Kajian Banjir Mei 2021 di Kabupaten Berau


Latar Belakang

Kejadian banjir pada tanggal 15 Mei di Kawasan DAS Kelay merupakan kejadian banjir paling parah sejak 20 tahun terakhir. Dampak banjir tersebar di bagian hilir dan hulu sungai Kelay dan hulu Segah. Terdapat enam desa dengan kondisi terparah yaitu, Desa Tumbit Dayak, Tumbit Melayu, Inaran, Pegat Bukur, Desa Bena Baru dan Desa Long Lanuk. Sementara untuk delapan desa lainnya berada di hulu sungai. Empat desa berada di hulu Sungai Kelay meliputi Desa Long Beliu, Lesan Dayak, Muara Lesan, dan Merasa. Sedangkan empat desa lainnya di hulu Sungai Segah yakni, Desa Punan Segah, Long Lai, Long Ayap dan Long Ayan. Sebanyak 14 desa itu berada di empat kecamatan yakni Kecamatan Segah 4 desa, Kecamatan Kelay 4 desa, Kecamatan Teluk Bayur 1 desa, dan Kecamatan Sambaliung 5 desa.


Kawasan paling parah ada di 4 kampung yaitu Kampung Tumbit Melayu, Tumbit Dayak, Bena Baru dan Inaran. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau, sebanyak 2.507 KK yang terdampak dari banjir yang terjadi bersamaan dengan momen Hari Raya Idul Fitri 1442 H.

Ketinggian banjir bisa mencapai 2 meter, seperti di Kampung Tumbit Melayu dan sekitar 1 meter di Kampung Benu Baru. Belum ada kajian lebih lanjut mengenai kerugian banjir, tetapi data awal menunjukkan ratusan hektar lahan pertanian dan perumahan tergenang air.

Figure 1: Lokasi Kampung Bena Baru dan Tumbit Muara

Pada potongan citra Google terlihat lokasi kampung sangat dekat dengan tambang batubara, resiko banjir juga akan lebih besar pada kawasan yang dekat dengan tambang.


Berbagai alasan terjadinya banjir di Berau mulai dari curah hujan tinggi sejak 12 Mei dan juga adanya tanggul tambang batubara yang runtuh. Kawasan yang terkena banjir merupakan desa-desa dengan dominasi dengan tutupan lahan terbuka yang sebagian besar merupakan wilayah operasional tambang batubara. Banjir merendam ratusan rumah di Kampung Bena Baru, Sambaliung, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Banjir diperparah diduga akibat jebolnya tanggul tambang batubara PT RUB, hingga ketinggian banjir lebih dari 1 meter.

Untuk mengetahui apakah kejadian ini hanya karena kondisi alam yaitu curah hujan dibagian hulu yang tinggi atau factor lainnya, dapat dilihat dengan menjabarkan kondisi wilayah yang terdampak banjir.

Kondisi Kawasan

Iklim dan Cuaca Kabupaten Berau
Beberapa informasi dasar kondisi klimatologi kabupaten Berau dapat dilihat pada peta dari berbagai sumber data.

Figure 2: Peta Curah Hujan- sumber Dokumen RTRW Berau

Berdasarkan data diatas wilayah Kelay merupakan Kawasan dengan rejim curah hujan yang rendah pada nilai curah hujan tahunan dibawah 2500 mm/tahun. Sementara Kawasan DAS Segah memiliki curah hujan lebih tinggi dengan curah hujan tahunan dapat mencapai 3000 mm/tahun.


Data iklim dan curah hujan sangat terbatas untuk wilayah Berau, berikut adalah data iklim yang dapat ditampilkan untuk kabupaten Berau dengan menggunakan data global World Climate Regime.

Figure 3: Peta kondisi klimatologi Kabupaten Berau.

Berdasarkan peta diatas maka sepanjang wilayah Kelay besar masuk pada kawasan yang sedang dalam kaitan dengan kemungkinan mengalami kekeringan. Sedangkan Kawasan sub DAS Segah memiliki iklim yang lebih basah.

Citra satelit
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dapat dilihat dengan menggunakan citra satelit, berikut adalah citra satelit Kawasan Kelay dan Sebagian Segah yang ditampilkan dengan 2 citra false color dan true color. Pada citra false color Kawasan yang masih memiliki vegetasi adalah Kawasan yang berwarna merah dan Kawasan yang terbuka ditampilkan dalam warna biru muda.

Figure 4: Citra false color Sentinel 2, tahun 2020
Figure 5: Citra satelit true color, Sentinel 2 tahun 2020

Kedua citra di atas merupakan citra mozaik tahun 2020 yang diambil dengan seleksi pada citra dengan tutupan awan paling sedikit dan memiliki kenampakan yang jelas.
Berdasarkan kenampakan citra satelit pada Kawasan terdampak banjir di Sub DAS Kelay di dominasi oleh Kawasan terbuka yaitu Kawasan tambang batubara. Kawasan terbuka pada peta di atas tampak berwarna putih baik berupa tambang batubara pada blok yang luas atau jalan tambang yang juga berwarna putih.
Kawasan yang masih memiliki vegetasi Sebagian besar merupakan Kawasan belukar dan Sebagian Kawasan yang jauh dari wilayah tambang masih menyisakan hutan sekunder.
Tutupan Lahan

Figure 6: Tutupan Lahan 2020

Berdasarkan peta tutupan lahan tahun 2020 yang dikaji dengan menggunakan data citra satelit Sentinel 2 dan menggunakan kelas tutupan lahan KLHK, maka wilayah Kelay dan Segah didominasi oleh tutupan lahan pertambangan+tanah terbuka, pertanian lahan kering campuran, semak belukar dan perkebunan. Sementara itu tutupan hutan sekunder dan primer berada pada wilayah hulu-hulu sungainya.


Wilayah DAS Kelay dan Segah


Wilayah sungai Kelay merupakan bagian dari DAS sungai Berau yang berhilir di teluk Berau, dimana pada wilayah Tanjung Redeb bertemu dengan hulu sungai Segah.

Figure 7: Pembagian DAS Kabupaten Berau – sumber RTRW 2014 Berau


Hidrologi Kawasan

Berau memiliki jaringan sungai yang kompleks mulai dari sungai Berau dimana sungai ini merupakan pertemuan sungai Segah dan Kelay serta sungai sungai lain yang masuk baik ke sungai Segah maupun Kelay.

Figure 8: Jaringan Sungai di wilayah Kelay


Hidrologi Kawasan yang terdampak sebagian besar masuk dalam sub DAS Kelay dan Segah dimana desa-desa Bena Baru, Tumbit Dayak dan Tumbit Melayu masuk kedalam wilayah ini.
Berdasarkan kajian dengan menggunakan modelling spatial Soil Water Assessment Tool (SWAT) yang dilakukan se Kalimantan Timur maka Kawasan Berau merupakan wilayah dengan curah hujan sedang dibandingkan dengan seluruh provinsi. Wilayah terdampak banjir di sungai Kelay dan sungai Segah berdasarkan kajian juga masuk dalam kawasan dengan curah hujan sedang.

Figure 9: Modelling curah hujan


Kajian SWAT selanjutnya dilakukan untuk menentukan wilayah yang memerlukan restorasi di Kalimantan Timur seperti dalam peta berikut:

Figure 10: Kawasan Restore Kalimantan


Berdasarkan kajian dengan modelling SWAT maka wilayah sepanjang sungai Kelay dan Segah merupakan kawasan yang telah terdegradasi. Pada wilayah sepanjang sungai Segah degradasi disebabkan oleh luasnya wilayah tanah terbuka yang didominasi oleh bukaan tambang batubara. Pada wilayah Segah hilir juga didominasi tambang dan dibagian tengah terdapat Kawasan perkebunan sawit yang sangat luas.

Rekomendasi

Berdasarkan kondisi wilayah terdampak banjir yang telah dijabarkan maka beberapa rekomendasi yang dapat ditampilkan adalah:

  1. Melakukan pemetaan lebih lanjut wilayah banjir di Kabupaten Berau, lokasi terkena dampak yang lebih pas akan memungkinkan proses penyaluran bantuan. Saat ini wilayah yang terdampak sulit untuk dipetakan karena keterbatasan informasi spatial.
  2. Melakukan kajian detail mengenai penyebab banjir, secara iklim wilayah terdampak merupakan wilayah dengan curah hujan sedang. Jika pada wilayah ini terjadi banjir maka kemungkinan besar adalah adanya perubahan tutupan lahan sehingga aliran permukaan akibat hujan lebih tinggi dari wilayah dengan tutupan hutan.
  3. Pemetaan wilayah yang dilakukan diatas menunjukkan adanya pembukaan lahan besar-besaran untuk dialokasikan sebagai wilayah operasional tambang batubara terbuka. Banjir di Kampung Benu Baru diperparah dengan tanggul batubara yang roboh.Perlu kajian lebih lanjut untuk melihat bagaimana dampak tambang batubara, jarak pemukiman yang aman

Natural Capital vs Disaster Risk dalam Konteks Kajian Geohidrologi dan Bencana.


Natural capital adalah kumpulan aset alam baik geologi, tanah, air dan udara dan semua makhluk hidup diatasnya. Natural capital can be defined as the world’s stocks of natural assets which include geology, soil, air, water and all living things. It is from this natural capital that humans derive a wide range of services, often called ecosystem services, which make human life possible.

Boleh dikatakan saat ini aset alam sudah banyak diabaikan dalam pembangunan ekonomi, buktinya rambu-rambu yang membatasi kerusakan aset alam ini sudah mulai ditabrak saat dilakukan pembangunan. Ambil contoh mudah seperti pembangunan dilakukan di kelerengan tinggi (lebih dari 40%), pembangunan di bantaran sungai, penggundulan hutan dan konversi lahan gambut.

Nilai dari alam atau jasa lingkungan sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi/finansial. Bayangkan jika kita tidak memiliki air atau udara bersih, maka semua nilai ekonomi/finansial yang dibangun bisa tidak berarti. Tetapi mengukur nilai finansial alami dapat menjadi pembelajaran untuk memahami dan lebih menghargai alam.

Kejadian longsor di Sumedang baru-baru ini misalnya memakan 40 korban jiwa dan kita bisa bandingkan nilai kerugian korban dengan nilai ekonomi saat lahan yang tidak layak dibangun, dijadikan pemukiman. Demikian pula dengan banjir dan longsor ditempat-tempat lain seperti di Jakarta, Manado, Banjarmasin, Samarinda, dll. Demikian juga dengan kejadian banjir tahunan di Jakarta, diperkirakan banjir ditahun 2020 saja menyebabkan kerugian sampai 10 triliun jika dihitung mundur ketahun-tahun sebelumnya, jumlahnya akan sangat besar. Kerugian banjir Samarinda selama 20 tahun diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Pertanyaan menarik adalah bagaimana kalau kerugian bencana digunakan untuk memperbaiki natural capital, misalnya digunakan untuk perbaikan kawasan sepadan sungai seperti relokasi pemukiman atau penghijauan kembali kawasan sepadan sungai, perbaikan penataan ruang seperti perbaikan perizinan atau penegakan hukum tata ruang. Dari mana dana untuk semua kegiatan itu? Ini dapat dilakukan baik dengan mengalokasikan pendanaan diawal sebagai bentuk mitigasi atau menggunakan pendanaan offset/pengganti pada kegiatan-kegiatan yang menggunakan sumberdaya air misalnya.

Secara mudah kesimpulan yang dapat diambil adalah DIBANDINGKAN MENERIMA DAMPAK KERUGIAN TRILIUNAN RUPIAH DALAM JANGKA PANJANG, LEBIH BAIK MELAKUKAN INVESTASI BERBASIS NATURAL CAPITAL DISAAT SEKARANG. Dalam jangka panjang investasi dengan mempertimbangkan faktor konservasi akan lebih menguntungkan.

Avoid, Minize/Restore dan Offset

Salah satu kajian yang mencoba menggabungkan antara kepentingan konservasi dan pembangunan adalah kajian Development by Design. Kajian ini sudah dilakukan sejak 2009 dan diaplikasikan pada banyak sektor pembangunan mulai dari energi, pertambangan, perkebunan dan kajian lain.

Konsep hirarki mitigasi sebenarnya dapat disusun diawal ketika pembangunan dalam proses perencanaan, misalnya pada penyusunan RPJM atau Rencana Tata Ruang (RTRW). Pada proses perencanaan misalnya dampak sebenarnya dapat dikalkulasi, ambil contoh pada perencanaan tingkat tapak (site) pembangunan pabrik saja bisa dilakukan kajian dampak melalui kajian AMDAL. Demikian juga dengan tata ruang, jika satu wilayah dialokasikan menjadi pemukiman, maka dampak terkait hidrologi dimana kawasan ini menjadi kawasan yang tidak/sedikit menyerap air dapat dikalkulasikan dengan modelling hidrologi (misalnya dengan soil water assessment tool/SWAT atau INVEST). Jika kawasan APL dijadikan perkebunan di Kalimantan (baca: sawit), maka dampaknya dapat dikalkulasi, berdasarkan kajian hidrologi, maka kebun sawit akan lebih rentan mengalami erosi dan sedikit menyerap air dibandingkan hutan atau semak belukar karena sudah terbangun karena aliran permukaan lebih tinggi.

Dalam konsep hirarki mitigasi, awal kegiatan adalah menentukan area-area mana yang penting untuk dikonservasi, ambil contoh mudahnya seperti kawasan sepadan sungai, kawasan berhutan (terutama kawasan hutan alam yang memiliki kekayaan biodiversity) atau kawasan karst dan gambut. Kemudian menyusun potensi dampak. Kemudian menyusun hirarki mitigasi.

Contoh penerapan hirarki mitigasi dalam konteks pengelolaan lingkungan yang memperhatikan aspek konservasi geohidrologi:

  • Avoid:
    • Sepadan sungai: 100 m, 50 m, 10m atau 5 meter tergantung karakteristik sungai
    • Sepadan danau : 100 m atau 50 m
    • Lereng curam : lebih dari 40%
    • Kawasan hutan: berdasarkan regulasi tata ruang pre- UU Cipta Karya disebutkan 30% kawasan hutan disatu DAS harus dilindungi. Dengan UU Cipta Karya pemerintah perlu melakukan kajian detail per DAS dan menentukan kawasan ini (PR Besar sebagai implikasi UU Cipta Karya).
  • Minimize:
    • Membuat teras sering pada kegiatan yang harus dilakukan di lereng dibawah 40%
    • Melakukan penataan ruang yang menjaga kawasan resapan pada pemukiman
    • Perkebunan berbasis agroforestry pada kawasan yang dekat dengan hutan
  • Restore:
    • Penanaman kembali kawasan terdegradasi
    • Mengembalikan sepada sungai atau danau sebagai kawasan hijau
    • Mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional atau cagar alam yang dirambah.
    • Mengembalikan fungsi kawasan gambut
  • Offset
    • Menyusun skenario offset pada kegiatan berbasis sumberdaya air, misalnya perusahaan produsen air minum harus membantu pendanaan untuk kegiatan restorasi kawasan.
    • Perusahaan yang terlanjur menggunakan gambut (tipis) dapat diminta offset untuk konservasi kawasan gambut dalam lebih dari 3 m.
    • Perusahaan pertambangan batubara membiayai restorasi kawasan konsesi dan kawasan sekitarnya yang terbuka.

Pada intinya ini semua dapat dilakukan dengan DUKUNGAN KEBIJAKAN, kita tidak dapat lagi menyalahkan curah hujan yang tinggi, pasang naik atau topografi negara kita yang landai, berbukit dan bergunung. Sudah saatnya berpikir jangka panjang dan bukan hanya memikirkan keuntungan sesaat dan menerima dampak sepanjang waktu.

Minimnya Data Iklim di Indonesia: Siapa Yang Perduli?


Datangnya musim penghujan di beberapa wilayah Indonesia merupakan berkah bagi negara yang memiliki mayoritas penduduk di bidang pertanian.Tetapi pada beberapa wilayah musim hujan juga merupakan musim yang diikuti dengan bencana lokal seperti banjir dan atau tanah longsor.

Sebagai geograf, salah satu ilmu yang dipelajari adalah ilmu iklim atau klimatologi,dimana Klimatologi (berasal dari bahasa Yunani Kuno κλίμα, klima, “tempat, wilayah, zona”; dan -λογία, -logia “ilmu”) adalah studi mengenai iklim, secara ilmiah didefinisikan sebagai kondisi cuaca yang dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang.

Ilmu klimatologi dengankurun waktu panjang sangat memerlukan set data cuaca seperti data curah hujan yang secara periodik diperlukan untuk melakukan analisis.Salah satu keluhan sewaktu melakukan analisis iklim adalah kurangnya data-data iklim yang update. Sewaktu kuliah dulu data iklim yang kita gunakan bahkan bersumber dari data-data jaman penjajahan Belanda. Dosen-dosen saya selalu bilang bahwa data jaman penjajahan Belanda lebih lengkap dan akurat karena memang data tersebut digunakan untuk kajian sektor-sektor perkebunan.

Saat ini ilmu klimatologi diperlukan untuk melakukan banyak kajian, misalnya kajian kerentanan bencana banjir dan longsor memerlukan kajian klimatologi yang mememerlukan pemetaan wilayah curah hujan. Ilmu iklim juga sangat dibutuhkan dalam menyusun sebuah strategi bagi pertanian dan perkebunan di Indonesia. Tujuan pembangunan swasembada pangan hanya akan berhasil jika dilakukan kajian detail kesesuaian lahan. Semua kajian itu memerlukan iklim yang merupakan data cuaca dalam periode lama. Semakin detail sebaran statisun curah hujan, maka semakin detail data wilayah curah hujan melalui penggambaran isohyet-nya. Sayangnya data yang terbatas menghasilkan hasil kajian yang general dan tidak tepat untuk dijadikan input dalam pengambilan keputusan.

Saat ini data iklim seperti curah hujan, hari hujan, dll bisa didapatkan online melalui :  http://dataonline.bmkg.go.id/mcstation_metadata tetapi sayangnya ada data tersebut sangat terbatas. Total terdapat 7,476 data stasiun pengamatan di Seluruh Indonesia (lihat: http://dataonline.bmkg.go.id/mcstation_metadata). Jika di shortlist per provinsi misalnya mengambil wilayah wilayah Kalimantan Tengah, maka hanya 5 stasiun yang tercatat. Apakah cukup data 5 stasiun untuk wilayah Kalteng seluas 157.983 km2?

Sementara BPS membuat list data 129 statiun BMKG di Indonesia yang bisa diakses oleh publik melalui link berikut: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1349.

Tetapi tentu saja pertanyaannya siapa yang peduli dengan minimnya data iklim di Indonesiameskipun kejadian banjir dan longsor sudah terjadi di depan mata? Mungkin nanti kalau banjir sudah setinggi tugu Monas…

img_8588