Hari anti korupsi yang jatuh tanggal 9 Desember lalu ternyata “nyaris tak terdengar” gaungnya di Indonesia, beberapa acara seperti FESTA (festival ati korupsi) yang dilakukan di Bandung yang sempat ramai. Entah karena banyak yang takut berbicara korupsi kemudian terkena kasus korupsi atau karena sebagian sudah hopeless membahas korupsi karena prakteknya tetap ada.
Tahun ini peringatan hari korupsi istimewa karena berbarengan dengan Pilkada serentak di Indonesia yang juga dilakukan tanggal 9 Desember. Sayang sekali mommen serentak ini tidak juga punya nilai karena masih ada daerah yang meloloskan calon tersangka korupsi dan bahkan mantan terdakwa korupsi.
Kajian spatial sebenarnya dapat dilakukan untuk melihat trend kerusakan lingkungan dan kaitannya dengan Pilkada. Salah satu analisis yang bisa dilakukan adalah mengkaji secara time series pola-pola pemberian ijin pengelolaan kawasan dan kaitannya dengan kerusakan lingkungan.
Kesulitan kebijakan OneMap adalah lemahnya komitmen pihak-pihak pengelola data untuk mendukung kebijakan pembangunan data yang baik. Akibatnya data-data seperti konsesi misalnya tidak tersedia dan berbeda-beda antar sumber data.
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta akan mampu memberikan input data yang baik untuk kemudian menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terkait ruang. Kebijakan yang salah atau yang di luar ketentuan akan sangat mudah dikaji dengan menggunakan pendekatan spatial.
Terdapat keterkaitan yang erat antara kondisi lingkungan dengan kepemimpinan, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang memiliki visi kedepan yang jauh dalam bentuk kebijakan rencana dan program yang mengedepankan aspek lingkungan. Menjelang Pilkada aspek-aspek penting yang harus dilihat dalam melihat pemimpin yang dibutuhkan Kabupaten Berau adalah terkait dengan pengelolaan lingkungan.
Mengapa aspek lingkungan sangat penting karena baru saja masyarakat di Kabupaten Berau mendapat musibah dengan pencemaran air sungai Segah dan sungai Kelay yang kemudian menyebabkan matinya ikan dan kualitas air yang buruk untuk kepentingan rumah tangga, belum lama juga terdapat kasus kebakaran hutan yang menyebabkan penyakit ISPA dan terganggunya transportasi udara dari Berau dan menuju Berau.
Peran pemimpin daerah dalam menjaga kualitas lingkungan sangat penting karena kebijakan pengelolaan lingkungan pada banyak wilayah di Indonesia dimulai dari komitmen pemimpin daerah dalam mengambil kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Alur kebijakan pengelolaan lingkungan
Gambar di atas menjelaskan bagaimana faktor lingkungan hidup dimulai dengan adanya komitmen, komitmen ini perlu ditunjang oleh keahlian yang bisa diambil dari semua pihak terkait dan yang terakhir akan menghasilkan kepemimpinan atau leadership.
Sebuah contoh sederhana dapat dilihat pada kasus berikut dengan contoh Kabupaten Berau;
Skenario yang akan dibuat adalah Komitmen Pengembangan Sektor Wisata Alam di Pulau Derawan; Dukungan Keahlian oleh beberapa pihak mengali fakta bahwa Wisata Alam Derawan adalah wisata kelautan dengan pantai, terumbu karang dan wisata mangrove di kawasan sekitarnya. Keahlian sipil dan perencanaan wilayah memberikan rekomendasi pengadaan infrastruktur seperti pelabuhan penumpang dan sarana transportasi, keahlian lingkungan memberikan rekomendasi bahwa diperlukan usaha perlindungan perairan sekitar pulau Derawan dengan menjaga kualitas sungai, kualitas mangrove dan perlindungan pantai.
sumber peta: Google Earth
Terakhir dengan adanya Kepemimpinan yang baik maka Kebijakan yang diambil untuk memastikan pengembangan ekowisata di Pulau Derawan Berau antara lain; (1) Menjaga kualitas air sungai yang bermuara ke pantai di sekitar Pulau Derawan; (2) Kebijakan pengelolaan infrastruktur dengan melihat aspek lingkungan misalnya menghindari pembangunan tepat di sepadan pantai atau sungai; (3) mengedepankan peran serta masyarakat lokal misalnya dengan peningkatan ketrampilan dan pengetahuan pengelolaan wisata.
Kebijakan Pembangunan dan Lingkungan
Beberapa pemimpin daerah di Indonesia baik pada tingkat kabupaten dan provinsi banyak yang tidak menyadari keterkaitan yang erat antara kebijakan yang diambil dengan kualitas lingkungan. Pada prakteknya dengan mengedepankan target pendapatan asli daerah (PAD) dan peningkatan ekonomi semata beberapa pemimpin daerah mengambil kebijakan yang ektrem dengan memberikan perijinan dalam mengeksploitasi sumber daya hutan, lahan dan sumber daya alam lainnya dengan mengesampingkan faktor lingkungan. Misalnya pada daerah Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, juga Kalimantan di beberapa lokasi, pembelian perijinan di lahan gambut dan lahan berhutan kemudian berdampak besar.
Analisis CIFOR menyebutkan bahwa hanya pada tahun 2015 saja kerugian kebakaran hutan di Indonesia mencapai 200 trilyun ini sama dengan 10% dari APBN Nasional Indonesia 2015 yang jumlahnya 2.019,91 trilyun. Belum lagi kerugian ekologis dan kerugian kesehatan jangka panjang yang dampaknya belum berhenti sampai saat ini. Bagaimana kepeminpinan dan lingkungan hidup sangat berperan dalam kemajuan suatu wilayah bisa dilihat pada studi kasus di luar Indonesia maupun di Indonesia. Kebijakan lingkungan di banyak tempat dilakukan ketika dampak lingkungan sudah terasa dan mengancam aspek kehidupan masyarakat.
Pasca restorasi Meiji Jepang mengalami banyak permasalahan lingkungan akibat kegiatan-kegiatan pertambangan dan industry, tetapi sampai tahun 1950 dan 1960-an masih banyak permasalahan lingkungan, beberapa kasus seperti keracunan akibat tambang pada kasus Minamata membuat Jepang mengeluarkan kebijakan yang sangat ketat dalam menjaga kualitas air di negaranya. Kasus di dalam negeri bisa terlihat pada kasus di Jakarta dan Surabaya dengan sungai yang sangat buruk kualitasnya dan tidak larangan pembangunan di sepadan sungai. Kebijakan kemudian dibangun untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.
Wilayah seperti Berau dengan kualitas lingkungan yang masih baik, dengan tutupan hutan yang baik bisa belajar dari kebijakan yang dibangun di wilayah lain. Mengapa peran kebijakan pimpinan daerah sangat penting? Ini bisa dilihat dalam hampir semua alur perijinan sector berbasisi lahan seperti kehutanan, perkebunan, peran pimpinan daerah baik Bupati dan Gubernur adalah pemberi rekomendasi. Tanpa rekomendasi dari daerah perijinan sektor kehutanan dan perkebunan tidak akan mendapatkan perijinan pada tingkat nasional. Kebijakan yang dibangun oleh pemimpin daerah akan menjadi penentu kualitas lingkungan dan kualitas masyarakat di wilayah tersebut.
Berau dan Analisis Kebijakan Lingkungan
Berau merupakan wilayah dengan tutupan hutan yang besar, analisis yang dilakukan ditahun 2012 sampai 2013 menyebutkan tutupan hutan di Berau masih pada kisaran diatas 70%, Berau merupakan wilayah di Kaltim yang memiliki tutupan Karst besar di bagian tenggah dan tenggara Berau dengan fungsinya sebagai sumber mata air, Berau memiliki kekayaan laut, mangrove dan lokasi wisata Derawan serta Labuhan Cermin. Fakta-fakta tersebut menjadikan Berau memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan Kabupaten lain di Kalimantan Timur. Potensi sumberdaya alam yang besar tersebut memerlukan kebijakan pengelolaan yang baik.
Bagaimana menilai kebijakan lingkungan? Ada beberapa faktor penting dalam menilai kebijakan lingkungan di tingkat daerah yang paling utama berdasarkan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup no 32 tahun 2009 adalah pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penyusunan kebijakan, rencana dan program. KLHS wajib dilakukan untuk penyusunan RPJP/M, RTRW dan Kebijakan lain skala besar yang berpengaruh terhadap lingkungan (misalnya kebijakan pembangunan PLTN/PLTA, Food Estate luas, dll).
Kebijakan pengelolaan lingkungan yang lain adalah kebijakan alih fungsi lahan hutan untuk kegiatan lain, misalnya apakah kebijakan mampu memberikan perlindungan kawasan hutan yang penting untuk masyarakat local yang hidupnya tergantung pada hutan. Aspek lain adalah kebijakan pengelolaan DAS dan aliran sungai, apakah kebijakan yang dibuat mampu melindungi DAS dari pencemaran, erosi, pendangkalan dan bencana kebanjiran.
Analisis kebijakan lingkungan menjadi hal penting dalam melakukan screening awal untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibangun di daerah akan mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat dan lingkungan di daerah tersebut.
Alur perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang sebenarnya berada dalam satu siklus yang sama. Tetapi dalam prakteknya tata ruang dan perencanaan pembangunan seringkali menjadi dua inisiatif yang berbeda. Meskipun aturan yang ada sudah menyebutkan keterkaitan antara dokumen RPJM dengan dokumen TATA RUANG tetapi dalam prakteknya bisa menjadi dua dokumen yang berbeda dan tidak terkait.
Ada beberapa alasan mengapa keterkaitan ini tidak terjadi dalam perencanaan pembangunan di Propinsi dan di Kabupaten yang ada di Indonesia.
Tata Ruang: Pelaksanaan dan Kapasitas
Tata ruang yang ada di Indonesia bisa dikatakan merupakan konsep penataan ruang model ‘kuno’ yang pada dasarnya tidak mampu mengakomodir semua aspek yang ada dalam kondisi nyata.
Ada banyak aspek yang tidak dimasukkan dalam tata ruang kita:
Aspek perlindungan biodiversity dan kekayaan lain seperti ekosistem unik dan langka
Aspek kebencanaan
Aspek lingkungan lain seperti terkait dengan perubahan iklim
Aspek itu kemudian di ‘mainstreaming’ tetapi pertanyaannya adalah apakah mainstreaming itu bisa idilakukan dengan kapasitas yang ada pada perencana di tingkat Kabupaten atau propinsi.
Minimnya Kapasitas Perencana
Ini menjadi PR besar bagi penyelengara perencanaan di daerah, saya yang sudah kerja pendampingan perencanaan di wilayah Indonesia menemukan beberapa fakta berikut:
Posisi Kepala Bappeda pada banyak Kabupaten di Indonesia diisi oleh jabatan politis, pada banyak kasus ini diisi oleh ‘ orang kepercayaan’ bupati yang kebanyakan bukan berlatar belakang ahli tata ruang atau bekerja di bidang perencanaan sebelumnya.
Minimnya tenaga planner di Bappeda; ada beberapa kabupaten yang hanya memiliki 1 atau 2 orang dengan latar belakang ilmu perencanaan. Mungkin ada kabupaten pemekaran di wilayah yang jauh dari pusat propinsi atau nasional yang tidak memiliki perencana
Minimnya tenaga teknis teknis pendukung perencanaan seperti tenaga GIS, tenaga ahli ekonomi pembangunan, tenaga ahli sipil.
Selama ini kapasitas itu diisi oleh tenaga pihak ketiga melalui kontrak, masalahnya adalah ketika kita tidak mengerti perencanaan, bagaimana kita bisa mempercayakan perencanaan ke oranglain. Pada banyak kasus pihak ketiga ini TIDAK memiliki kemampuan pemahaman KONTEKS LOKAL. Output nya adalah dokumen perencanaan COPY PASTE.
RTRW dan RPJM: Jangan Terpisahkan
Minimnya kapasitas berdampak dengan dokumen RPJM dan RTRW dilakukan oleh 2 konsultan yang berbeda. Tanpa adanya diskusi dan penyatuan maka yang terjadi adalah menjadi 2 dokumen yang tidak memiliki kaitan sama sekali. Peran Bappeda seharusnya memastikan 2 dokumen ini menjadi dokumen yang tidak terpisahkan.
Meskipun regulasi menetapkan bahwa RTRW merupakan acuan bagi bagi penyusunan RPJM dan sebaliknya, tetapi dalam pelaksanaan ini tidak dilakukan dengan benar.
Konsep konsep WP alias wilayah pelayanan merupakan konsep-konsep mikro yang sudah usang dan boleh dikatakan tidak applicable pada perencanaan wilayah. Konsep-konsep ini seharusnya digantikan dengan konsep-konsep baru yang mampu menterjemahkan kebijakan, rencana dan program dalam konteks ruang.
Apa yang terjadi ketika RPJM menetapkan program “Peningkatan 20% ketahanan pangan dengan membangun pusat-pusat agriculture/food estate?” kenyataan di lapangan akhirnya lokasi tidak ditentukan dan kemudian dilakukan tanpa analisis dari tata ruang dan akhirnya program dilakukan di lokasi yang salah atau ternyata tidak dapat dilakukan karena tidak ada ruang tersedia.
RTRW dan Rencana Sektoral
Rencana sektoral harusnya merupakan wujud implementasi dari Tata Ruang dalam konteks spatial.Wilayah-wilayah dalam rencana sektoral harusnya bisa digali dan diambil dari dokumen tata ruang.
Misalnya rencana Sektor Pendidikan, seharusnya bisa digali dari dokumen tata ruang dan dokumen RPJM yang sudah menyebutkan mana kecamatan/kabupaten yang memiliki angka MELEK HURUF terendah. Wilayah ini yang kemudian menjadi target Perencanaan Sektor Pendidikan.
Secara lebih detail rencana sektoral seperti Perkebunan kemudian tidak dilakukan dengan melihat dokumen tata ruang yang baik. Akibatnya adalah (1) Lokasi yang dikembangkan merupakan lokasi yang salah, tengok saja dengan GOOGLE EARTH bagaimana perkebunan sawit di Indonesia ditanam di pingir sungai. Padahal dalam aturan Tata Ruang harus diberi buffer.
Ini bukti bahwa arahan Tata Ruang tidak pernah menjadi arahan dalam pelaksanaan pembangunan SEKTORAL. Jelas dalam dokumen Tata Ruang
Lokasi Sawit di Pinggir Sungai di Riau
Padahal menurut Permen no 15 tahun 2009 (permen15-2009) kawasan lindung terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, meliputi: kawasan bergambut dan kawasan resapan air;
c) kawasan perlindungan setempat, meliputi: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, serta kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal;
Rekomendasi
Perlu Kebijakan pengelolaan aparatur pemerintahan yang lebih dalam menyusun lembaga perencana di Kabupaten atau Provinsi dengan memastikan adalnya kapasita Perencana dalam struktur lembaga Perencanaan Pembangunan seperti Bappeda.
Adanya kegiatan pengembangan kapasitas Perencana di Tingkat Kabupaten.
Adanya monitoring yang ketat atas kualitas Dokumen Perencanaan.
Adanya TRANSPARASI dan PENYERTAAN PERAN MASYARAKAT dalam Perencanaan Pembangunan. Pada banyak prakteknya MASYARAKAT/PUBLIK suatu wilayah akan jauh lebih expert menilai wilayahnya dibanding ahli dari mananpun.
Pertama kali menginjakkan kaki di Papua tahun 2000 saya baru tahun ini mendengar begitu banyaknya penerbangan di Papua terhenti karena asap.
Tahun ini sebaran titik api di Papua sangat banyak, Hasil analisis September dan Oktober 201 5 ini menyebutkan ada 10096 fire alerts dengan 2755 titik api yang hampir pasti. Sebaran terbesar ada di Kabupaten Merauke dan Mappi. Secara lebih detail dapat dilihat seperti berikut ini.
Sebaran hot spot dari FIRMS September Oktober 2015Sebaran titik api per kabupaten di Papua
Secara detail sebaran per kabupaten dapat dilihat di tabel berikut:
Tabel sebaran titik api kabupaten Papua
Bicara tentang kebakaran, Merauke memang merupakanwilayah savana dan secara alami akan mengalami kebakaran sepanjang tahun. Tetapi wilaya seperti Mappi, Teluk Bintuni atau Sorong pada dasarnya bukan wilayah alami yang mengalami kebakaran.
Sebaran titik api dan konsesi di Papua
Lalu apa yang menjadi pemicu semakin besarnya angka titik api di Papua? Faktor fenomena iklim el nino bisa menjadi satu alasan, tetapi el nino terbesar pada tahun1997 misalnya tidak menyebabkan kebakaran hebat di Papua seperti sekarang.
Expansi Perkebunan Sawit
Sejak saya di Papua saya tahu beberapa lokasi seperti Kabupaten Jayapura, Kabupaten Manokwari yang telah memiliki perkebunan sawit. Wilayah di Selatan Papua saat itu belum ada perkebunan sawit, ada banyak alasan mengapa selatan tidak ada sawit karena kondisi wilayah yang memang tidak sesuai untuk sawit di wilayah rawa dan mangrove.
Tetapi belakangan ini wilayah selatan seperti Mappi dan Timikan mulai dilirik untuk expansi sawit.
Entah ada kaitan atau tidak, yang pasti expansi pembukaan lahan untuk sawit sejalan dengan peningkatan titik api .
“The resulting map, released in 2013, shows how Earth’s forests changed between 2000 and 2013. “It is the first global assessment of forest change in which you can see the human impact,” said Masek. And the message is: People have had a huge impact on forests.”
Masih ingat waktu data Kehutanan di Indonesia adalah data rahasia yang sangat sulit di akses? Jaman itu untuk mengetahui tutupan hutan dengan citra satelit diperlukan biaya yang besar untuk membeli citra satelit dan mengolahnya.
Saya melakukan kegiatan pengolahan citra Landsat 7 untuk kawasan hutan di Papua di tahun 2002 dan menjadi salah satu data yang dipakai untuk kegiatan konservasi. Untuk kegiatan ini diperlukan budget yang besar.
Saat ini dengan smartphone dan akses internet, data citra bisa dilihat melalui google atau melalu layanan peta digital online lainnya.Tidak perlu biaya besar dan proses yang rumit. Langkah penting selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan data yang ada untuk kegiatan konservasi atau kegiatan lain.
Tidak bisa lagi menyembunyikan fakta kerusakan hutan.
Pada saat ini data-data tutupan hutan sudah dapat diakses online, peran citra satelit menjadi sangat penting dimana citra seperti Landsat memberikan informasi ril mengenai kondisi suatu wilayah.
Kondisi ini kemudian yang memberikan fakta sebenarnya, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan.
Salah satu riset yang dapat dikatakan paling advance dalam analisis land cover adalah apa yang dilakukan University of Maryland yang bekerja sama dengan Google untuk melakukan kajian pada 700.000 citra Landsat dan menghasilkan data tutupan lahan terbesar di dunia. Dengan bantuan super computer dengan 100.000 CPU dan 1 juta jam analisis maka dihasilkan data tersebut. Bayangkan jika menggunakan PC biasa maka proses ini dilakukan dalam 15 tahun.
Hasilnya adalah menggambarkan perubahan tutupan lahan antara tahun 2000-2013. Dimana pada gambar berikut untuk wilayah Kalimantan,perubahan tutupan hutan pada skala besar diakibatkan oleh ekspansi perkebunan sawit.
Perubahan kawasan hutan di Kalimantan karena ekspansi sawit.
Belum lama ini saya menonton National Geopraphic TV yang menampilkan kekayaan bioversity di Indonesia, acara ini menampilkan spesies dan habitat yang luar biasa indah dan unik di wilayah Kalimantan dan Papua. Saya terkagum-kagum sambil bertanya ” sampai kapan kekayaan ini bisa bertahan?”. Apakah habitat spesies-spesies ini bisa dilestarikan? Apakah perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah ini memperhatikan aspek konservasi yang mendukung pelestarian habitat tersebut? Apakah habitat itu sudah dipetakan dan masuk dalam pola ruang RTRW wilayah? Sejumlah pertanyaan berujung “dimana” mengalir di kepala saya.
Konservasi selalu akan berujung dengan pertanyaan dimana? Itu juga yang menjadikan data spatial memberikan kontribusi yang penting kegiatan konservasi. Tengok saja web: http://maps.tnc.org/ yang selalu mendapatkan update ketika ada satu inisiatif yang menggunakan pendekatan berbasis spatial.
Pendekatan Landscape
Salah satu pendekatan konservasi yang erat dengan penggunaan data spatial adalah pendekatan berbasis landscape. Ada banyak pengertian mengenai pendekatan berbasis landscape (landscape approach) tetapi ada benang merah dimana semua pendekatan konservasi yang dikembangkan dengan pendekatan landscape merupakan pendekatan berbasis spatial. Pendekatan-pendekatan seperti perencanaan wilayah daerah aliran sunga (DAS), pendekatan ecoregion, dll.
Tools-tools pengelolaan pengelolaan berbasis landscape seperti HCV, HCS, CbD, dll merupakan tools yang dilakukan dengan menggunakan data spatial sebagai dasar pengelolaan.
Pendekatan landscape sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi pembangunan di Indonesia, coba lihat project Reppprot tahun 80-an yang dikembangkan untuk penentuan wilayah transmigrasi merupakan pendekatan berbasis landscape dengan menggali semua aspek yang dibutuhkan.
Kaitan Dengan Perencanaan Wilayah
Fakta yang ada adalah seperti ini:
– Tata ruang merupakan perencanaan ruang yang legal dimana didalamnya terdapat pola ruang dan struktur ruang dalam rentang medium ( 5 tahun) dan jangka panjang (20 tahun). Apa yang ada didalamnya dokumen tata ruang akan menjadi blueprint pembangunan pada tatanan ruang.
– Kawasan-kawasan di luar kawasan lindung merupakan kawasan yang akan dijadikan sebagai kawasan yang dibuka dan di kelola untuk pembangunan. Pada banyak wilayah di Indonesia kawasan ini belum dipetakan secara untuk “apa yang ada didalamnya?, berapa kekayaan biodiversity yang ada didalamnya? apa yang akan terjadi/dampak dari perubaha kawasan ini?”
– Jika satu wilayah Kabupaten dan Provinsi akan melakukan perencanaan secara lebih detail, faktanya adalah kekurangan data dan informasi berbasis ruang yang mampu dijadikan baseline dalam penentuan tata ruang. Belum lagi bicara kapasitas untuk menggunakan dan mengelola data spatial di tingkat kabupaten dan provinsi.
Salah satu aspek penting yang terlupakan dalam perencanaan wilayah di Indonesia adalah aspek kekayaan biodiversity. Kita dikaji secara mendalam maka perencanaan pembangunan di Indonesia melupakan aspek biodiversity, beberapa inisiatif yang diluncurkan belakangan ini seperti IBSAP (Rencana Aksi Biodivesity Indonesia) atau beberapa kegiatan seperti RAD GRK yang berkontribusi pada penyelamatan kawasan di Indonesia bisa dikatakan terlambat. Kalaupun inisiatif ini diluncurkan, masih sulit dilakukan karena kemudian harus di mainstreaming, atau di sinergikan dalam perencanaan pembangunan dalam RPJM atau dalam RTRW. Dimana efektifitasnya diragukan.
Peluang memasukkan aspek konservasi dalam pembangunan mustinya dilakukan secara utuh, artinya ada aspek-aspek perencanaan wilayah yang memasukkan parameter-parameter konservasi di dalam penentuan kebijakan, rencana dan program pembangunan. Tanpa memasukkan aspek-aspek ini dalam perencanaan maka usaha paralel yang dilakukan untuk konservasi dan perlindungan keanakeragaman hayati hanya menjadi suatu aspek yang tetap terlupakan.
Bagaimana ini dilakukan? Coba tengok penentuan kawasan lindung di dalam Tata Ruang. Penentuan kawasan lindung dalam peraturan tata ruang hanya memasukkan aspek perlindungan tanah dan air. Belum memasukkan perlindungan biodiversity dengan memasukkan perlindungan habitat bagi semua kekayaan biodiversity di Indonesia. Meskipun ada ‘kata’ perlindungan satwa dan habitat, tetapi tidak ada peraturan detail yang diturunkan untuk memasukkan aspek ini dalam Tata Ruang.
“Our vision is to support and expand the use of geospatial technologies to enhance The Nature Conservancy’s core mission by improving our conservation science, fundraising and administrative functions”
Peta Landuse Berau
Di negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan luas wilayah yang demikian besar salah satu aspek yang terlupakan atau terpinggirkan adalah pentingnya data spatial sebagai informasi dasar dalam menyusun rencana pembangunan.
Data spatial telah lama tersimpan di bawah meja, dianggap sebagai barang rahasia atau sebagaian orang masing menggangap sebagai komoditi yang bisa diperjual belikan.
Kemajuan teknologi GIS, teknologi pemetaan digital serta keterbukaan informasi yang didorong oleh pihak lain membuat data spatial bukan lagi sebagai dokumen rahasia, tetapi sebagai data dan informasi dasar dalam melakukan banyak kegiatan.
Kebijakan OneMap pada tingkat nasional dapat dikatakan sebagai pemicu awal dari keterbukaan informasi ini. Tetapi faktor lain sebagai pemicu dibalik kebijakan ini wajib kita simak, yang antara lain adalah kebakaran hutan, bencana alam serta tekanan dari luar akan pentingnya penyelamatan kawasan hutan sebagai bagian dari kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Konservasi dan data spatial pada dasarnya bukan merupakan hal yang terpisahkan. Saya masih teringat ketika bekerja di dunia konservasi pertama kali adalah menyusun data spatial Papua khususnya wilayah Lorentz sebagai informasi pendukung untuk mengusulkan Lorentz sebagai warisan dunia (world heritage). Waktu itu saya hanya membuat beberapa peta sederhana yang menggambarkan mulai dari letak, data biofisik sampai informasi biodiversitas yang sebelumnya sudah di survey.
Data spatial kemudian semakin sering saya gunakan dalam kegiatan konservasi ketika beberapa pendekatan seperti ekoregion dan pendekatan berbasis landscape mulai dijadikan dasar dalam menentukan strategi konservasi.
Kegiatan LSM dibidang Data Spatial
Ada banyak LSM yang bekerja dibidang penguatan data spatial, salah satunya adalah The Nature Conservancy yang bekerja di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pendekatan berbasis Jurisdictional Approach yang dilakukan TNC di Berau mencakup aspek-aspek yang luas mulai dari bekerja di tingkat tapak dengan community base natural resource management, pendekatan berbasis site dengan konservasi kawasan karst, pendekatan berbasis sektoral dengan improve forest management dengan perusahaan dengan menerapkan RIL dan mendukung sertifikasi sampai pada pendekatan kebijakan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada semua aspek dan cakupan tersebut data spatial memiliki peran penting dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dan monitoring kegiatan.
Data spatial menjadi sangat penting dan digunakan secara luas pada semua pendekatan. Sedangkan untuk TNC sendiri data spatial menjadi penting dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan TNC seperti Conservation by Design, Development by Design atau kegiatan berbasis landscape lainnya seperti Protected Area Management.
Membangun Data Spatial untuk Konservasi Pada Tingkat Kabupaten
Di Kabupaten Berau telah dibangun webGIS yang menampilkan data-data spatial Berau. Data spatial yang dihasilkan tentunya akan memberikan kontribusi pada konservasi dengan berbagai cara seperti berikut ini:
Perkembangan perkotaan di Indonesia sepertinya cenderung untuk meniru Jakarta, baik dari infrastruktur yang dibangun dan tentunya permasalahan yang ada.Kota-kota provinsi di Indonesia perlahan mulai merasakan permasalahan yang ada di Jakarta seperti kemacetan, banjir.
“Urban planning is a key tool for local leaders in supporting the realization of a city’s vision. A guide that offers lessons and ideas on urban planning is important for mayors and other local leaders. In our experience in Medellin, Colombia, we have learned the importance of urban planning for good development. We have instruments for urban planning that are approved by the Council with the involvement of residents and it is mandatory for local leaders to produce plans. Although they are often regarded as a bureaucratic requirement, urban plans – even those with a short validity of four years – can have an impact on a city for the next 20 years and more if they are properly conceived and systematically executed (UNHABITAT, 2012_Aníbal Gaviria Correa, Mayor of the City of Medellin: Dalam buku Urban Planningfor City Leaders )” .
Tampaknya ilmu perencanaan kota harusnya lebih gencar lagi diperkenalkan pada pemimpin-pemimpin kota (walikota), dimana pengenalan prinsip-prinsip perencanaan kota akan memandu pengambilan kebijakan mengenai perkotaan.
Lesson Unlearn
Entah karena kita tidak punya perencana kota atau tidak peduli dengan perencanaan kota, hampir semua kota di Indonesia terbangun secara organik, artinya terbangun tanpa perencanaan yang baik. Padahal pembangunan tanpa perencanaan yang baik kemudian lebih banyak membawa mudarat-nya dibanding dengan perhitungan jangka pendek yang menjadi alasannya. Jakarta telah menjadi satu pembelajaran berharga dimana perkembangan tanpa perencanaan yang baik seperti kegiatan pembangunan sepanjang tepi Ciliwung kemudian membawa masalah banjir dan kemudian ketika dikoreksi dengan pengaturan pemukiman harus bermasalah dengan kepemilikan lahan serta proses ganti rugi.
Kebetulan saya sedang di Samarinda, dan baru beberapa hari, saya melihat kota ini bermasalah dengan banjir, beberapa titik kemacetan dan tentunya perkembangan pemukiman dan prasarana yang tidak terencana.
Kota Samarinda merupakan kota tepi sungai Mahakam dimana sungai ini memiliki lebar sampai 1 km. Kota Samarinda seperti terbagi atas kawasan di utara dan di selatan oleh sungai Mahakam,
sumber: openstreetmap
Kota yang merupakan ibukota Kalimantan Timur ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dimana perkembangan ini dipicu oleh peningkatan kegiatan ekonomi skala besar seperti pertambangan, perkebunan, dll.
Permasalahan Kota
Beberapa permasalahan perkotaan seperti Samarinda antara lain:
1. Perkembangan Tanpa Perencanaan
Beberapa aspek perencanaan kota sesuai dengan kaidah-kaidah perencanaan tampaknya belum dilakukan dengan baik. Ambil contoh bangunan-bangunan di tepi sungai yang menutup aliran sungai.
Bangunan pada badan anak sungai Mahakam.
Samarinda juga merupakan kota dimana lokasi tambang terdapat di dekat pusat kota. Diperlukan regulasi yang mampu mengatur perencanaan ruang pada kawasan tambang, misalnya regulasi menyangkut keselamatan dan perencanaan kawasan pemukiman yang tepat pada kawasan dekat tambang.
Lokasi tambang di Samarinda
3. Banjir
Jalan Utama di Samarinda (sumber: openstreetmap)
Jalur jalan seperti RE Martadinata dan Slamet Riyadi merupakan beberapa kawasan yang terkena banjir langanan pada saat musim hujan atau saat intensitas tinggi. Ruas jalan tepi sungai ini merupakan pusat limpasan air yang terkena banjir karena berbagai alasan seperti; tidak adanya sarana gorong-gorong yang baik, adanya struktur bangunan yang menghalangi lintasan air ke arah sungai Mahakam.
2. Kemacetan
Kemacetan di Samarinda sudah mulai menjadi sesuatu yang biasa, terutama pada saat jam sibuk berangkat dan pulang kerja/sekolah. Kemacetan dipicu lebih besar lagi oleh banjir, dimana banjir saat hujan datang akan menyebabkan kemacetan yang panjang. Salah satu aspek lain penyebab kemacetan adalah ruas yang menghubungkan Samarinda dengan Balikpapan sangat tergantung pada 1 jembatan, dimana seharusnya dapat dibuat alternatif untuk mengurangi beban penggunaan jalan pada satu jembatan. Ini menyebabkan terjadinya pemusatan kendaraan menuju dan dari jembatan penyebrangan.
Regulasi Perencanaan Kota
Telah banyak regulasi yang dikeluarkan dalam rangka perencanaan kota,misalnya:
Permendagri No 1 tahun 2008 tentang PEDOMAN PERENCANAAN KAWASAN PERKOTAAN.
Permen PU No 20/tahun 2011 tentang PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI KABUPATEN/KOTA.
PermenPU no 6 tahun 2007 tentang PEDOMAN UMUM RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN.
Aturan-aturan detail dan juknis PU yang dapat dilihat dalam penataanruang.net
Banyaknya peraturan tersebut tampaknya belum dilakukan dijadikan acuan yang sebenarnya dalam menyusun tata ruang kota. Ada banyak PR yang harus dibuat dalam membuat perencanaan detail Tata Ruang yang lebih baik.
Perbandingan
sumber:openstreetmap
Samarinda dipisahkan oleh sungai Mahakam.
sumber: openstreetmap
Perbedaan ini pada sekala detail sangat terlihat dimana sebaran pemukiman dan kegiatan di Samarinda dipusatkan pada lokasi dekat sungai. Sementara di Seoul dijauhkan dari sungai.
sumber google earthsumber googleearth
Terlihat bahwa kawasan tepian sungai di Samarinda dipenuhi oleh bangunan, sementara di Seoul lokasi ini dibiarkan menjadi lahan terbuka yang diisi dengan taman-taman publik yang luas.
Sayangnya tata ruang yang ada untuk Samarinda masih membuat delineasi kawasan pemukiman dan kawasan terbangun lainnya di tepi sungai.
Kawasan orange disebutkan sebagai kawasan yang sesuai untuk pemukian dan hijau tidak sesuai. Terdapat rentang warna orange pada kawasan tepi sungai Mahakam. Pola perencanaan yang menurut saya tidak lazim, dimana jelas-jelas dalam prinsip perencanaan kawasan tepi sungai seharusnya di alokasikan untuk kawasan lindung. Fungis lindung ini tentunya dapat diterjemahkan dalam bentuk hutan kota, taman kota dan fungsi lain yang tidak membebani kawasan tepian sungai dengan bangunan besar.
Jamsil Hangang Park-Korea Selatan
Belum terlambat bagi kota-kota lain di Indonesia, khususnya di luar Jakarta untuk membenahi perencanaannya. Sehingga satu waktu tidak menjadi kota yang tidak terencana dengan baik dan penuh dengan permasalahan dalam perencanaan ruang.
Environmental democracy is rooted in the idea that meaningful participation by the public is critical to ensuring that land and natural resource decisions adequately and equitably address citizens’ interests. Rather than setting a standard for what determines a good outcome, environmental democracy sets a standard for how decisions should be made.
At its core, environmental democracy involves three mutually reinforcing rights that, while independently important, operate best in combination: the ability for people to freely access information on environmental quality and problems, to participate meaningfully in decision-making, and to seek enforcement of environmental laws or compensation for damages.
Kebetulan saya baru saja melakukan desk research untuk mendata jumlah kampung di beberapa kabupaten di Kalimantan dan menemukan beberapa data yang berbeda sesuai dengan siapa yang merilisnya, data BPS dan data Pemda berbeda menyebutkan jumlah kampung dan kelurahan yang ada di kabupaten.
Pastinya ketika membaca artike Environmental Democracy saya justru lebih khawatir lagi mengenai akurasi dan ketersediaan data-data terkait dengan lingkungan hidup. Meskipun pemerintah dengan UU Keterbukaan Informasi Publik no. … telah bertekad untuk memberikan informasi publik secara luas, tetapi tentu saja masih terdapat permasalahan lain terkait dengan akurasi dan update data tersedia.
Salah satu data yang masih sulit di-share adalah data spatial, keengganan beberapa ‘oknum’ lembaga dan personal pemerintahan untuk melakukan sharing data informasi publik terkait spatial sebenarnya punya dampak buruk untuk daerah yang terasa langsung atau dirasakan kemudian hari. Yang terasa langsung adalah masyarakat kekurangan informasi dan kemudian berdampak pada pembodohan baik sengaja atau tidak sengaja. Dampak yang tidak langsung misalnya buruknya perencanaan pembangunan dan tentunya buruknya kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dalam jangka waktu lebih panjang lagi akan terkait dengan kemiskinan dan bencana alam. Keterbatasan informasi spatial dikaitkan dengan kebijakan tata ruang yang mengharuskan bangunan di luar areal 50 m kanan kiri sungai lebar maksimal 30 m dan 100 meter untuk sungai diatas 30 m. Akan berdampak kedepannya dengan bencana, dimana terjadi banyak korban banjir yang memakan korban. Ini dimulai dengan ketertutupan informasi spatial mengenai kawasan DAS dan sungai serta tata ruang (pola ruang) serta kebijakan pendukungnya.
Dalam tulisannya di https://www.devex.com/news/3-opportunities-to-expand-environmental-democracy-85147 tersebut, disebutkan bahwa ada kaitan antara Environmental Democracy, Pengentasan Kemiskinan dan Dampak Lingkungan (environment output). Jangan lupa bahwa negara-negara dengan nilai indeks pembangunan manusia tinggi serta memiliki kualitas lingkungan yang baik adalah negara dengan tingkat keterbukaan data yang transparan, demikian pula dengan keterbukaan atas informasi spatial.
Kebijakan OneMap jika dilihat tentunya akan menjadi langkah awal bagi Environment Democracy, dimana OneMap akan menyediakan data spatial untuk publik yang akurat dan update serta dapat digunakan oleh banyak pihak untuk kegiatan perencanaan pembangunan.
Seharusnya mulai dipikirkan bagaimana mengharuskan implementasi Environmental Democracy sebagai salah satu ktriteria dalam menilai kemajuan suatu wilayah. Karena dengan menerapkan prinsip ini maka penilaian pembangunan tidak hanya terbatas pada perhitungan-perhitungan ekonomi sesaat, tetapi pada penilaian lingkungan yang melibatkan masyarakat. Semuanya diawali dengan keterbukaan informasi dan penekanan yang penting untuk saya adalah keterbukaan informasi spatial.