Melihat Pelanggaran Tata Ruang Hanya dengan Handphone


Kondisi sungai kita memang mengalami kerusakan yang sangat besar. Saat ini citra satelit mengambarkan sungai kita di Kalimantan, Sumatera berwarna coklat, kondisi ini menunjukkan bahwa run off telah membawa sedimen ke sungai tanpa ada filter nya. Filter ini dalam tata ruang adalah dengan menjaga sepadan sungai untuk tidak dibangun.

Sebenanya sempadan sungai adalah kawasan lindung lokal yang harus dijaga dari pembangunan masif, kawasan ini dilindungi oleh tata ruang dan PP mengenai Sungai. Aturan sawit tidak boleh ditanam di sempadan sungai melanggar aturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. PP ini dengan tegas melarang penanaman sawit atau tumbuhan penyerap air lainnya di zona penyangga sungai (buffer zone) selebar 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter untuk sungai kecil, guna menjaga fungsi ekologis sungai dan mencegah kerusakan sungai.

Sayangnya peraturan diatas dilanggar oleh perkebunan sawit, baik oleh Perkebunan Swasta maupun perkebunan masyarakat. Dengan jelas pelanggaran ini dapat dilihat di banyak wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Tidak perlu teknologi canggih untuk mengetahui pelanggaran tata ruang ini, cukup menggunakan handphone saja, caranya sangat mudah:

  • Buka Google Maps
  • Ubah basemap ke Citra Satelit
  • Zoom ke sungai sungai di Sumatera dan Kalimantan yang didominasi sawit.
  • Buka Google Maps
  • Ubah basemap ke Citra Satelit
  • Zoom ke sungai sungai di Sumatera dan Kalimantan yang didominasi sawit.

Mengingat bencana di Sumatera yang menyebabkan kerugian 66 triliun lebih, maka saya mencoba melihat ke lokasi bencana. Peta disini adalah peta google yang belum terupdate dengan kondisi banjir dan menunjukkan bagaimana sawit ditanam sampai pinggir sungai.

Demikian juga dengan Tapanuli Tengah, jika kita telusuri suangi-nya hanya dengan Google Maps di handphone, kita akan mendapatkan bagaimana sawit ditanam sampai tepi sungai.

Kemudahan teknologi saat ini sebenarnya tidak menjadi alasan bahwa kondisi hutan alam kita sulit untuk dipantau. Terlebih lagi saat ini sudah tersedia citra satelit resolusi sedang seperti Sentinel 2 yang dapat diakses gratis dari web: https://dataspace.copernicus.eu/data-collections/copernicus-sentinel-data/sentinel-2. Lalu untuk pengolahan datanya bisa dilakukan dengan sofware gratis seperti menggunakan Google Earth Engine atau bisa saja dibuka menggunakan software GIS gratis dengan QGIS: https://qgis.org/download/.

Yang dibutuhkan hanya NIAT dan KEBERANIAN PENEGAKAN HUKUM penataan ruang. Jika tidak maka tidak heran alam yang kaya raya di Indonesia justru menjadi menjadi rentan bencana karena kesalahan kebijakan.

Keanekaragaman Hayati Yang Ter(di)lupakan


Mungkin hanya sebagian Orang yang tahu bahwa 5 Oktober ini adalah hari Cinta Puspa Dan Satwa Nasional, sayapun demikian jika tidak melihat di doodle Google. Puspa dan Satwa atau Flora dan Fauna sebenarnya isu-isu yang terabaikan dalam banyak kasus pembangunan di Indonesia.

Kasuari dari Papua

Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Hayati Global di 201 negara di seluruh dunia.
Menurut publikasi, Indonesia peringkat kedua sebagai negara dengan keanekaragaman hayati paling tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, Indonesia memiliki 1.723 jenis burung,
383 amfibi, 4.813 spesies ikan, 729 mamalia, 773 spesies reptil, dan 19.232 spesies tumbuhan vascular. Status saat ini mungkin bisa berubah karena dalam prakteknya masih banyak kekayaan biodiversity kita yang belum terpetakan.

Disisi lain hutan kita sebagai rumah bagi kekayaan keanekaragaman hayati terus berkurang, meskipun trend penurunan hutan primer di Indonesia terus berkurang tetapi upaya perlindungan tutupan hutan sebagai habitat satwa belumlah disandingkan dengan kekayaan biodiversity yang ada di dalamnya. Misalnya apakah kebijakan food estate dilakukan dengan melakukan kajian-kajian berbasis ilmiah dalam penentuan lokasi, sehingga habitat satwa yang unik dan dilindungi dapat terjaga? Apakah perluasan perkebunan sawit dilakukan dengan memperhatikan kondisi hutan yang menjadi habitat gajah, harimau, atau orangutan?

Pelepas liaran burung kakatua di Papua Barat Daya

Secara kebijakan tentunya kita melihat adanya kebijakan nasional dalam penyusunan IBSAP yang sudah dilakukan sejak tahun 1993. IBSAP adalah singkatan dari Indonesian Biodiversity Strategy & Action Plan (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia). Dokumen ini adalah panduan utama untuk pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia yang berfungsi untuk mengoptimalkan pemanfaatan berkelanjutan, memperkuat tata kelola, dan mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan. Permasalahan selama ini adalah IBSAP menjadi dokumen yang belum di mainstreaming dalam pembangunan secara detail. Pada tingkat sub-nasional, masih selalu ada anggapan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati adalah tupoksi pusat, dalam hal ini Kemenhut dengan BKSDAE sebagai unitnya.

Bukan hanya kebijakan vertikal ke daerah, bagaimana IBSAP kemudian diadopsi oleh Lembaga/Kementrian tingkat nasional masih belum clear. Apakah ATR/BPN memperhatikan IBSAP pada saat pemberian ijin HGU perkebunan sawit? Apakah bisa dipastikan bahwa HGU tidak diberikan di wilayah habitat gajah, orangutan atau pada wilayah yang hutannya memiliki tanaman endemik asli Indonesia yang sudah langka?

Sudah seharusnya cinta puspa dan satwa bisa dimulai dari kebijakan, dari pemimpin-pemimpin negeri ini. Kalau di daerah-daerah masih banyak perburuan satwa atau pencemaran lautan, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melindungi habitat satwa tersebut.

Pembangunan Giant Sea Wall Pantai Utara Jawa: solusi efektif atau perlu pendekatan berbasis alam?


Rencana dan pembangunan giant sea wall bergulir menjadi salah satu Kebijakan pembangunan untuk menyelamatkan kegiatan perekonomian seperti industri serta pertanian dan juga pemukiman di pesisir utara Pulau Jawa. Pembangunan giant sea wall mendapatkan reaksi pro dan kontra, reaksi ini didasari atas tinjauan aspek ekonomi, sosial dan ekologi.

Reaksi kontra kebanyakan datang dari ahli lingkungan dan penggiat lingkungan hidup yang mengangap pembangunan giant sea wall bukan merupakan solusi terbaik karena secara lingkungan yang perlu dikedepankan adalah Solusi berbasis alam seperti restorasi ekosistem dan habitat mangrove dan penggurangan eksploitasi air tanah yang menyebabkan penurunan tinggi permukaan tanah. Reaksi kontra juga mengedepankan fakta terkait dampak sosial dan ekonomi dimana pembangunan akan mempengaruhi masyarakat nelayan yang tergusur. Seperti dirilis Ekatorial beberapa LSM lingkungan menjelaskan bahwa pembangunan tanggul laut raksasa ini tidak menyasar akar masalah yang dimulai dari kegiatan perusakan lingkungan yang diekploitasi oleh industri-industri ektraktif di Pulau Jawa. Salah satu akar kerusakan lingkungan di Pantai utara Jawa adalah hilangnya ekosistem mangrove dimana disebutkan ditahun 2010 terdapat 1.784.850 hektar mangrove yang hanya tersisa ditahun 2021 seluas 10.738 hektar.  Selain akar masalah yang belum tertangani, juga kegiatan pengambilan penggunaan pasir laut untuk reklamasi akan menimbulkan dampak negative bagi lingkungan termasuk potensi kehilangan dan rusaknya habitat biodiversity laut.  Argumentasi lainnya juga terkait aspek sosial dan ekonomi masyarakat yang jika dikalkulasikan kerugiatian tahunannya dari tanggul laut raksasa di DKI Jakarta bisa mencapai angka 766 milyar rupiah hanya dari sektor perikanan nelayan.

Reaksi pro yang mendukung Kebijakan ini mengedepankan perhitungan ekonomi dari pembangunan giant sea wall, misalnya salah satu alasan pembangunan tanggul pantai raksasa adalah nilai ekonomi pantau utara Jawa yang menyumbangkan PDB nasional 57,12% berdasarkan data Menko Perekonomian yang dirilis di Kompas di awal tahun 2024. Pantai Utara Jawa mengalami penurunan bervariasi 1-25 cm, serta kenaikan permukaan air laut 1-15 cm di beberapa lokasi.  Kementrian PU menyebutkan tiga tahapan pembangunan Tanggul Pantai mencakup wilayah Jakarta, Banten dan Bekasi. Lebih lanjut pembangunan akan diteruskan sampai ke Surabaya, Jawa Timur dengan estimasi biaya mencapai 800 triliun. Kementrian PU menyebutkan bahwa biaya per km tanggal laut raksasa tersebut adalah 1 triliun rupiah.

Beberapa riset ilmiah pernah dilakukan untuk melihat bagaimana tanggul laut memberikan dampak terhadap kondisi pantai, salah satu riset misalnya menyebutkan bahwa belum ada konsesus mengenai apakah tanggul laut dapat mengurangi atau menambah laju pengurangan pantai (Comfort, J.A. and Single M.B., 1997). Beberapa kajian tanggul laut di Indonesia dengan lokasi studi di Jakarta dan Semarang menyebutkan beberapa dampak seperti perubahan aliran gelombang laut serta tinggi permukaan laut antara lokasi di dalam dan di luar tanggul. Studi-studi lain menyebutkan pentingnya proses pembangunan yang melibatkan peran dan input dari masyarakat sekitar. Salah satu studi antropologis juga menyebutkan bagaimana secara Sejarah dan budaya manusia yang tinggal di tepi lau menghadapi dilemma antara mempertahankan wilayahnya atau kemudian memilih untuk melakukan kegiatan di lokasi lain (Anderson, R. B. , 2023).

Dari sisi konservasi salah satu tawaran untuk UU no 59 tahun 2024 tentang RPJPN 2024-2045 mengamanatkan pembangunan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi, dimana salah satu konsep yang diusulkan adalah pengembangan nature based solutions untuk beberapa kegiatan pembangunan dan salah satunya adalah banjir (lampiran, hal 254).

Nature-based Solutions (NbS) yang juga masuk dalam salah satu pendekatan yang diacu merupakan konsep yang mengedepankan ekologi dalam kegiatan pembangunan.  Nature-based Solutions atau Solusi berbasis Alam merupakan aksi atau kegiatan untuk mengatasi permasalahan Masyarakat melalui perlindungan, pengelolaan berkelanjutan dan restorasi ekosistem yang memberikan manfaat baik untuk keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia (IUCN, 2020). Sebagai konsep itilah NbS diperkenal pertama oleh Lembaga World Bank dan secara luas diadopasi oleh lembaga internasional seperti IUCN, komisi eropa dan negara-negara di dunia. Salah satu alasan utama  adopsi pendekatan ini adalah pendekatan ini memberikan dampak positif baik dari sisi sosial, ekonomi dan ekosistem/kekayaan biodiversity. Dari 66 studi di dunia diketahui 65% inisiatif dengan pendekatan NbS memberikan dampak positif secara ekonomi.

Dalam konteks pembangunan tanggul laut raksasa pendekatan berbasis alam atau Nature-based Solutions memberikan pilihan-pilihan kegiatan rangka mengurangi dampak dari abrasi pantai dua Solusi utamanya adalah mengembalikan ekosistem alami pantai pada fungsi mangrove sebagai penahan abrasi serta mempertahankan akuifer air tawar melalui kegiatan pengurangan pengambilan air tanah dan tentunya reforestasi pada kawasan DAS yang masuk ke pantai. Kajian yang dilakukan Debele, dkk tahun 2023 tentang Nature-based Solutions misalnya memberikan rekomendasi terkait ketersediaan air tanah dengan melakukan kegiatan perlindungan akifer, pengaturan pengambilan air, menghilangkan bendungan atau membangun dengan secara Berkelanjutan dan restorasi kawasan basah sebagai tempat pengisian air tanah. Dalam konteks perlindungan pantai beberapa rekomendasinya adalah restorasi kawasan pantai, mengelola mangrove, seagrass atau ekosistem lainnya, serta perlindungan pantai dengan menggunakan pohon atau infrastruktur yang ramah lingkungan.

Sebagai sebuah pendekatan berbasis alam maka NbS patut dilirik kembali untuk memberikan opsi penanganan abrasi pantai utara Jawa, khususnya di Jakarta dimana proyek pembangunan tanggul Pantai raksasa sudah dilakukan. Sebuah pendekatan yang telah terbukti dapat memberikan dampak positif sosial,  ekonomi dan lingkungan maka NbS perlu dilihat lebih lanjut, jika memang pembangunan tanggul pantai raksasa akan dilakukan maka perlu disandingkan opsi lain yang secara jangka panjang dapat memberikan kontribusi positif, dalam banyak kasus infrastruktur buatan manusia akan selalu kalah dengan kekuatan alam.

Pembangunan Infrastruktur di Utara Jakarta (PIK)

Membangun Kepedulian Atas Data Kualitas Udara Perkotaan


Saat ini Jakarta menjadi sorotan akibat kualitas udara yang buruk, hasil pemantauan beberapa alat yang terletak di banyak lokasi menunjukkan kualitas  udara yang masuk kategori unhealthy atau tidak sehat. Ada 6 kelas kategori kualitas udara yaitu good (baik), moderate (sedang), unhealthy for sensitive groups (tidak sehat untuk group sensitive), unhealthy (tidak sehat), very unhealthy (sangat tidak sehat), hazardous (berbahaya). Kelas indek kualitas udara ini diperkenalkan di US untuk mempermudah pemahaman awam mengenai status kualitas udara dan melakukan mitigasi sesuai dengan implikasi bagi kesehatan.

Salah satu komponen kajian adalah menghitung kualitas berdasarkan partikel yang terdapat dalam udara, ukuran yang dikalkulasi adalam pm 2.5. Particulate Matter (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer). Pengukuran konsentrasi PM2.5 menggunakan metode penyinaran sinar Beta (Beta Attenuation Monitoring) dengan satuan mikrogram per meter kubik (µm/m3).

Saat ini banyak sumber-sumber kualitas udara yang tersedia secara online dengan update yang dilakukan secara berkala yaitu dalam hitungan jam. Riset mengenai kualitas udara menyarankan pemantauan yang up date dibawah 30 menit, karena jika menggunakan rata-rata akumulasi harian maka akan terdapat bias mengenai kualitas udara dalam satu tempat. Salah satu alasan  lain adalah perubahan kualitas udara dapat secara mendadak terjadi akibat perubahan factor cuaca lain seperti angin dan tentunya untuk memastikan kualitas udara pada saat kegiatan dilakukan.

Salah satu situs yang menyediakan data kualitas udara adalah rilis dari perusahaan Swiss Bernama IQAIR, perusahaan ini mendorong kolaborasi banyak pihak baik individu, perusahaan dan pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara. Situs ini secara online menyediakan data kualitas udara di seluruh dunia dan untuk di Indonesia bisa menggunakan alamat web: https://www.iqair.com/id/. Website ini juga menyediakan peta kualitas udara, misalnya jika ingin mengetahui kondisi di Jakarta bisa mengakses alamat web: https://www.iqair.com/air-quality-map/indonesia/jakarta, dimana saat tulisan ini dibuat ada 3 lokasi pemantauan masuk kategori tidak sehat dan selebihnya tidak sehat untuk group yang memiliki sensitifitas (memiliki penyakit pernafasan).

Website lain yang menampilkan peta kualitas udara secara global adalah Air Quality Index. Website ini menampilkan kualitas udara melalui sensor real time sejak 2018 dengan menggunakan sensor yang kemudian diperbaharui dengan menggunakan sensor dengan menggunakan laser yang lebih efekif dan murah. Website ini juga menggunakan 5  kelas, yaitu  indeks kualitas udara yang sama dengan standar yang digunakan oleh  pemerintah US. Untuk peta dan data dapat diakses melalui web: https://aqicn.org/map/indonesia/.

Situs online lain yang dapat digunakan adalah World Air Quality Index dengan peta World Air Pollution yang dapat diakses melalui website: https://waqi.info/ . Website ini juga menggunakan standard perhitungan kulaitas udara yang sama dengan IQAIR yaitu standard yang dipakai oleh kementrian lingkungan Amerika Serikat,dimana detail pendekatan dan metodologi dapat dilihat dalam web: https://www.epa.gov/environmental-topics/air-topics. Sistem yang dipakai adalah mengubah jumlah partikel dengan pm 2.5 dalam rentang skala 0 sampai 500 sesuai kelas yang digunakan website sebelumnya. 

Dari website tersebut kita bisa melihat distribusi kualitas udara di Jakarta atau kota lain secara detail melalui peta yang ditampilkan. Selain itu terdapat informasi pendukung dimana terdapat 27 stasiun pengamatan yang digunakan oleh IQAir dan dimana saat ini kualitas udara Jakarta memiliki nilai 9,6 kali lebih buruk dari standar WHO. Pada kualitas udara saat ini rekomendasi yang diberikan adalah kelompok sensitive sebaiknya menggunakan masker di luar ruangan (ini termasuk anak-anak), mengurangi aktifitas di luar ruangan, menutup jendela untuk menghindari masuknya partikel udara buruk di rumah (terutama juga pada kendaraan) dan jika bisa menggunakan penyaring udara di rumah. Salah satu solusi jangka panjang dapat juga mulai menanam tanaman dipekarangan atau di sekitar rumah. Tanaman mampu menyaring udara sebelum udara masuk kedalam rumah.

Kajian Banjir Mei 2021 di Kabupaten Berau


Latar Belakang

Kejadian banjir pada tanggal 15 Mei di Kawasan DAS Kelay merupakan kejadian banjir paling parah sejak 20 tahun terakhir. Dampak banjir tersebar di bagian hilir dan hulu sungai Kelay dan hulu Segah. Terdapat enam desa dengan kondisi terparah yaitu, Desa Tumbit Dayak, Tumbit Melayu, Inaran, Pegat Bukur, Desa Bena Baru dan Desa Long Lanuk. Sementara untuk delapan desa lainnya berada di hulu sungai. Empat desa berada di hulu Sungai Kelay meliputi Desa Long Beliu, Lesan Dayak, Muara Lesan, dan Merasa. Sedangkan empat desa lainnya di hulu Sungai Segah yakni, Desa Punan Segah, Long Lai, Long Ayap dan Long Ayan. Sebanyak 14 desa itu berada di empat kecamatan yakni Kecamatan Segah 4 desa, Kecamatan Kelay 4 desa, Kecamatan Teluk Bayur 1 desa, dan Kecamatan Sambaliung 5 desa.


Kawasan paling parah ada di 4 kampung yaitu Kampung Tumbit Melayu, Tumbit Dayak, Bena Baru dan Inaran. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau, sebanyak 2.507 KK yang terdampak dari banjir yang terjadi bersamaan dengan momen Hari Raya Idul Fitri 1442 H.

Ketinggian banjir bisa mencapai 2 meter, seperti di Kampung Tumbit Melayu dan sekitar 1 meter di Kampung Benu Baru. Belum ada kajian lebih lanjut mengenai kerugian banjir, tetapi data awal menunjukkan ratusan hektar lahan pertanian dan perumahan tergenang air.

Figure 1: Lokasi Kampung Bena Baru dan Tumbit Muara

Pada potongan citra Google terlihat lokasi kampung sangat dekat dengan tambang batubara, resiko banjir juga akan lebih besar pada kawasan yang dekat dengan tambang.


Berbagai alasan terjadinya banjir di Berau mulai dari curah hujan tinggi sejak 12 Mei dan juga adanya tanggul tambang batubara yang runtuh. Kawasan yang terkena banjir merupakan desa-desa dengan dominasi dengan tutupan lahan terbuka yang sebagian besar merupakan wilayah operasional tambang batubara. Banjir merendam ratusan rumah di Kampung Bena Baru, Sambaliung, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Banjir diperparah diduga akibat jebolnya tanggul tambang batubara PT RUB, hingga ketinggian banjir lebih dari 1 meter.

Untuk mengetahui apakah kejadian ini hanya karena kondisi alam yaitu curah hujan dibagian hulu yang tinggi atau factor lainnya, dapat dilihat dengan menjabarkan kondisi wilayah yang terdampak banjir.

Kondisi Kawasan

Iklim dan Cuaca Kabupaten Berau
Beberapa informasi dasar kondisi klimatologi kabupaten Berau dapat dilihat pada peta dari berbagai sumber data.

Figure 2: Peta Curah Hujan- sumber Dokumen RTRW Berau

Berdasarkan data diatas wilayah Kelay merupakan Kawasan dengan rejim curah hujan yang rendah pada nilai curah hujan tahunan dibawah 2500 mm/tahun. Sementara Kawasan DAS Segah memiliki curah hujan lebih tinggi dengan curah hujan tahunan dapat mencapai 3000 mm/tahun.


Data iklim dan curah hujan sangat terbatas untuk wilayah Berau, berikut adalah data iklim yang dapat ditampilkan untuk kabupaten Berau dengan menggunakan data global World Climate Regime.

Figure 3: Peta kondisi klimatologi Kabupaten Berau.

Berdasarkan peta diatas maka sepanjang wilayah Kelay besar masuk pada kawasan yang sedang dalam kaitan dengan kemungkinan mengalami kekeringan. Sedangkan Kawasan sub DAS Segah memiliki iklim yang lebih basah.

Citra satelit
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dapat dilihat dengan menggunakan citra satelit, berikut adalah citra satelit Kawasan Kelay dan Sebagian Segah yang ditampilkan dengan 2 citra false color dan true color. Pada citra false color Kawasan yang masih memiliki vegetasi adalah Kawasan yang berwarna merah dan Kawasan yang terbuka ditampilkan dalam warna biru muda.

Figure 4: Citra false color Sentinel 2, tahun 2020
Figure 5: Citra satelit true color, Sentinel 2 tahun 2020

Kedua citra di atas merupakan citra mozaik tahun 2020 yang diambil dengan seleksi pada citra dengan tutupan awan paling sedikit dan memiliki kenampakan yang jelas.
Berdasarkan kenampakan citra satelit pada Kawasan terdampak banjir di Sub DAS Kelay di dominasi oleh Kawasan terbuka yaitu Kawasan tambang batubara. Kawasan terbuka pada peta di atas tampak berwarna putih baik berupa tambang batubara pada blok yang luas atau jalan tambang yang juga berwarna putih.
Kawasan yang masih memiliki vegetasi Sebagian besar merupakan Kawasan belukar dan Sebagian Kawasan yang jauh dari wilayah tambang masih menyisakan hutan sekunder.
Tutupan Lahan

Figure 6: Tutupan Lahan 2020

Berdasarkan peta tutupan lahan tahun 2020 yang dikaji dengan menggunakan data citra satelit Sentinel 2 dan menggunakan kelas tutupan lahan KLHK, maka wilayah Kelay dan Segah didominasi oleh tutupan lahan pertambangan+tanah terbuka, pertanian lahan kering campuran, semak belukar dan perkebunan. Sementara itu tutupan hutan sekunder dan primer berada pada wilayah hulu-hulu sungainya.


Wilayah DAS Kelay dan Segah


Wilayah sungai Kelay merupakan bagian dari DAS sungai Berau yang berhilir di teluk Berau, dimana pada wilayah Tanjung Redeb bertemu dengan hulu sungai Segah.

Figure 7: Pembagian DAS Kabupaten Berau – sumber RTRW 2014 Berau


Hidrologi Kawasan

Berau memiliki jaringan sungai yang kompleks mulai dari sungai Berau dimana sungai ini merupakan pertemuan sungai Segah dan Kelay serta sungai sungai lain yang masuk baik ke sungai Segah maupun Kelay.

Figure 8: Jaringan Sungai di wilayah Kelay


Hidrologi Kawasan yang terdampak sebagian besar masuk dalam sub DAS Kelay dan Segah dimana desa-desa Bena Baru, Tumbit Dayak dan Tumbit Melayu masuk kedalam wilayah ini.
Berdasarkan kajian dengan menggunakan modelling spatial Soil Water Assessment Tool (SWAT) yang dilakukan se Kalimantan Timur maka Kawasan Berau merupakan wilayah dengan curah hujan sedang dibandingkan dengan seluruh provinsi. Wilayah terdampak banjir di sungai Kelay dan sungai Segah berdasarkan kajian juga masuk dalam kawasan dengan curah hujan sedang.

Figure 9: Modelling curah hujan


Kajian SWAT selanjutnya dilakukan untuk menentukan wilayah yang memerlukan restorasi di Kalimantan Timur seperti dalam peta berikut:

Figure 10: Kawasan Restore Kalimantan


Berdasarkan kajian dengan modelling SWAT maka wilayah sepanjang sungai Kelay dan Segah merupakan kawasan yang telah terdegradasi. Pada wilayah sepanjang sungai Segah degradasi disebabkan oleh luasnya wilayah tanah terbuka yang didominasi oleh bukaan tambang batubara. Pada wilayah Segah hilir juga didominasi tambang dan dibagian tengah terdapat Kawasan perkebunan sawit yang sangat luas.

Rekomendasi

Berdasarkan kondisi wilayah terdampak banjir yang telah dijabarkan maka beberapa rekomendasi yang dapat ditampilkan adalah:

  1. Melakukan pemetaan lebih lanjut wilayah banjir di Kabupaten Berau, lokasi terkena dampak yang lebih pas akan memungkinkan proses penyaluran bantuan. Saat ini wilayah yang terdampak sulit untuk dipetakan karena keterbatasan informasi spatial.
  2. Melakukan kajian detail mengenai penyebab banjir, secara iklim wilayah terdampak merupakan wilayah dengan curah hujan sedang. Jika pada wilayah ini terjadi banjir maka kemungkinan besar adalah adanya perubahan tutupan lahan sehingga aliran permukaan akibat hujan lebih tinggi dari wilayah dengan tutupan hutan.
  3. Pemetaan wilayah yang dilakukan diatas menunjukkan adanya pembukaan lahan besar-besaran untuk dialokasikan sebagai wilayah operasional tambang batubara terbuka. Banjir di Kampung Benu Baru diperparah dengan tanggul batubara yang roboh.Perlu kajian lebih lanjut untuk melihat bagaimana dampak tambang batubara, jarak pemukiman yang aman

Apa itu pajak karbon/carbon tax?


Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara. Pajak karbon akan diberlakukan mulai 1 Juli 2022 sebesar 11% dan secara bertahap akan di menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Rencana 1 Juli 2022 ini merupakan pengunduran dari rencana pemberlakukan pada tanggal 1 April 2022.

Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap (batasan) yang ditetapkan.

Mengapa pajak karbon diperlukan tidak terlepas dari komitmen Indonesia dalam penurunan emisi. Komitmen ini merupakan bentuk mitigasi atas dampak perubahan iklim dimana dampaknya bisa berupa:

  1. Kerugian yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan.
  2. Penurunan kualitas kesehatan akibat bencana
  3. Kerusakan ekosistem termasuk keanekaragaman hayati
  4. Berujung pada kelangkaan pangan

Regulasi

Regulasi yang menjadi dasar dalam penentuan pajak karbon adalah UU no 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada Pasal 13:

Pokok-Pokok Pengaturan:

  • Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
  • Arah pengenaan pajak karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas,keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
  • Prinsip pajak karbon: prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
  • Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
  • Pemanfaatan penerimaan negara dari Pajak Karbon dilakukan melalui mekanisme APBN. Dapat digunakan antara lain untuk pengendalian perubahan iklim, memberikan bantuansosial kepada rumah tangga miskin yang terdampak pajak karbon, mensubsidi energi terbarukan, dan lain-lain. • Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat diberikan pengurangan pajak karbon.
  • Pemberlakuan Pajak karbon: berlaku pada 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara denganskema cap and tax yang searah dengan implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara

Peraturan Presiden no 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pasal 58:

  • Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.
  • Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  • Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar, PPnBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya pengenaan Pajak Karbon).

Untuk apa dana pajak karbon digunakan:

  1. Pendanaan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim; ini termasuk kegiatan-kegiatan konservasi dan kegiatan untuk mencegah emisi gas rumah kaca.
  2. Riset dan Investasi program inovasi pengurangan emisi, misalnya invenstasi untuk program zero emisi.
  3. Dana pembangunan umum yang membantu proses penurunan emisi dan kegiatan pembangunan rendah emisi.

Pajak karbon akan dilakukan bertahap dimana ruang lingkup awal akan disasar pada kegiatan penghasil emisi terbesar seperti PLTU batubara, kedepannya pada kegiatan penyumbang emisi terbesar yaitu ENERGI dan TRANPORTASI.

sumber: Kemenkeu: https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/2bb41-bahan-bkf-kemenkeu.pdf

Kontribusi Ekonomi dan Dampak Lingkungan Sektor Sawit


Luasan izin perkebunan sawit di Indonesia diperkirakan melebih dari 20 juta hektar sedangkan luasan tanaman berdasarkan data BPS tahun 2020 adalah 14,8 juta hektar, jauh lebih luas dari lahan padi 8,7 juta hektar. Dari luasan tersebut produksi CPO Indonesia adalah 47,4 juta ton di tahun 2021 sedangkan tahun 2020 51,8 juta hektar.

Dalam sistem tata ruang di Indonesia, kawasan yang dibangun berada dalam kawasan di luar kawasan lindung seperti Taman Nasional, Suaka Alam atau Hutan Lindung serta terdapat kawasan Hutan Produksi yang diperuntukkan untuk sektor kehutanan seperti HPH, HTI atau Hutan Kemasyarakatan. Di luar kawasan itu terdapat Area Penggunaan Lain (APL) yang diperuntukkan untuk pembangunan seperti pertanian, perkebunan, pemukiman dan fasilitas.

Sebagai contoh bisa kita lihat provinsi Kalimantan Barat, dimana luasan APL yang merupakan lahan yang bisa dikembangkan untuk pembangunan di Kalimantan Barat dengan luas 6,5 juta hektar. Berdasarkan data tutupan lahan KLHK luasan perkebunan mencapai hampir 2 juta hektar (1,91 juta ha). Luasan ini dibandingkan luas sawah hanya 132 ribu hektar atau juga luasan Pertanian Lahan Kering hanya 200 ribu hektar. Dengan luasan seperti itu Apakah kontribusi ekonomi sektor ini terhadap PAD sebesar wilayahnya? Apakah sebanding dengan dampak lingkungan nya?

Sisa kawasan APL lainnya hampir tidak lagi memiliki hutan dan hanya menyisakan hutan di wilayah lindung atau wilayah lain yang masuk moratorium perijinan kawasan.

Kontribusi Ekonomi

Pada tingkat nasional kontribusi APBN sektor sawit diperkirakan hanya 10 persen, sedangkan dibandingkan sektor non migas lain kontribusi ekspor sawit hanya 14%. Kontribusi sawit diperkirakan penyumbang 3,5% PDB Indonesia.

Salah satu provinsi dengan luasan sawit terbesar Riau, menyebutkan di tahun 2019 diperkirakan 1 juta hektar sawit terdaftar yang belum melakukan pembayaran pajak dari data 2,4 juta hektar sawit yang didominasi PBS. Perkiraan pajak PBB sawit saja hanya sepertiga dari kalkulasi lahan yang terdaftar. Diperkirakan untuk Riau saja kehilangan sumbangan pajak dari sawit sebesar 107 triliun karena perkebunan ilegal yang tidak terdaftar, selain itu memang dikabarkan bahwa kontribusi ke PAD masih sangat kecil.

Awal tahun 2022 ditandai dengan peningkatan inflasi yang disebabkan kenaikan harga bahan pangan, dimana salah satunya adalah minyak goreng. Sebuah ironi besar karena sebagai penghasil sawit terbesar di dunia Indonesia tidak mampu memastikan stabilitas harga. Misalpun harga CPO di dunia sedang mengalami peningkatan, tetapi seharusnya ada mekanisme dimana hasil bumi yang ditanam ditanah negara ini mampu memberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya pengusaha perkebunan.

Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan sawit diperkirakan memang sangat besar, karena wilayah yang dulunya hutan di Kalimantan dan Sumatera kemudian diubah menjadi sawit. Dampaknya dapat dilihat terkait dengan kondisi kawasan yang dulunya berhutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Adapun dampak lingkungan dari sawit yang ditanam di wilayah yang dulunya merupakan kawasan hutan antara lain

  • Degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati: hutan yang menjadi sawit tidak lagi bisa menjadi habitat dari satwa liar, misalnya gajah dan harimau di Sumatera, orangutan di Kalimantan.
  • Menurunnya kondisi hidrologi kawasan: daya serak air serta kemampuan menahan air tanaman sawit berbeda dengan hutan yang mampu menyerap air serta menahan laju infiltrasi lebih baik. Akibatnya limpasan permukaan lebih tinggi dan berpotensi
  • Menurunnya kondisi ekosistem: ekosistem yang ada seperti lahan basah-gambut atau mangrove akan mengalami degradasi dengan adanya perkebunan.
  • Menurunnya kondisi tanah: kondisi tanah akan terpengaruh dengan adanya perubahan dan rekayasa untuk tanaman sawit, belum lagi ditambah kegiatan pemupukan yang menggunakan pupuk non organik.

Kompensasi dan Offset

Salah satu wacana yang muncul untuk menjamin harga minyak goreng adalah subsidi pemerintah, yang pastinya akan membebani keuangan negara. Dengan dampak yang besar ada lingkungan maka pembebanan seharusnya masuk pada kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari perkebunan sawit yang sudah menjadi industri terbesar dan terluas di Indonesia.

Sedangkan untuk aspek lingkungan untuk membantu mengatasi masalah bisa dilakukan dengan melakukan program pemulihan DAS dan pemulihan kawasan hutan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pembiayaan dari usaha perkebunan itu sendiri. Pilihan yang paling masuk akal mengingat dampak yang disebabkan oleh industri perkebunan sawit adalah menerapkan kompensasi dan prinsip mitigasi offset.

Kompensasi seharusnya dilakukan pada kegiatan yang memberikan dampak lingkungan, kompensasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip dan hirarki mitigasi.

Jasa Lingkungan, Penataan Ruang dan Pengentasan Bencana Banjir Kalimantan


Banjir di Kalimantan sudah menjadi agenda tahunan ketika musim hujan tiba. Wilayah-wilayah ibukota mulai dari Samarinda, Banjarmasin, Pontianak merupakan beberapa kota yang secara regular terkena banjir saat musim hujan. Kerugian dari akibat banjir di Kalsel pada Februari 2021 diperkirakan mencapai 1,2 triliun rupiah. Demikian juga dengan banjir Samarinda kerugian yang dikalkulasi mencapai milyaran dalam satu tahun kejadian, banjir pekan saja ditahun 2019 diperkirakan kerugian mencapai 40 milyar berdasarkan kalkulasi peneliti dari Universitas Mulawarman. Kalkulasi lain menyebutkan kerugian 20 tahun banjir di Samarinda mencapai triliunan rupiah.


Secara umum Kalimantan memang merupakan wilayah yang rentan dengan resiko banjir, ini tidak terlepas dari kondisi wilayah yang datar dengan sebaran ibukota dan kota lainnya di sepanjang sungai. Faktor sejarah pembentukan pemukiman di Kalimantan yang berbasis sungai memang harus selalu diperhatikan. Berdasarkan kajian tutupan lahan 2019 Kalimantan memiliki 12,7 juta hektar hutan lahan kering sekunder dan 9,4 juta hektar hutan lahan kering primer sedangkan hutan mangrove sekitar 484 ribu hektar dan hutan rawa 311 ribu hektar tetapi luasan semak belukar mencapat 4,6 juta hektar dan luas perkebunan (baca: kebun sawit) sekitar 6,2 juta hektar.

Fakta lainnya misalnya Ibu Kota Provinsi Kaltim Samarinda yang terbelah oleh Sungai Mahakam, secara topogafi merupakan kombinasi wilayah datar sepanjang sungai dan beberapa wilayah berbukit kecil. Dalam wilayah DAS, Samarinda masuk dalam DAS Mahakam Hilir dimana Sungai Mahakam ini terdiri atas bagian hulu sampai Kabupaten Mahakam Hulu, bagian tengah yang merupakan Kawasan rawa dan Sebagian gambut serta bagian hilir yang didominasi oleh dataran rendah.Berdasarkan tutupan lahan Kota Samarinda didominasi oleh pemukiman, lahan pertanian, pertambangan, dan semak. Sedangkan kalkulasi tutupan lahan 2019 dengan di DAS Hulu Mahakam atau wilayah sekeliling Samarinda didominasi oleh semak belukar 43 persen, hutan tanaman 8 persen, tambak, pertambangan dan perkebunan masing-masing 7 persenKondisi hidrologis Samarinda tentunya akan tergantung pada Kawasan dihulunya dimana tutupan hutan sudah semakin berkurang dan hanya menyisakan 68 persen hutan di bagian hulu,sisanya merupakan kawasan pertanian lahan kering, perkebunan dan belukar. Pada bagian tengah sungai Mahakam masuk DAS Belayan dan DAS Bongan didomoinasi oleh kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri serta Sebagian masuk kawasan konservasi.


Dalam banyak diskusi mengenai konservasi, salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah apa keuntungan ekonomi yang didapat jika konservasi didahulukan dari pembangunan ekonomi? Pada konteks pembangunan berkelanjutan jangka panjang pertanyaan ini mungkin sulit dijawab karena kalkulasi nilai-nilai lingkungan hidup memang berlaku dijangka panjang. Nilai dari jasa lingkungan memang tidak dapat dikalkukasi karena tidak akan sebanding dengan nilai-nilai ekonomi, nilai akan tergantung situasi yang ada misalnya nilai jasa lingkungan air akan tinggi ketika jumlah air terbatas dan kualitas air tidak dapat dikonsumsi. Apalagi pertanyaan yang mengkontradiksikan antara konservasi species misalnya orangutan dengan kebutuhan ekonomi saat ini yang selalu mengarah pada kebutuhan ekonomi saat ini akan lebih dimenangkan. Nilai keberadaaan hutan ini dapat dijawab jika dikaitkan dengan bencana alam, misalnya saat air sudah mengenangi kota dimana para pengambil kebijakan dapat melihat dampak bencana lingkungan secara langsung.


Kalkulasi nilai-nilai alam sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu, salah satunya adalah dengan konsep natural capital yang diartikan sebagai kumpulan asset atau sumber daya alam yang terdiri atas unsur geologi, tanah, udara, air dan makhluk hidup di dalamnya. Dari natural capital ini manusia dapat mengukur berbagai nilai manfaat yang disebut dengan jasa lingkungan yang sepenuhnya akan mendukung kehidupan manusia. Konsep natural capital ini dimulai melihat sumber-sumber daya alam baik yang hidup/hayati dan non hayati yang kemudian menjadi fungsi ekosistem menjadi apa yang dikenal dengan jasa-jasa lingkungan. Jasa lingkungan ini memberikan keuntungan bagi manusia dan kemudian dapat diukur nilai-nya. Konsep natural capital jika dikaitkan dengan konsep ekonomi konvensional, ini disebut dengan bioeconomy dimana penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dapat digantikan dengan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.


Konsep pembangunan dengan memperhitungkan jasa lingkungan harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, terutama pihak-pihak atau masyarakat yang melakukan kegiatan pengelolaan lahan. Penerapan prinsip menjaga natural capital ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat dengan dukungan pemerintah, misalnya dilakukan dengan memberikan insentif ketika masyarakat mengelola lahan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, menjaga tutupan pohon, membuat terasering dan mencegah polusi air dari sampah atau sisa pupuk.


Pada skala yang lebih besar peran kebijakan pemerintah dilakukan dengan membeli/mengambil alih pengelolaan kawasan sepadan sungai atau lahan basah (rawa, mangrove, dll), membatasi infrastruktur yang tidak ramah lingkungan (tutupan semen di kawasan resapan) dan mengatur bahan yang berbahaya yang menyebabkan polusi air.
Jasa lingkungan juga dapat dilakukan dengan melibatkan pihak swasta, misalnya memberikan insentif pengelolaan melalui pendanaan dari perusahaan yang memanfaatkan jasa lingkungan air seperti perusahaan air minum. Pada konteks Kalimantan Timur dan Samarinda, ini dapat dikaitkan dengan perusahaan tambang batubara atau perusahaan sawit yang menggunakan jasa lingkungan air dalam kegiatan bisnis-nya. Dalam konteks penanganan banjir di Kalimantan secara umum, terdapat beberapa kajian yang perlu dilakukan kajian daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan air, kajian modelling hidrologi dan kajian tutupan lahan.


Tahapan-tahapan penting dalam pelaksanaan kebijakan dengan memasukkan natural capital dan jasa lingkungan dimulai dengan mengidentifikasikan wilayah-wilayah yang penting untuk dikonservasi, dan atau dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip berkelanjutan, mengidentifikasi daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan air dan tanah, kedua adalah mengidentifikasi kebijakan pendukung seperti pemberian insentif dan desentif, kebijakan penerapan tata ruang dan yang terakhir adalah membangun sistem monitoring dalam pelaksanaan kebijakan. Apa yang menjadi tantangan dalam penerapan kebijakan ini adalah minimnya informasi, tidak adanya minat dari pengambil kebijakan, dan adanya oposisi politik yang bertolak belakang dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang baik. Pada prakteknya kebijakan yang mendukung perlindungan natural capital dan jasa lingkungan akan tergantung pada kemampuan menggerakkan masyarakat, peran multi-stakeholder terkait termasuk pengusaha. Keterlibatan pengusaha misalnya akan dikaitkan dengan penggunaan sumber-sumber daya alam dan jasa lingkungan (misalnya air) dalam proses produksi-nya.


Kembali pada konteks kebencanaan misalnya banjir konsep natural capital melalui jasa lingkungan air dapat dikalkulasikan dengan menghitung kerugian tahunan akibat banjir dan bagaimana ini diubah dengan melakukan pembangunan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan. Pada konteks kebencanaan misalnya dapat dilakukan kajian-kajian bagaimana menempatkan pemukiman, kegiatan usaha dan infrastruktur dengan menmperhatikan lingkungan, kedepannya dampak-dampak lingkungan yang bersifat bencana dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan. Ini bukan hal yang mudah dilakukan, misalnya pada konteks perencanaan di Kawasan perkotaan yang sudah terlanjur dibangun dan direncanakan tanpa kalkulasi nilai-nilai jasa lingkungan atau pada kegiatan usaha yang sudah terlanjur berjalan. Aspek keterlanjuran sering menjadi alasan kenapa konsep-konsep pembangunan yang memperhatikan jasa lingkungan sulit diterapkan, tetapi jika tidak dimulai maka akumulasi kerugian akibat bencana banjir dan longsor akan jauh lebih besar dari pada investasi yang diperlukan dengan kebijakan yang berwawasan lingkungan.

Moratorium Sawit dan Ketersediaan Lahan


Moratorium Sawit berdasarkan Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit akan segera berakhir 19 September tahun ini. Pertanyaan yang muncul apakah akan diperpanjang atau tidak?

Jika tidak diperpanjang maka akan bermunculan izin-izin baru yang, sementara masih tersisa permasalahan pada izin-izin yang sudah ada saat ini. Ambil contoh mengenai produktivitas lahan yang masih rendah serta masih banyaknya konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

Fakta yang menarik adalah perkebunan sawit merupakan komoditas dominan yang dengan luas sekitar 16,8 juta hektar (data 2019 release 2020). Luas izin lokasi adalah 20 juta hektar sedangkan izin perkebunan yang tercatat di Kementan adalah 14,31 juta hektar (kata data 2021). Tanaman sawit sesbagai tanaman budidaya hanya boleh ditanam di kawasan non kehutanan dimana zonasi ini memiliki luas 67,40 juta hektar (Renstra KLHK 2020). Pada kawasan APL ini terdapat 8,2 juta hektar yang masih memiliki tutupan hutan.

Jika dikalkulasi sederhana misalnya luas izin mencapai 20 juta hektar dibanding luas APL yang 67,4 maka sawit mendominasi APL kita sekitar 29%, sedangkan jika menggunakan luas tertanam maka sawit mendominasi tutupan APL sebesar 25%. Lalu pertanyaannya lainnya adalah bagaimana kontribusi sawit ke APBN? Industri sawit diperkirakan memiliki kontribusi ke APBN 10%. Apakah angka kontribusi ini besar? Berdasarkan hitungan luas lahan terpakai, maka angka ini tidak besar, karena prosentase luasan terpakai untuk sawit 3 kali dari kontribusinya.

Salah satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak seluruh APL semestinya dikelola sampai habis, harus disisakan kawasan-kawasan yang perlu untuk perlindungan baik ini terkait dengan jasa ekosistem penyediaan air dan udara atau terkait dengan mitigasi bencana.

Secara umum misalnya melihat ketersediaan lahan, kawasan untuk ekspansi sawit sudah tidak tersedia lagi di Sumatera dan Kalimantan. Papua dan kepulauan di Indonesia timur mungkin masih menyisakan wilayah APL yang belum terisi kegiatan pembangunan lainnya. Jangan lupa bahwa kawasan Indonesia Timur seperti Papua merupakan wilayah dengan ciri kepemilikan lahan yang berbeda terkait penguasaan oleh adat. Tetapi tentu saja tidak perlu gegabah meng-konversi sisa APL di Indonesia untuk ekspansi sawit lebih lanjut, ada 8,2 juta hektar hutan di APL yang perlu diselamatkan, ada banyak kawasan APL yang juga merupakan kawasan penyedia jasa lingkungan air, penahan bencana serta kawasan kelola masyarakat yang perlu dilindungi dari ekspansi perkebunan sawit.

Peningkatan Produktivitas dan Hilirisasi CPO

Peningkatan produktivitas kebun per hektar masih menjadi hal penting dilakukan dibandingkan menambahkan luas ijin. Dengan rata-rata perkebunan 15-17 ton per hektar pertahun masih jauh dengan produktivitas di Malaysia yang mencapai 30 ton perhektar pertahun. Ada banyak permasalahan terkait produktivitas yang perlu dibenahi sebelum memikirkan ekspansi luasan lahan.

Hilirisasi CPO merupakan salah satu PR besar yang harus dilakukan saat ini. Kontribusi perkebunan sawit mustinya menjadi sebuah kontribusi industri sawit dimana kebijakan hilirisasi diperlukan untuk peningkatan nilai tambah.

Tahun 2020 diperkirakan produksi CPO sebesar 56 juta ton dan 34 juta ton diantaranya di ekspor keluar negeri. Berarti hampi5 70% CPO dijual keluar dalam bentuk bahan mentah. Sementara diperkirakan hilirisasi sawit mampu menghasilkan sekitar 50 varian produk mulai dari kebutuhan untuk bahan bakar, makanan, kesehatan dan produk turunan lainnya.

Pilihan Komoditas Lainnya

Tanah Indonesia yang subur tentunya tidak hanya cocok untuk perkebunan sawit, ada banyak komoditas lain yang bisa menjadi pilihan dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi, misalnya kakao yang jumlah produksi pertahun bisa 3,5 kg tetapi harga per kilo-nya Rp. 30.000 dibandingkan TBS sawit dikisaran Rp. 2000-3000 rupiah. Komoditas lainnya tidak kalah banyak dan menarik, misal saja kopi, lada atau bahkan tanaman hotikultura yang nilai ekonominya tidak kalah dengan sawit.

Kalau ingin membandingkan secara spatial, bisa cek di google map dan bandingkan luas terbangun Ibukota Kalimantan Selatan dengan luas kebun sawit di wilayah yang berdekatan.

Apa perlu menambah izin-izin baru untuk sawit? dengan perbandingan peta di atas saja sudah satu blok kawasan perkebunan luasnya beberapa kali luasan terbangun Ibu Kota provinsi. Belum lagi mengingat kemungkinan perubahan tutupan hutan dan sawit akan menjadi penyebab bencana seperti banjir.

Memperpanjang moratorium izin sawit akan menjadi pilihan paling masuk akal.

Perlunya Keseriusan Dalam Penerapan Kebijakan Lingkungan Hidup


Baru-baru saja secara beruntun terjadi bencana lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari banjir besar di Kalimantan Selatan dengan meluapnya sungai Martapura, banjir di Mahulu, Berau dan tentunya tanah longsor di banyak lokasi di Jawa. Saya percaya kesemua bencana itu dapat dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ketika kita bicara kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, saya selalu merasa bahwa payung kebijakan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah sangat banyak. Mulai dari kebijakan makro skala nasional dan daerah misalnya kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis sampai pada keharusan penerapan di skala operasional atau AMDAL. Belum lagi kebijakan sektoral yang pada semua lini dipayungi dengan kebijakan lingkungan hidup.

Tapi mengapa permasalahan lingkungan hidup terus berjalan dan tentu saja kerugian yang dialami tidaklah sedikit dimana ribuan rumah dan penduduk di banjir Kalsel terdampak. Salah satu yang terjadi adalah lemahnya pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup. Ambil contoh KLHS sebagai screening awal kebijakan mulai dari RTRW dan RPJM mulai dari nasional, provinsi sampai kabupaten. Saya yang pernah mendampingi pelaksanaan KLHS mulai dari Papua sampai Kalimantan melihat ada banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya mulai dari banyaknya daerah yang melakukan KLHS hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban, sehingga mutu dan hasil kajian akan sangat rendah. Untuk yang bekerja dengan AMDAL pasti menyadari bahwa kebanyakan AMDAL hanya berhenti pada penyusunan dokumen. Misalnya saja mengenai AMDAL pertambangan batubara yang mengatur kualitas air dan pengelolaan bekas wilayah tambang, sesudah operasional, tidak banyak pengecekan untuk memastikan ini sesuai dengan AMDAL-nya.

Kebijakan lingkungan lainnya yang belum diterapkan adalah kebijakan perlindungan hutan, meskipun ada kebijakan untuk penurunan emisi mulai dari nasional sampai daerah, sangat jarang ditemukan roadmap yang sangat detail mengenai bagaimana ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertanyaan lain misalnya jika penyebab emisi gas rumah kaca adalah perubahan land use hutan menjadi non hutan, maka berapa banyak daerah yang mampu menetapkan batas-batas konversi kawasan hutan. Apakah nantinya akan memberikan ijin di di kawasan berhutan di APL? Padahal luasan sawit di Sumater dan Kalimantan sudah belasan juta hektar.

Hari lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari perlindungan satwa, akan tetapi kebijakan mengenai perlindungan satwa sepertinya masih belum optimal. Indonesia masih menjadi sumber perdagangan satwa liar di dunia dan ini akan menjadi penyebab utama kehilangan dan kepunahan spesies di Indonesia.

Peta di atas menunjukkan bahwa luas kota Jambi hanya 1/10 dari luas kebun sawit di sekitar-nya.
Tambang terbuka batubara, lebih luas dari Kota Tengarong dan akumulasi tambang -nya akan lebih luas dari wilayah terbangun kota Samarinda.

Secara kasat mata kebijakan lingkungan hidup memang tercermin dari bagaimana kita mengelola kawasannya. Tentu saja tidak bisa dengan dalih pembangunan semua kawasan yang punya nilai lingkungan besar seperti hutan, gambut, mangrove atau laut diperbolehkan untuk dibuka. Kita kadang harus belajar dari negara lain, misalnya Finlandia yang makmur saja masih memiliki 72% hutan di daratannya.

Keseriusan dalam penanganan lingkungan tentunya bukan agenda jangka pendek, kita bisa mulai dengan serius melakukan penerapan kebijakan lingkungan hidup jika ingin menjadi negara makmur suatu saat nanti.