program Pengelolaan DAS yang mengedepankan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Referensi

Smith, M., de Groot, D., Perrot-Maîte, D. and Bergkamp, G. (2006). Pay – Establishing payments for watershed services. Gland, Switzerland: IUCN. Reprint, Gland, Switzerland: IUCN, 2008.

Tutupan Hutan dan Lahan Kalimantan Timur


Berbicara tentang kondisi wilayah saya sangat setuju dengan kutipan yang mengatakan ‘peta berbicara lebih banyak dari kata-kata”.

Berikut adalah hasil kalkulasi GIS tentang tutupan hutan di Kalimantan Timur yang dapat dilihat dalam peta dan tabel berikut:

Tabel_06_tutupan_lahan_Provinsi

Untuk sebaran spatial dapat dilihat dalam peta berikut:

ANALISIS LAND COVER HTI KALTIM_januari2018

Kalkulasi selanjutnya dilakukan untuk wilayah-wilayah konsesi serta wilayah kategori hutan produksi dan APL di Kalimantan Timur.

Tutupan Lahan di APL

ANALISIS LAND COVER_APL_PerkebunanANALISIS LAND COVER_Konsesi_Sawit

Detail laporan dapat diunduh dalam link berikut:

https://tnc.box.com/s/m3bb9pqp96p5psmmeezplzyar964fl9k

Belajar Dari Forest Asia Summit 2014


Mengikuti kegiatan Forest Asia Summit 2014 membuat saya belajar pada isu-isu forest dari berbagai negara. Salah satu aspek yang menjadi tema adalah sustainable landscape yang ternyata memiliki horizon yang sangat luas dan kemudian membuat banyak sekali masukkan mengenai pendekatan pada landscape yang perlu menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan.

Beyond Carbon

Isu forest, climate change sangat dekat untuk kawasan Asia, dimana 24 % dari emisi di Asia berasal dari alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan. Beberapa aspek yang dibahas dikaitkan dengan aspek food security, disaster dan livelihood dan juga energy. Pembicaraan mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dikaitkan dengan hutan memang harus dibahas lebih banyak dibandingkan hanya dengan memfokuskan pada isu carbon. Beberapa alasan seperti skema insentif yang belum jelas, kemudian skema adaptasi dan mitigasi yang belum dipikirkan matang menjadi alasan mengapa pembicaraan ini seharusnya dibahas lebih dari pembahasan emisi karbon.

Masyarakat di Asia, misalnya di Indonesia masih banyak menggantungkan hidup pada hutan sebagai penyedia berbagai kebutuhan. Hilangnya hutan karena kegiatan ektraksi dan alih fungsi lahan dalam beberapa studi tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan. Bahkan pada sekala waktu yang panjang akan menyebabkan kemiskinan. Apalagi jika kemudian aspek kemiskinan dikaitkan dengan indeks pembangunan manusia dimana kemudian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan, pada sumberdaya air, dll.

Sustainable Landscape dan Tata Ruang

Sayangnya saya tidak menemukan materi yang mengkaitkan sustainable landscape ini dengan Tata Ruang dalam pembahasan yang lebih detail. Padahal rona hutan kemudian ditentukan oleh penataan ruang yang menentukan kawasan sebagai go or no go untuk alih fungsi lahan di Indonesia dan mungkin dibanyak negara lain.  Ada beberapa penyampaian mengenai forest moratorium dan beberapa kebijakan berbasis spatial yang kemudian menyumbang pada pencegahan alih fungsi hutan ke land use lain tanpa pertimbangan yang berkelanjutan.

Bagaimana kawasan pengelolaan ruang di Indonesia dilihat berikut:

penentuan pola ruang

 

 

Kebijakan dalam alokasi hutan akan menentukan apakah kemudian akan berkontribusi pada perubahan kawasan hutan. Dengan struktur seperti ini maka akan lebih bijak jika kemudian dibuat sebuah prioritas pengelolaan kawasan yang memperhatikan keseluruhan aspek, lengkap dengan pilihan kebijakan yang akan menjadi pilihan mitigasi dan adaptasi. Pilihan ini akan langsung berkontribusi pada target penurunan emisi, target penyelamatan biodiversity dan target peningkatan kesejahteraan (yang bukan melulu dihitung dari GDP).

Pada session yang ada di dalam Forest Summit, kemudian beberapa inisiatif insentif, dll didasarkan pada sebuah strategi yang matang pada tingkat yang lebih tinggi.

 

List Peraturan terkait dengan HTI


Kajian Hukum Ijin dan Arahan Lokasi HTI

Undang-Undang

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
  3. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang No 19 Tahun 2004.
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan

Pasal 6

Rencana Penatagunaan Hutan disusun berdasarkan Rencana Pengukuhan Hutan

sesuai dengan fungsi hutan yang bersangkutan meliputi:

a. Hutan Lindung;

b. Hutan Produksi;

c. Hutan Suaka Alam;

d. Hutan Wisata

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan

Pasal 3

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;

h. penerpan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup;

i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahanan negara.

  1. Peraturan Pemerintan no 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

Pasal 28

Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c dan d, terdiri dari:

a. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan alam, disebut juga usaha pemanfaatan hutan alam;

b. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan tanaman, disebut juga usaha pemanfaatan hutan tanaman.

Pasal 30

(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan hasil, pengolahan dan pemasaran.

(2) Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan tanaman dapat berupa:

a. tanaman sejenis; dan

b. tanaman campuran berbagai jenis.

(3) Usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan keputusan Menteri.

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

Pasal 34 ayat 3c

c.             Kriteria hutan produksi

1.            Hutan Produksi Terbatas:

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125 – 174 (seratus dua puluh lima sampai dengan seratus tujuh puluh empat), diluar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.

2.            Hutan Produksi Tetap:

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125 (seratus dua puluh lima), di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.

3.            Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi:

a.            Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai 124 (seratus dua puluh empat) atau kurang, di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam.

b.            Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan.

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008.

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007

Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan

produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d

dapat dilakukan pada;

a. HTI;

b. HTR; atau

c. HTHR.

Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007

Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih system silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya.

(2) Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.

(3) Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif.

(4) Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTI merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.

(5) Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan, dapat membentuk lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTI.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan

Perubahan dalam PP no 3 tahun 2008 adalah

(1) Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya.

(2) Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan

(3) Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif.

(4) Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTI merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.

(5) Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan, dapat membentuk lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTI.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007

(1) Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat berupa:

a. tanaman sejenis; dan

b. tanaman berbagai jenis

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanaman sejenis dan berbagai jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007

(1) Jangka waktu IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, diberikan paling lama 100 (seratus) tahun.

(2) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh Menteri sebagai dasar kelangsungan izin.

(3) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman hanya diberikan sekali dan tidak dapat diperpanjang

Perubahannya dalam PP no 3 tahun 2008:

16. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

(1) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun.

(2) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh Menteri sebagai dasar kelangsungan izin.

(3) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman hanya diberikan sekali dan tidak dapat diperpanjang.

Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007  ayat 3

(3) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman diberikan oleh Menteri, berdasarkan rekomendasi gubernur yang telah mendapatkan pertimbangan dari bupati/walikota.

 

Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 ayat 4

(4) IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman dapat diberikan kepada :

a. koperasi;

b, BUMS Indonesia;

c. BUMN; atau

d. BUMD.

Peraturan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

  1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor no  70/Kpts-II/95 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri.

Pengaturan ruang HTI adalah sebagai berikut:

  • Luas areal tanaman pokok ditetapkan + 70 % dari suatu unit areal HTI;
  • Luas areal tanaman unggulan ditetapkan + 10 % dari suatu unit areal HTI;
  • Luas areal tanaman kehidupan ditetapkan + 5 % dari suatu unit areal HTI;
  • Luas areal konservasi ditetapkan + 10 % dari suatu unit areal HTI;
  • Luas areal untuk sarana/prasarana ditetapkan + 5 % dari suatu unit areal HTI;
  1. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 614 Tahun 1999 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Campuran.

 

  1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6886/Kpts-II/2002 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) Pada Hutan Produksi

Pasal 2

(1) Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IPHH adalah :

a. Perorangan yang kegiatan atau mata pencahariannya bergerak dibidang kehutanan;

b. Koperasi yang beranggotakan masyarakat setempat bergerak dibidang kehutanan.

(2) Lokasi yang dapat dimohon adalah :

a. Hutan produksi yang tidak dibebani hak/izin; dan atau

b. Apabila lokasi yang dimohon telah dibebani hak/izin , harus mendapat persetujuan tertulis dari pemegang hak/izin yang bersangkutan;

c. Areal tersebut tidak berada dalam kawasan lindung.

 

  1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.149/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Pengenaan, Penagihan, dan Pembayaran Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan

Produksi jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.57/Menhut-II/2006.

 

  1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 34/Menhut-II/2007 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala [IHMB] Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi [lampiran]

 

  1. Permenhut P.19/Menhut-II/2007 jo. Permenhut              P.60/Menhut-II/2007 jo Permenhut P.11/Menhut-II/2008 tata Cara Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
  2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
  3. Peraturan Menteri kehutanan Nomor P. 63/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi Gubernur dalam Rangka Permohonan atau Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam atau Hutan Tanaman.
  4. Peraturan menteri Kehutanan no 4/Menhut-II/2009 tentang Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri  Sementara.
  5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 14/MENHUT-II/2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan P.62/MENHUT-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Tanaman Rakyat.
  6. Peraturan Menteri  Kehutanan  No 50/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam,

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan

Pasal 1 ayat 6:

Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.

Pasal 2ayat 2:

IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi.

Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh Menteri sebagai areal untuk pembangunan hutan tanaman atau untuk restorasi ekosistem.

  1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 64 tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kehutanan No 62/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pembangunan Tanaman Berbagai Jenis Pada Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).
  2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.26/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Meteri Kehutanan Nomor P.50/MENHUT-II/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam,   Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Produksi.
  3. Keputusan Menteri Kehutanan no 3803 tahun 2012 tentang Penetapan Peta Indikatif Pencadangan Kawasan Hutan Produksi Untuk Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
  4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan P.29/MENHUT-II/2010 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam HTI Sagu.
  5. Peraturan Menteri Kehutanan no 8 tahun 2014 tentang Pembatasan Luasan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman Industri dan IUPHHK Restorasi Ekosistem Pada Hutan Produksi.

Semoga berguna….