Wajib Menjaga Hutan di Kawasan APL


Salah satu zonasi wilayah yang paling rentan untuk dikonversi adalah kawasan hutan yang terdapat di zonasi tata ruang APL. APL atau area penggunaan lain merupakan zonasi tata ruang nasional dimana kawasan inilah lokasi pembangunan dan kegiatan non kehutanan dapat dilakukan. Zonasi APL merupakan wilayah yang dapat digunakan untuk konsesi perkebunan sawit, meskipun sempat diberikan di HPK (hutan produksi konversi) sebenarnya regulasi kawasan untuk pertanian dan perkebunan diberikan dizonasi APL sejak dulu.

Terdapat 69,3 juta hektar APL dimana ditahun 2021 luas yang masih berhutan adalah 7,48 jta hektar atau hanya 4 persen dari luas darata Indonesia (Laporan Kinerja Dirjen IPSDH). Di Kalimantan sendiri sisa tutupan hutan sekitar 2,2 juta hektar di APL sementara luas tutupan sawit sudah hampir mencapai 6 juta hektar.

Pertanyaan menarik nya adalah Apakah semua APL yang tersisa akan dikonversi menjadi wilayah terbangun dengan dominasi sawit atau memang perlu disisakan demi aspek lingkungan hidup?

Secara spatial kawasan APL berada pada wilayah daratan rendah dimana secara ekologi harus ada keterwakilan wilayah dataran rendah yang perlu dijaga untuk kepentingan lingkungan hidup, ini mencakup jasa lingkungan penyediaan air, jasa lingkungan pencegah bencana maupun aspek konservasi dimana terdapat spesies penting yang masuk kategori dilindungi.

Sebaran APL dengan tutupan hutan di Kalimantan (tutupan lahan tahun 2020)

APL dan tutupan hutan di Kalbar (tutupan lahan 2020)

Pada peta d iatas tersisa tutupan hutan sekala kecil di APL yang terpecah dalam bentuk sebaran hutan yang jika dilihat dalam peta. Jika dilihat dalam skala lebih besar akan terlihat bagaimana dominasi kebun sawit pada wilatah ini.

Kawasan Lindung Lokal

Dalam UU Tata Ruang terdapat kewajiban menyisakan kawasan yang tidak dibangun di APL yaitu kawasan lindung setempat atau kawasan lindung lokal. Kawasan lindung lokal misalnya diatur pada kawasan sepadan sungai, sepadan pantai, sepadan danau serta kawasan ruang terbuka hijau.

Perencanaan pembangunan semestinya dapat mengalokasikan kawasan lindung lokal dalam RTRW dalam proyeksi waktu RTRW selama 20 tahun. Ini tampaknya lolos dari perencanaan ruang dimana ketika kawasan terbangun ditetapkan menjadi kota, kawasan bertutupan hutan pada sepadan sungai, sepadan pantai dan danau telah berubah tutupannya menjadi kawasan terbuka dan kawasan terbangun.

Menjaga kawasan berhutan di APL merupakan salah satu kewajiban dalam tata ruang untuk menyisakan kawasan lindung setempat. Strategi ini perlu dibangun dengan memastikan tidak semua APL perlu dikonversi menjadi kawasan terbangun.

Mendorong Adanya Peta HCV/ANKT Indikatif Provinsi

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong dibangunnya peta Indikatif Areal dengan Nilai Konservasi Tinggi (ANKT) atau High Conservation Value (HCV) di alokasi ruang APL pada tingkat provinsi dan kabupaten sejak awal. Ini akan menjadi sebuah strategi untuk menyelamatkan sisa kawasan berhutan dari konversi ke penggunaan lain.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menyusun kajian ANKT / HCV pada tingkat landscape
  2. Menyusun prioritas kawasan dengan menggunakan skenario mitigasi (avoid. minimize dan restore) dimana kawasan avoid merupakan kawasan yang tidak akan dikonversi lebih lanjut.

Ada banyak keuntungan dimasa depan jika kawasan berhutan di APL tidak seluruhnya di konversi, misalnya terkait dengan jasa lingkungan air, faktor kebencanaan dan tentunya akan menimalkan biaya restorasi kawasan hutan, gambut dan mangrove di masa depan.

kajian landscape HCV Kalimantan Timur
Avoid area sebagai wilayah yang harus dipertahankan untuk tidak dikonversi.

Natural Capital vs Disaster Risk dalam Konteks Kajian Geohidrologi dan Bencana.


Natural capital adalah kumpulan aset alam baik geologi, tanah, air dan udara dan semua makhluk hidup diatasnya. Natural capital can be defined as the world’s stocks of natural assets which include geology, soil, air, water and all living things. It is from this natural capital that humans derive a wide range of services, often called ecosystem services, which make human life possible.

Boleh dikatakan saat ini aset alam sudah banyak diabaikan dalam pembangunan ekonomi, buktinya rambu-rambu yang membatasi kerusakan aset alam ini sudah mulai ditabrak saat dilakukan pembangunan. Ambil contoh mudah seperti pembangunan dilakukan di kelerengan tinggi (lebih dari 40%), pembangunan di bantaran sungai, penggundulan hutan dan konversi lahan gambut.

Nilai dari alam atau jasa lingkungan sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi/finansial. Bayangkan jika kita tidak memiliki air atau udara bersih, maka semua nilai ekonomi/finansial yang dibangun bisa tidak berarti. Tetapi mengukur nilai finansial alami dapat menjadi pembelajaran untuk memahami dan lebih menghargai alam.

Kejadian longsor di Sumedang baru-baru ini misalnya memakan 40 korban jiwa dan kita bisa bandingkan nilai kerugian korban dengan nilai ekonomi saat lahan yang tidak layak dibangun, dijadikan pemukiman. Demikian pula dengan banjir dan longsor ditempat-tempat lain seperti di Jakarta, Manado, Banjarmasin, Samarinda, dll. Demikian juga dengan kejadian banjir tahunan di Jakarta, diperkirakan banjir ditahun 2020 saja menyebabkan kerugian sampai 10 triliun jika dihitung mundur ketahun-tahun sebelumnya, jumlahnya akan sangat besar. Kerugian banjir Samarinda selama 20 tahun diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Pertanyaan menarik adalah bagaimana kalau kerugian bencana digunakan untuk memperbaiki natural capital, misalnya digunakan untuk perbaikan kawasan sepadan sungai seperti relokasi pemukiman atau penghijauan kembali kawasan sepadan sungai, perbaikan penataan ruang seperti perbaikan perizinan atau penegakan hukum tata ruang. Dari mana dana untuk semua kegiatan itu? Ini dapat dilakukan baik dengan mengalokasikan pendanaan diawal sebagai bentuk mitigasi atau menggunakan pendanaan offset/pengganti pada kegiatan-kegiatan yang menggunakan sumberdaya air misalnya.

Secara mudah kesimpulan yang dapat diambil adalah DIBANDINGKAN MENERIMA DAMPAK KERUGIAN TRILIUNAN RUPIAH DALAM JANGKA PANJANG, LEBIH BAIK MELAKUKAN INVESTASI BERBASIS NATURAL CAPITAL DISAAT SEKARANG. Dalam jangka panjang investasi dengan mempertimbangkan faktor konservasi akan lebih menguntungkan.

Avoid, Minize/Restore dan Offset

Salah satu kajian yang mencoba menggabungkan antara kepentingan konservasi dan pembangunan adalah kajian Development by Design. Kajian ini sudah dilakukan sejak 2009 dan diaplikasikan pada banyak sektor pembangunan mulai dari energi, pertambangan, perkebunan dan kajian lain.

Konsep hirarki mitigasi sebenarnya dapat disusun diawal ketika pembangunan dalam proses perencanaan, misalnya pada penyusunan RPJM atau Rencana Tata Ruang (RTRW). Pada proses perencanaan misalnya dampak sebenarnya dapat dikalkulasi, ambil contoh pada perencanaan tingkat tapak (site) pembangunan pabrik saja bisa dilakukan kajian dampak melalui kajian AMDAL. Demikian juga dengan tata ruang, jika satu wilayah dialokasikan menjadi pemukiman, maka dampak terkait hidrologi dimana kawasan ini menjadi kawasan yang tidak/sedikit menyerap air dapat dikalkulasikan dengan modelling hidrologi (misalnya dengan soil water assessment tool/SWAT atau INVEST). Jika kawasan APL dijadikan perkebunan di Kalimantan (baca: sawit), maka dampaknya dapat dikalkulasi, berdasarkan kajian hidrologi, maka kebun sawit akan lebih rentan mengalami erosi dan sedikit menyerap air dibandingkan hutan atau semak belukar karena sudah terbangun karena aliran permukaan lebih tinggi.

Dalam konsep hirarki mitigasi, awal kegiatan adalah menentukan area-area mana yang penting untuk dikonservasi, ambil contoh mudahnya seperti kawasan sepadan sungai, kawasan berhutan (terutama kawasan hutan alam yang memiliki kekayaan biodiversity) atau kawasan karst dan gambut. Kemudian menyusun potensi dampak. Kemudian menyusun hirarki mitigasi.

Contoh penerapan hirarki mitigasi dalam konteks pengelolaan lingkungan yang memperhatikan aspek konservasi geohidrologi:

  • Avoid:
    • Sepadan sungai: 100 m, 50 m, 10m atau 5 meter tergantung karakteristik sungai
    • Sepadan danau : 100 m atau 50 m
    • Lereng curam : lebih dari 40%
    • Kawasan hutan: berdasarkan regulasi tata ruang pre- UU Cipta Karya disebutkan 30% kawasan hutan disatu DAS harus dilindungi. Dengan UU Cipta Karya pemerintah perlu melakukan kajian detail per DAS dan menentukan kawasan ini (PR Besar sebagai implikasi UU Cipta Karya).
  • Minimize:
    • Membuat teras sering pada kegiatan yang harus dilakukan di lereng dibawah 40%
    • Melakukan penataan ruang yang menjaga kawasan resapan pada pemukiman
    • Perkebunan berbasis agroforestry pada kawasan yang dekat dengan hutan
  • Restore:
    • Penanaman kembali kawasan terdegradasi
    • Mengembalikan sepada sungai atau danau sebagai kawasan hijau
    • Mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional atau cagar alam yang dirambah.
    • Mengembalikan fungsi kawasan gambut
  • Offset
    • Menyusun skenario offset pada kegiatan berbasis sumberdaya air, misalnya perusahaan produsen air minum harus membantu pendanaan untuk kegiatan restorasi kawasan.
    • Perusahaan yang terlanjur menggunakan gambut (tipis) dapat diminta offset untuk konservasi kawasan gambut dalam lebih dari 3 m.
    • Perusahaan pertambangan batubara membiayai restorasi kawasan konsesi dan kawasan sekitarnya yang terbuka.

Pada intinya ini semua dapat dilakukan dengan DUKUNGAN KEBIJAKAN, kita tidak dapat lagi menyalahkan curah hujan yang tinggi, pasang naik atau topografi negara kita yang landai, berbukit dan bergunung. Sudah saatnya berpikir jangka panjang dan bukan hanya memikirkan keuntungan sesaat dan menerima dampak sepanjang waktu.

Peta: Kota Banjarmasin


Banjarmasin sendiri merupakan kota provinsi yang terletak di tepi sungai Barito dan terbelah oleh sungai Martapura. Banjarmasin mengalami banjir yang sangat parah diawal tahun 2021 ini, kejadian banjir ini memutus jalan lintas Kalimantan dan memakan banyak korban. BNPB Kalsel merilis bahwa banjir disebabkan oleh curah hujan tinggi mulai 9 Januari dan juga kiriman air dari hulu sungai.

Berikut peta-peta yang mengambarkan kondisi Kota Banjarmasin dan wilayah sekitarnya.

Kota Banjarmasin merupakan ibukota yang dikelilingi oleh status lahan APL

Status lahan APL ini merupakan kawasan pemukiman, pertanian dan perkebunan serta sebagian merupakan kawasan semak belukar dan belukar rawa. Detail dapat dilihat di peta land cover berikut.

Tutupan lahan

Berdasarkan peta tutupan lahan ini memang sudah tidak terdapat hutan di sepanjang aliran sungai Barito dan sungai Martapura dibagian hilir dan pertengahan. Kawasan didominasi oleh pertanian dan perkebunan yang 90 % adalah tanaman sawit, sisa kawasan hutan ada sebagian dihulu sungai.

Tampilan citra satelit (ESRI)

Apa saja izin HGU yang ada di kawasan hulu sungai Barito dapat dilihat dalam peta online BPN:

sumber data: https://bhumi.atrbpn.go.id/

Hulu sungai terdapat banyak perkebunan sawit, paling tidak ada 5 blok perkebunan besar dan terdapat blok yang ukurannya lebih besar dari kota Baanjarmasin.

Tampilan zoom bisa dilihat dengan menggunakan google map:

sumber: google map