Wajib Menjaga Hutan di Kawasan APL


Salah satu zonasi wilayah yang paling rentan untuk dikonversi adalah kawasan hutan yang terdapat di zonasi tata ruang APL. APL atau area penggunaan lain merupakan zonasi tata ruang nasional dimana kawasan inilah lokasi pembangunan dan kegiatan non kehutanan dapat dilakukan. Zonasi APL merupakan wilayah yang dapat digunakan untuk konsesi perkebunan sawit, meskipun sempat diberikan di HPK (hutan produksi konversi) sebenarnya regulasi kawasan untuk pertanian dan perkebunan diberikan dizonasi APL sejak dulu.

Terdapat 69,3 juta hektar APL dimana ditahun 2021 luas yang masih berhutan adalah 7,48 jta hektar atau hanya 4 persen dari luas darata Indonesia (Laporan Kinerja Dirjen IPSDH). Di Kalimantan sendiri sisa tutupan hutan sekitar 2,2 juta hektar di APL sementara luas tutupan sawit sudah hampir mencapai 6 juta hektar.

Pertanyaan menarik nya adalah Apakah semua APL yang tersisa akan dikonversi menjadi wilayah terbangun dengan dominasi sawit atau memang perlu disisakan demi aspek lingkungan hidup?

Secara spatial kawasan APL berada pada wilayah daratan rendah dimana secara ekologi harus ada keterwakilan wilayah dataran rendah yang perlu dijaga untuk kepentingan lingkungan hidup, ini mencakup jasa lingkungan penyediaan air, jasa lingkungan pencegah bencana maupun aspek konservasi dimana terdapat spesies penting yang masuk kategori dilindungi.

Sebaran APL dengan tutupan hutan di Kalimantan (tutupan lahan tahun 2020)

APL dan tutupan hutan di Kalbar (tutupan lahan 2020)

Pada peta d iatas tersisa tutupan hutan sekala kecil di APL yang terpecah dalam bentuk sebaran hutan yang jika dilihat dalam peta. Jika dilihat dalam skala lebih besar akan terlihat bagaimana dominasi kebun sawit pada wilatah ini.

Kawasan Lindung Lokal

Dalam UU Tata Ruang terdapat kewajiban menyisakan kawasan yang tidak dibangun di APL yaitu kawasan lindung setempat atau kawasan lindung lokal. Kawasan lindung lokal misalnya diatur pada kawasan sepadan sungai, sepadan pantai, sepadan danau serta kawasan ruang terbuka hijau.

Perencanaan pembangunan semestinya dapat mengalokasikan kawasan lindung lokal dalam RTRW dalam proyeksi waktu RTRW selama 20 tahun. Ini tampaknya lolos dari perencanaan ruang dimana ketika kawasan terbangun ditetapkan menjadi kota, kawasan bertutupan hutan pada sepadan sungai, sepadan pantai dan danau telah berubah tutupannya menjadi kawasan terbuka dan kawasan terbangun.

Menjaga kawasan berhutan di APL merupakan salah satu kewajiban dalam tata ruang untuk menyisakan kawasan lindung setempat. Strategi ini perlu dibangun dengan memastikan tidak semua APL perlu dikonversi menjadi kawasan terbangun.

Mendorong Adanya Peta HCV/ANKT Indikatif Provinsi

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong dibangunnya peta Indikatif Areal dengan Nilai Konservasi Tinggi (ANKT) atau High Conservation Value (HCV) di alokasi ruang APL pada tingkat provinsi dan kabupaten sejak awal. Ini akan menjadi sebuah strategi untuk menyelamatkan sisa kawasan berhutan dari konversi ke penggunaan lain.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menyusun kajian ANKT / HCV pada tingkat landscape
  2. Menyusun prioritas kawasan dengan menggunakan skenario mitigasi (avoid. minimize dan restore) dimana kawasan avoid merupakan kawasan yang tidak akan dikonversi lebih lanjut.

Ada banyak keuntungan dimasa depan jika kawasan berhutan di APL tidak seluruhnya di konversi, misalnya terkait dengan jasa lingkungan air, faktor kebencanaan dan tentunya akan menimalkan biaya restorasi kawasan hutan, gambut dan mangrove di masa depan.

kajian landscape HCV Kalimantan Timur
Avoid area sebagai wilayah yang harus dipertahankan untuk tidak dikonversi.

Natural Capital vs Disaster Risk dalam Konteks Kajian Geohidrologi dan Bencana.


Natural capital adalah kumpulan aset alam baik geologi, tanah, air dan udara dan semua makhluk hidup diatasnya. Natural capital can be defined as the world’s stocks of natural assets which include geology, soil, air, water and all living things. It is from this natural capital that humans derive a wide range of services, often called ecosystem services, which make human life possible.

Boleh dikatakan saat ini aset alam sudah banyak diabaikan dalam pembangunan ekonomi, buktinya rambu-rambu yang membatasi kerusakan aset alam ini sudah mulai ditabrak saat dilakukan pembangunan. Ambil contoh mudah seperti pembangunan dilakukan di kelerengan tinggi (lebih dari 40%), pembangunan di bantaran sungai, penggundulan hutan dan konversi lahan gambut.

Nilai dari alam atau jasa lingkungan sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi/finansial. Bayangkan jika kita tidak memiliki air atau udara bersih, maka semua nilai ekonomi/finansial yang dibangun bisa tidak berarti. Tetapi mengukur nilai finansial alami dapat menjadi pembelajaran untuk memahami dan lebih menghargai alam.

Kejadian longsor di Sumedang baru-baru ini misalnya memakan 40 korban jiwa dan kita bisa bandingkan nilai kerugian korban dengan nilai ekonomi saat lahan yang tidak layak dibangun, dijadikan pemukiman. Demikian pula dengan banjir dan longsor ditempat-tempat lain seperti di Jakarta, Manado, Banjarmasin, Samarinda, dll. Demikian juga dengan kejadian banjir tahunan di Jakarta, diperkirakan banjir ditahun 2020 saja menyebabkan kerugian sampai 10 triliun jika dihitung mundur ketahun-tahun sebelumnya, jumlahnya akan sangat besar. Kerugian banjir Samarinda selama 20 tahun diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Pertanyaan menarik adalah bagaimana kalau kerugian bencana digunakan untuk memperbaiki natural capital, misalnya digunakan untuk perbaikan kawasan sepadan sungai seperti relokasi pemukiman atau penghijauan kembali kawasan sepadan sungai, perbaikan penataan ruang seperti perbaikan perizinan atau penegakan hukum tata ruang. Dari mana dana untuk semua kegiatan itu? Ini dapat dilakukan baik dengan mengalokasikan pendanaan diawal sebagai bentuk mitigasi atau menggunakan pendanaan offset/pengganti pada kegiatan-kegiatan yang menggunakan sumberdaya air misalnya.

Secara mudah kesimpulan yang dapat diambil adalah DIBANDINGKAN MENERIMA DAMPAK KERUGIAN TRILIUNAN RUPIAH DALAM JANGKA PANJANG, LEBIH BAIK MELAKUKAN INVESTASI BERBASIS NATURAL CAPITAL DISAAT SEKARANG. Dalam jangka panjang investasi dengan mempertimbangkan faktor konservasi akan lebih menguntungkan.

Avoid, Minize/Restore dan Offset

Salah satu kajian yang mencoba menggabungkan antara kepentingan konservasi dan pembangunan adalah kajian Development by Design. Kajian ini sudah dilakukan sejak 2009 dan diaplikasikan pada banyak sektor pembangunan mulai dari energi, pertambangan, perkebunan dan kajian lain.

Konsep hirarki mitigasi sebenarnya dapat disusun diawal ketika pembangunan dalam proses perencanaan, misalnya pada penyusunan RPJM atau Rencana Tata Ruang (RTRW). Pada proses perencanaan misalnya dampak sebenarnya dapat dikalkulasi, ambil contoh pada perencanaan tingkat tapak (site) pembangunan pabrik saja bisa dilakukan kajian dampak melalui kajian AMDAL. Demikian juga dengan tata ruang, jika satu wilayah dialokasikan menjadi pemukiman, maka dampak terkait hidrologi dimana kawasan ini menjadi kawasan yang tidak/sedikit menyerap air dapat dikalkulasikan dengan modelling hidrologi (misalnya dengan soil water assessment tool/SWAT atau INVEST). Jika kawasan APL dijadikan perkebunan di Kalimantan (baca: sawit), maka dampaknya dapat dikalkulasi, berdasarkan kajian hidrologi, maka kebun sawit akan lebih rentan mengalami erosi dan sedikit menyerap air dibandingkan hutan atau semak belukar karena sudah terbangun karena aliran permukaan lebih tinggi.

Dalam konsep hirarki mitigasi, awal kegiatan adalah menentukan area-area mana yang penting untuk dikonservasi, ambil contoh mudahnya seperti kawasan sepadan sungai, kawasan berhutan (terutama kawasan hutan alam yang memiliki kekayaan biodiversity) atau kawasan karst dan gambut. Kemudian menyusun potensi dampak. Kemudian menyusun hirarki mitigasi.

Contoh penerapan hirarki mitigasi dalam konteks pengelolaan lingkungan yang memperhatikan aspek konservasi geohidrologi:

  • Avoid:
    • Sepadan sungai: 100 m, 50 m, 10m atau 5 meter tergantung karakteristik sungai
    • Sepadan danau : 100 m atau 50 m
    • Lereng curam : lebih dari 40%
    • Kawasan hutan: berdasarkan regulasi tata ruang pre- UU Cipta Karya disebutkan 30% kawasan hutan disatu DAS harus dilindungi. Dengan UU Cipta Karya pemerintah perlu melakukan kajian detail per DAS dan menentukan kawasan ini (PR Besar sebagai implikasi UU Cipta Karya).
  • Minimize:
    • Membuat teras sering pada kegiatan yang harus dilakukan di lereng dibawah 40%
    • Melakukan penataan ruang yang menjaga kawasan resapan pada pemukiman
    • Perkebunan berbasis agroforestry pada kawasan yang dekat dengan hutan
  • Restore:
    • Penanaman kembali kawasan terdegradasi
    • Mengembalikan sepada sungai atau danau sebagai kawasan hijau
    • Mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional atau cagar alam yang dirambah.
    • Mengembalikan fungsi kawasan gambut
  • Offset
    • Menyusun skenario offset pada kegiatan berbasis sumberdaya air, misalnya perusahaan produsen air minum harus membantu pendanaan untuk kegiatan restorasi kawasan.
    • Perusahaan yang terlanjur menggunakan gambut (tipis) dapat diminta offset untuk konservasi kawasan gambut dalam lebih dari 3 m.
    • Perusahaan pertambangan batubara membiayai restorasi kawasan konsesi dan kawasan sekitarnya yang terbuka.

Pada intinya ini semua dapat dilakukan dengan DUKUNGAN KEBIJAKAN, kita tidak dapat lagi menyalahkan curah hujan yang tinggi, pasang naik atau topografi negara kita yang landai, berbukit dan bergunung. Sudah saatnya berpikir jangka panjang dan bukan hanya memikirkan keuntungan sesaat dan menerima dampak sepanjang waktu.

Nilai Kehilangan Hutan Mangrove


Hutan mangrove di seluruh dunia mencapai kawasan seluas 145.000 km2 merupakan salah satu ekosistem yang terancam kelestariannya, ada banyak ancaman atas keberadaan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas manusia.

Hutan mangrove memiliki nilai yang sangat penting, ekosistem mangrove merupakan ekosistem dengan spesies-spesies unik baik flora dan fauna. Nilai jasa ekosistem kawasan mangrove diperkirakan mencapai 9000 USD per hektar per tahun. Sementara studi lain menyebutkan nilai 32.000 USD per hektar per tahun hanya untuk jasa penghasil ikan/udang/kepiting.

Dari sisi perubahan iklim, ekosistem mangrove memiliki nilai carbon stock yang sangat tinggi diperkirakan nilainya antara rentang 200 megagrams per hectare sampai 2000 megagrams per hectare. Kalimantan sendiri memiliki nilai sektar 1200 megagrams perhektar. Nilai ekologi ini ditambah dengan kekayaan biodiversity endemik di Kalimantan seperti bekantan, dll.

Ancaman utama ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan tentu saja pembangunan infrastruktur lainnya. Kawasan mangrove umumnya merupakan kawasan pemukiman ini tidak terlepas dari nilai mangrove secara ekonomi yang menyediakan pangan dan kebutuhan lainnya.

Berikut beberapa peta perubahan hutan mangrove di Kalimantan dengan menggunakan peta tahun 2012 dan 2019. Dalam jangka waktu 7 tahun saja perubahan mangrove sudah sangat luar biasa..

Perubahan di Kalimantan Utara
Perubahan di Kalimantan Timur
Perubahan di Kalimantan Timur

Penyebab perubahan per lokasi pasti akan berbeda-beda, untuk Kalimantan penyebab utama antara lain perubahan menjadi tambak. Pada beberapa lokasi diperkirakan perubahan disebabkan oleh pembangunan pemukiman serta infrastruktur lain seperti pelabuhan, pertambangan.

Menilik Kebakaran Hutan di musim hujan dengan LAPAN Hotspot Data


Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa kebakaran lahan dan hutan karena akibat alami, maka menilik kejadian kebakaran di musim basah akan menjadi counter untuk melihat kejadian kebakaran dan kemungkinan penyebabnya. Asumsi-nya adalah kebakaran pada musim basah/musim hujan pemicu terbesarnya adalah akibat dibakar.

Kebakaran hutan dan lahan sebenarnya dapat dipantau melalui web milik LAPAN Hotspot Information. Ditampilkan dalam format WebGIS, web ini menampilkan hotspot terbaru diseluruh Indonesia.

Web ini dapat diakses melalui link: http://modis-catalog.lapan.go.id/monitoring/hotspot/index 

Yang menariknya adalah kita dapat melihat sebaran hotspot dengan background citra terbaru sehingga bisa melihat secara kasat kemungkinan akan menjadi apa ketika lahan terbakar. Dua screenshot yang saya ambil dengan jelas menggambarkan kemungkinan kebaran adalah untuk perluasan lahan kelapa sawit. Apalagi ini diambil pada musim hujan, dengan asumsi bahwa kejadian kebakaran lahan dan hutan secara alami kemungkinan tidak akan terjadi.

kebakaran_april2018-2 (2)
Kalimantan

kebakaran_april2018-1 (2)
Kalimantan

 

kebakaran_april2018-3
Sumatera

kebakaranhutan
Sumatera

Dari peta di atas sebaran hotspots pada wilayah-wilayah tepi perluasan perkebunan.

Silahkan cek kembali pada web diatas dan akan terlihat pola-pola yang jelas pada wilayah yang kemungkinan akan menjadi expasi perkebunan.

Sumber webGIS lain yang bisa diakses adalah GFW Fires:  http://fires.globalforestwatch.org/map/  Pada web ini bisa dilakukan kalkulasi dan analisis sederhana.

Tutupan Hutan dan Lahan Kalimantan Timur


Berbicara tentang kondisi wilayah saya sangat setuju dengan kutipan yang mengatakan ‘peta berbicara lebih banyak dari kata-kata”.

Berikut adalah hasil kalkulasi GIS tentang tutupan hutan di Kalimantan Timur yang dapat dilihat dalam peta dan tabel berikut:

Tabel_06_tutupan_lahan_Provinsi

Untuk sebaran spatial dapat dilihat dalam peta berikut:

ANALISIS LAND COVER HTI KALTIM_januari2018

Kalkulasi selanjutnya dilakukan untuk wilayah-wilayah konsesi serta wilayah kategori hutan produksi dan APL di Kalimantan Timur.

Tutupan Lahan di APL

ANALISIS LAND COVER_APL_PerkebunanANALISIS LAND COVER_Konsesi_Sawit

Detail laporan dapat diunduh dalam link berikut:

https://tnc.box.com/s/m3bb9pqp96p5psmmeezplzyar964fl9k

Bagaimana Tutupan Lahan di Taman Nasional?


Taman Nasional merupakan kawasan yang dilindungi dari kegiatan-kegiatan konversi dari kawasan alami seperti hutan menjadi kegiatan-kegiatan pembangunan. Penunjukkan kawasan Taman Nasional bukan berarti menjadikan kawasan tersebut aman dan bebas dari kegiatan konversi lahan.

Berikut adalah gambaran Taman Nasional Kutai. Bagian berwarna ungu adalah kawasan taman nasional berdasarkan SK KLHK no 278 tentang fungsi kawasan hutan.

TN_Kutai

Tetapi kawasan seperti Taman Nasional Kutai merupakan kawasan dengan tutupan hutan yang sudah berubah.

Saya mencoba melakukan overlay antara kawasan Taman Nasional dengan Peta Tutupan Lahan 2016 yang dari KLHK. Tanpa melakukan kalkulasi kita bisa melihat bagaimana kawasan Taman Nasional sudah berubah menjadi penggunaan lain.

TN_Kuta_landcoveri

Dari peta di atas terlihat semak belukar rawa menyebar di beberapa bagian mulai dari bagian timur. Semak/belukar menyebar di hampir semua bagian mulai dari timur, barat, utara dan selatan dengan tutupan yang cukup luas. Juga terdapat 2 blok lahan terbuka sudah terlihat di bagian selatan yang berbatasan dengan tutupan lahan tambang dan tutupan lahan HTI. Juga terdapat bagian Taman Nasional dengan tutupan lahan hutan tanaman industri.

 

Fakta Perkebunan Kalimantan Timur


Berikut adalah fakta bidang perkebunan di Kalimantan Timur yang dikutip dari data Dinas Perkebunan.

  • Peruntukan Lahan Perkebunan dalam RTRW 2016-2036: 3.269.561 hektar
    • Lahan yang telah dibebani ijin perkebunan (Ijin Lokasi): 2.969.152 hektar
    • Jumlah ijin: 373 ijin (konsesi)
  • IUP Perkebunan: 2.391.471 hektar
    • Jumlah ijin: 323
  • HGU: 1.123.907 hektar
    • Jumlah ijin: 178 ijin (konsesi)
  • IUP yang belum HGU:  1.267.564 hektar
    • Jumlah ijin: 145
  • Ijin lokasi yang belum ada progres: 243.541 hektar
    • Jumlah ijin: 50
  • Lahan peruntukan lahan yang belum dibebani ijin: 911.201 hektar
  • Lahan yang belum dibebani ijin dikurangi luas kebun non sawit: 204,783 hekta

 

Berikut realisasi-nya:

  • Luas komoditas perkebunan: 1.312.977 hektar
  • Luas tanam sawit: 1.150.078 hektar
  • Luas tanam kebun inti: 842.856 hektar
  • Luas tanam kebun rakyat/plasma: 307.222 hektar
  • Luas tanam non sawit: 162.899 hektar
  • Prosentase luas plasma: 21.72 %
  • Produksi:
    • CPO 2.511.984 ton
    • Tandan Buah Segar (TBS): 11.418.110
  • Jumlah pabrik minyak sawit: 75 mills
    • Kapasitas terpasang: 4.170 ton
    • Kapasitas terpakai: 3.775 ton

(sumber: Dinas Perkebunan, 2017)

Ada fakta dan pertanyaaan menarik:

  1. Apa yang menyebabkan perbedaan besar antara ijin lokasi dengan HGU, atau perbedaan besar jumlah luas ijin dengan realisasi tanam?
  2. Untuk apa ijin diberikan, jika realisasi tanam sangat rendah (kurang dari 50%) dari luas total ijin?
  3. Dengan membagi produksi luas tanam dan produktifitas TBS maka didapatkan hasil produksi/ha: 9,9 ton/ha. Ini adalah angka luas biasa karena Kementan menyampaikan produktifitas di Indonesia rata-rata 3 ton/ha. Ataukah ada luasan sawit diluar data tersebut seperti luasan kebun sawit mandiri (small holder) yang belum dihitung oleh Dinas Perkebunan?

IMG_7809
Kebun sawit di Kaltim 

 

Newest East Kal Forest Status: More APL and HPK for oil palm


Anyone need spatial data on forest status in East Kalimantan, please follow this link and you could download shapefile format of the data.

https://drive.google.com/open?id=0B5TgHjfSZOMXX0dTUHBiWTBIVkk 

As you can see from table and chart below, some additional areas designated for APL (read: oil palm).

SK278_1

Additional area were in Berau as you could see from table below:

SK278
Difference between previous forest status with this new one

Regulation in decree format could download with this link: https://drive.google.com/open?id=0B5TgHjfSZOMXbHpsX0cxTUh2QVU

Palm Oil in Indonesia: when expansion will stops?


Palm oil industry in Indonesia increased with significant number both related to areas that released for concessions and other follow up fact related to production and income generated from this sector. Since 2006 Indonesia became number one CPO exporter, more than Malaysia.Indonesia and Malaysia covered 83% oil palm production worldwide.

 

Increased oil palm in Indonesia driven by expansion from big private concessions and also policy in plantation in Indonesia mostly to increase areas not production. Areas increment mostly used as indicator for development of oil palm in Indonesia, some provinces targeted million of hectares oil palm concessions as program in plantation sector.

Based on data from Ministry of agrarian  that oil palm concessions areas  in Indonesia in 2015 about 11.4 million hectares, with half of them owned by profit companies.

Distribution of  oil palm concession in Indonesia shown below:

oil-palm-maps-landcover

kebun indonesia

Oil palm sector is most dominated plantation sector in Indonesia, based on data from Ministry of Agriculture 2015 that oil palm covered 11.3 million hectares compared to others that only 3.6 million hectares  from rubber.

tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.jpgEast Kalimantan also increased related to oil palm concession, based on data 2014 from Dinas Perkebunan/East Kalimantan Agriculture Office that in 2014 about 1.02 million hectares.

kebun kaltim
Enter a caption

East Kalimantan targeted 1.6 million hectare oil palm plantation established in 2016 and about 1.8 million hectare for 2020. Compared to program from same office to maintain 650 hectares farming.

In East Kalimantan based on spatial planning there are total 3.3 million hectares allocated for plantation with majority allocated for oil palm. Meanwhile total permits in East Kalimantan about 2,8 million hectares in 2014 and based on newdata no more land available for oil palm.

Suitability Analysis; lack of implementation of spatial information

Several initiatives for sustainable palm oil start with recommendation for better sitting for oil palm.

WRI Potico project published suitability analysis for oil palm based on environment, economic, legal and social aspect. This project came with recommendation for suitable areas for oil palm in Indonesia.

WRI suitability maps_GFW
GFW Commodities; suitability analysis for oil palm

GFW commodities above provided analysis spatially with layers; conservation areas buffer, peat depth, water resource buffer, slope, elevation, rainfall, soil drainage, soil depth, soil acidity (pH).

For transmigration program in Indonesia in 1980’s a series of map produced within Reppprot Project with suitability analysis for several agriculture type including oil palm. Suitability from this only based on physical aspects and not other and need to combined with spatial planning regulation.

Oil Palm, Deforestation and GHG emissions

Several research such as Margono et all (2014) mentioned about deforestation in Indonesia that annually increased both for primary intact and degraded forest both in Forest Designation Areas or non Forest Designation Areas. Based on designated status that production forest on the top of list related to conversion.  Based on 2000-2012 Hansen data that total primary forest loss totalled 0.84 million hectares, and annually primary forest loss about 47,600 ha.Primary forest loss in production forest that about 27,000 ha.

Areas designated for oil palm concession in Indonesia still overlapped with current forest cover as shown below:

oil-palm-maps-landcover-2
Overlay oil palm concessions and forested areas in Indonesia

Other research showing that primary forest and peat land land clearing probably not by small holders but by agro-industrial land developer. Larger development in  peat land are often accompanied by draining wetland and impacted on carbon emission beyond footprint of actual development.

kalbar
One of example of oil palm concession in Wes Kalimantan, clearly that converted primary forest into palm oil.

Analysis that conducted in Berau, East Kalimantan showing that oil palm and deforestation very much related. Oil palm contribute 28% green house gas emissions (Griscom, et al 2015).

berau
Oil palm plantation in Berau, East Kalimantan, exactly located along Segah river with land cover primary to secondary forest.

 

Further Suitability Analysis: Legal Aspects and Voluntary Scheme

Two steps proposed for sustainable oil palm concession sitting, first by following legal aspects and second with following voluntary requirement.

Legal aspect analyze based on spatial planning regulation that allow oil palm expansion in APL (non forest use). Based on ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) regulation that oil palm could located in APL and production forest for conversion zone  (HPK). Detail spatial planning mentioned about preserve riparian, water source, tidal buffer areas.

Voluntary scheme ( ie. RSPO) required high conservation value (HCV) conducted before open oil palm plantation. Detail about HCV could accessed through HCV Resource Network. HCV covered environment, social and cultural aspects through six principle conducted through FPIC.

 

Perda Tata Ruang Kalimantan Timur


Peraturan Daerah (PERDA) adalah dokumen publik yang bisa diberikan ke Publik.

Karena itu saya akan share PERDA RTRW Provinsi Kalimantan Timur. Link berikut adalah untuk mendownload pdf file PERDA no 1 TAHUN 2016: Perda No 1 Th 2016 RTRWP Kaltim – Lampiran

 

Semoga berguna