Perambahan dan Perlunya Perbaikan Pada Delineasi Izin HGU Perkebunan Sawit


Salah satu hal yang sangat disayangkan dari perizinan perkebunan sawit di Indonesia adalah pemetaan kawasan HGU yang dilakukan dengan mengeluarkan wilayah sepadan sungai dari konsesi konsesi besar. Untuk perusahaan ini memang sangat menguntungkan, karena kawasan sepadan sungai berdasarkan regulasi tata ruang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan tidak boleh ditanami.

Salah satu Peta HGU Konsesi di Kalimantan

Pada peta di atas kawasan sungai dikeluarkan dari HGU, dengan dikeluarkannya kawasan ini dari ijin perusahaan, maka perusahaan tentu saja dapat lepas tangan jika ini kemudian dibuka pihak lain.

Pada peta zoom akan terlihat bahwa kawasan yang tidak masuk HGU akan menjadi kawasan yang rentang untuk dibuka baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang merasa bahwa kawasan ini sebagai kawasan kelola baru dengan peluang menanam sawit dan hasilnya dapat ditampung oleh perusahaan.

Buffer Sungai menjadi kawasan di luar konsesi perkebunan

Buffer sungai dan mengeluarkan wilayah dari perijinan seperti melepas kewajiban konsesi untuk menjaga wilayah sepadan sungai. Karena itu regulasi ISPO yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kawasan sepadan sungai menjadi tidak berarti.

Perambahan di wilayah sepadan sungai

Gambar diatas merupakan satu dari banyaknya kejadian dimana kawasan sepadan sungai bukan merupakan wilayah kelola konsesi. Jadi ketika ada yang menggunduli kawasan sepadan sungai, maka perusahaan bisa lepas dari tanggung jawabnya.

Ini mungkin bisa menjadi bahan pelajaran untuk lembaga pemberi izin HGU, bahwa sebaiknya memberikan izin termasuk pada kawasan buffer sungai dan termasuk kewajiban perusahaannya untuk menjaga kualitas lingkungan sepanjang sepadan sungai.

Pemahaman Pentingnya Keanekaragaman Hayati Dapat Menjadi Kunci Suksesnya Konservasi


IMG_0502
Bekantan (Proboscis Monkey) asli Indonesia yang ada di Kebun Binatang Singapore. Satu waktu mungkin hanya tersisa di kebun binatang, jika tidak dijaga.

Pertanyaan ini muncul ketika saya membaca kembali artikel  tentang wilderness map global yang menggambarkan kondisi kawasan yang benar-benar masih sangat baik. Baca: https://www.theguardian.com/environment/2018/oct/31/five-countries-hold-70-of-worlds-last-wildernesses-map-reveals 

Secara detail bisa dilihat juga di: https://www.nature.com/articles/d41586-018-07183-6 

1048
Peta Global Wilderness Areas

Indonesia tidak masuk dalam negara yang masih menyisakan kawasan yang belum terjamah yang merupakan sisa kawasan di dunia yang masih memiliki biodiversity yang tinggi.

Dalam banyak diskusi tentang pembangunan berkelanjutan dan konservasi, saya sering mendengar beberapa pertanyaan seperti. “Mana yang lebih penting antara pembangunan dan konservasi?” atau “Kita harus mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan orangutan!”. Kesimpulan yang saya ambil adalah rendahnya pemahaman mengenai kepentingan mempertahankan keberlangsungan biodiversity di masyarakat.

Tulisan di The Guardian sangat menarik untuk dibaca, sebuah tulisan semi science yang menggambarkan pentingnya biodiversity: https://www.theguardian.com/news/2018/mar/12/what-is-biodiversity-and-why-does-it-matter-to-us 

Menilik buku-buku sekolah keponakan saya, pemahaman akan pentingnya keanekaragaman hayati masih belum tersampaikan. Pelajaran biologi yang saya lihat lebih mengedepankan hapalan akan taksonomi atau pengertian rumit tentang ekosistem. Padahal pemahaman mengenai pentingnya orangutan misalnya akan menjadi sebuah alur cerita yang menarik. Orangutan, burung dan kelelawar memiliki fungsi sebagai penyebar bijih yang sangat efektif, diciptakan Tuhan dengan menjadi seperti petani yang menjadi perantara tumbuhnya pohon-pohon baru. Seperti pertanyaan anak saya dipagi hari tentang kenapa banyak sisa-sisa jambu biji dibawah pohon, dan saya menjawab bahwa kelelawar menyebarkan bijih untuk kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Semut “sipekerja keras” merupakan agen pembersih yang laur biasa, tanpa semut maka proses dekomposisi sampah akan menjadi sulit. Biodiversity lainnya memberikan sumbangsih luar biasa terkait dengan dunai kedokteran, obat-obatan.

Biodiversity juga dapat dikaitkan dengan persediaan suplai makanan untuk manusia, dulunya sapi dan kambing juga merupakan hewan liar yang kemudian di domestikasi menjadi peliharaan. Ketik sapi atau kambing terkena wabah global misalnya, mungkin satu waktu rusa atau binatang liar lainnya bisa menjadi pilihan persediaan makanan.

Untuk menjaga biodiversity, maka menjaga keutuhan kawasan kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan Suaka Margasatwa menjadi kunci. Menjaga kawasan hutan sebagai habitat hewan-hewan tersebut akan menjaga sebuah siklus kehidupan, dimana manusia yang berada dalam puncak piramida memiliki kewajiban menjaga siklus ini.

Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung


Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya menjadi dua kata kunci utama dalam perencanaan ruang. Pembagian kawasan didalam tata ruang dibatasi dua hal ini.

Perencanaan tata ruang merupakan perencanaan yang mengatur penggunaan kawasan dalam kehidupan manusia di atasnya. Dalam banyak praktek kehidupan masyarakat sebenarnya praktek penggelolaan ruang tidak bisa dipisahkan dalam dua kategori besar. Sebagian besar masyarakat tidak memisahkan antara kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Kawasan Lindung

 

Dalam UU Perencanaan, baik UU No 24 tahun 1994 maupun UU no 26 tahun 2007. Menyebutkan pembagian kawasan atas kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Pengertiannya adalah kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Menurut Permen no 15 tahun 2009 (permen15-2009) kawasan lindung terdiri atas:

a. kawasan hutan lindung;

b) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, meliputi: kawasan bergambut dan kawasan resapan air;

c) kawasan perlindungan setempat, meliputi: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, serta kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal;

d) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya meliputi: kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut, cagar alam dan cagar alam laut, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional dan taman nasional laut, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman wisata alam laut, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

e) kawasan rawan bencana alam, meliputi: kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir;

f) kawasan lindung geologi, meliputi: kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah; dan

g) kawasan lindung lainnya, meliputi: cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan plasma-nutfah, kawasan pengungsian satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.

Secara lebih detail kawasan lindung dijelaskan melalui Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990.  Dalam pasal 2 disebutkan Sasaran Pengelolaan kawasan lindung adalah:

a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;

b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam.

Secara detail bisa dilihat dalam dokumen Keppres_32_1990

Kawasan Budidaya

Sementara kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

a. kawasan peruntukan hutan produksi, yang dapat dirinci meliputi: kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan hutan yang dapat dikonversi;

b) kawasan hutan rakyat;

c) kawasan peruntukan pertanian, yang dapat dirinci meliputi: pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hortikultura;

d) kawasan peruntukan perkebunan, yang dapat dirinci berdasarkan jenis komoditas perkebunan yang ada di wilayah provinsi;

e) kawasan peruntukan perikanan, yang dapat dirinci meliputi kawasan: perikanan tangkap, kawasan budi daya perikanan, dan kawasan pengolahan ikan;

f) kawasan peruntukan pertambangan, yang dapat dirinci meliputi kawasan peruntukan: mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, panas bumi, dan air tanah di kawasan pertambangan;

g) kawasan peruntukan industri, yang dapat dirinci meliputi kawasan peruntukan: industri kecil/rumah tangga, industri agro, industri ringan, industri berat, industri petrokimia, dan industri lainnya;

h) kawasan peruntukan pariwisata, yang dapat dirinci meliputi kawasan peruntukan: semua jenis wisata alam, wisata budaya, wisata buatan/taman rekreasi, dan wisata lainnya;

i) kawasan peruntukan permukiman, yang dapat dirinci meliputi kawasan peruntukan: permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan; dan

j) peruntukan kawasan budi daya lainnya, yang antara lain meliputi kawasan peruntukan: instalasi pembangkit energi listrik, instalasi militer, dan instalasi lainnya.

Kawasan budidaya diatur secara detail dalam Permen PU NO.41/PRT/M/2007 (panduang bisa di lihat sbb: mod_budidaya)

Dalam praktek lapangan kawasan lindung dan kawasan budidaya seringkali sulit untuk ditentukan  karena melihat pengertiannya bahwa lindung ditujukan pada kelestarian sementara kawasan budidaya ditujukan pada pemanfaatan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan wilayah yang mix penggunaan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya?

Pertanyaan tersebut biasanya muncul pada wilayah-wilayah pedesaan atau wilayah yang dihuni oleh masyarakat tradisional, dimana perlindungan tidak bisa terlepas dengan pemanfaatan wilayah. Pada wilayah-wilayah ini konsep pembagian wilayah lindung dan wilayah budidaya perlu dikaji lagi dengan mengedepankan kedua aspek ini sekaligus. Ini terkait dengan budaya masyarakat, pada masyarakat pedesaan terutama masyarakat tradisional, sistem perlindungan dan pemanfaatan menyatu dalam satu ritme kehidupan. Ketergantungan masyarakat pada alam secara otomatis akan membentuk budaya yang juga ikut melestarikan alam. Pola masyarakat yang seperti ini disebut dengan masyarakat ekosentris.

Penataan ruang di Indonesia seharusnya sudah mampu mengadopsi sistem yang membagi wilayah secara lebih detail. Bahwa blok Taman Nasional atau Cagar Alam misalnya harus juga memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah hidup jauh sebelum wilayah tersebut dijadikan wilayah lindung. Pertanyaan yang paling sulit adalah bagaimana mengelola wilayah tersebut agar fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak saling merugikan.